“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”
Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini. “Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?” Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas. “Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi dimakan sama anak hasil hubungan terlarang!” Kata-kata terakhir itu membuat Luna benar-benar membeku di tempat. Matanya membesar, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Sungguh, kalimat seperti itu keluar dari mulut Ardan? Anak hasil hubungan terlarang, katanya? Luna tak bisa menerima ini. "Aku ingat terus omongan kamu ya, Mas. Kalau suatu saat anak yang aku lahirkan itu terbukti anak kamu, kamu jangan nyesel," ujar Luna sambil mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi. "Aku bisa terima kalau kamu menghina aku, tapi kalau udah bawa-bawa anak yang nggak bersalah, aku nggak terima. Apalagi anak yang kamu tuduh lahir dari hubungan terlarang itu sebenarnya lahir dari pernikahan yang sah." Ardan hanya terdiam, menatap Luna dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Uang itu masih ada, kok. Nggak pernah aku pakai. Besok aku balikin sekalian sama kartu ATM-nya," ujar Luna lagi. "Sesusah-susahnya aku, aku nggak pernah ngasih makan anakku pakai uang kamu. Meskipun sebenarnya itu udah kewajiban kamu buat kasih makan darah dagingmu sendiri." Luna menekankan kalimat terakhirnya dengan tajam sebelum mengusap air matanya dengan kasar. Tanpa menunggu tanggapan dari Ardan, ia segera menaiki motornya dan melaju pergi. Ardan tetap terdiam di tempatnya, matanya terpaku pada punggung Luna yang semakin menjauh bersama deru motornya. Drrt... drrt... Ardan mendengus kesal, kemudian meraih ponselnya yang bergetar dan membaca pesan yang baru saja masuk. Bank Citra Jaya: [Dengan hormat, Kami mengingatkan bahwa pembayaran untuk pinjaman/angsuran Anda telah melewati tanggal jatuh tempo. Hingga saat ini, pembayaran sebesar 200.000.000 belum kami terima. Kami mohon agar pembayaran segera dilakukan paling lambat hari ini untuk menghindari denda atau tindakan lebih lanjut. Pembayaran dapat dilakukan melalui transfer ke rekening. Jika ada pertanyaan, hubungi kami di (022) 765-4321. Hormat kami, Bank Citra Jaya.] "Sial!" Ardan melempar ponselnya ke atas meja dengan kasar. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, lalu memijat pangkal hidungnya dengan jari-jarinya, memejamkan mata sejenak untuk meredakan kepala yang mulai pusing. Setelah hatinya mulai tenang, ia kembali mengendarai mobilnya lagi dengan kecepatan sedang. ***** "BUNDA!!!" Luna disambut oleh teriakan ceria buah hatinya saat memasuki rumah. Cio berlari menuju pintu dengan wajah berseri-seri. Luna tersenyum, meski lelah. Tangannya terbuka, menyambut pelukan hangat anaknya. "Kok udah di rumah? Katanya makan pizza sama Om Dylan?" tanyanya. "Udah. Om Dylan cepet-cepet soalnya ada pasien," jawab Cio dengan antusias. Luna tertawa kecil, lalu mencium puncak kepala anaknya. Kemudian ia menuntun anaknya untuk segera masuk ke dalam rumah. "Bunda, nanti kalau ulang tahun, Cio mau dirayain kayak temen-temen," pinta bocah itu dengan penuh semangat. Sambil meletakkan tasnya, Luna menanggapi ucapan bocah itu. "Dirayain? Emang Cio mau dirayain di mana?" tanyanya. "Di sekolahan. Cio mau tema roblox," jawab Cio, matanya berbinar penuh harap. Luna terkekeh pelan, tersenyum melihat antusiasme anaknya. "Iya, nanti Bunda omongin dulu sama Om Dias." "Yeay!" Cio langsung melompat kegirangan, meskipun bundanya belum memberinya kepastian. Luna harus berdiskusi dengan Ibu dan adik-adiknya untuk membahas persiapan ulang tahun itu. Jika tidak dirundingkan dengan mereka, khawatir adik-adiknya sibuk dengan pekerjaan mereka. "Bunda, nanti Om Dylan diundang, ya!" pintanya lagi dengan semangat. "Iya, Sayang," balas Luna seraya mengambil air minum di dalam kulkas. "Cio suka banget sama Om Dylan. Cio mau Om Dylan jadi ayahnya Cio," celetuknya tiba-tiba, membuat Luna hampir tersedak air yang baru saja diminumnya. "Bunda juga suka sama Om Dylan, kan? Kata Om Dylan, Bunda pernah cium pipi Om Dylan," goda Cio sambil tersenyum nakal. Mata Luna melotot tajam. "Enggak, ya! Om Dylan bohong itu," bantahnya sambil memalingkan wajahnya ke samping. Ia memang pernah mencium pipi Dylan, tapi itu tidak sengaja. Gara-gara ia tersandung dan ditolong Dylan, ia malah mendaratkan bibirnya di pipi pria itu. Kejadian itu sangat memalukan, hingga membuat Luna enggan mengingatnya lagi. Namun si Ardan kecil ini malah mengungkitnya dan bahkan menggodanya. Enggan menanggapi anaknya lebih lanjut, Luna beranjak menuju dapur untuk membantu ibunya yang sudah sibuk menyiapkan adonan kue. "Adonan donatnya udah Ibu cetak, kamu tinggal goreng aja," ujar Juli. Luna mengangguk. "Berarti tinggal buat kue lapis aja?" tanyanya. "Ini udah Ibu buatin adonan. Kamu goreng donatnya dulu, nanti Ibu yang buat kue lapis," jawab Juli. Luna pun mulai menggoreng donat satu per satu, berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih terombang-ambing memikirkan mantan suaminya. ***** Di rumah yang sederhana namun tetap terkesan mewah, Ardan terlihat sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Setelah selesai, ia membawa piring tersebut ke ruang tamu dan memberikannya kepada istrinya yang sedang duduk di kursi roda. "Ck, kok makanan ini lagi sih, Mas? Aku pengen kepiting saus padang. Masak dari pagi sampai sore dikasih makan ayam goreng terus?" protes wanita itu dengan nada jengkel. Ardan mendengus kesal, tampak mulai kehabisan kesabaran. Ia duduk di sofa dan membuka laptopnya sambil menggerutu. "Buang aja kalau nggak mau. Kamu pikir aku pengangguran? Bisa goreng ayam aja udah syukur. Aneh-aneh, mau minta kepiting saus padang." Wanita itu semakin kesal, wajahnya memerah. "Ya belikan di luar kalau nggak bisa masak!" jawabnya tajam. Ardan mengerling ke arah istrinya dengan ekspresi marah yang mulai memuncak. "Jangan bikin aku marah, Lan. Apapun yang kamu mau udah aku turuti. Aku sampai terlilit hutang juga gara-gara kamu. Sekarang, aku nggak bisa bayar dan jadi buronan Bank. Masa nggak ada sedikit pun rasa kasihan di hati kamu?" Wanita itu terdiam sejenak, namun amarahnya tidak surut. Tiba-tiba ia membanting piring ke lantai dengan keras. Bunyi pecahan piring yang memekakkan telinga itu diikuti oleh nasi dan ayam goreng yang berantakan di atas karpet. "Aku nggak mau makan kalau nggak ada kepitingnya," ucapnya ketus. Ardan terdiam, napasnya naik turun menahan emosi. Sesaat, ia hanya bisa menatap ke arah tumpukan makanan yang berserakan. "Pantesan Tuhan nggak kasih kamu sembuh. Kamu belum berubah. Sifat buruk kamu masih dipertahankan. Egois, keras kepala, boros, pemarah, dan suka mendominasi orang lain," desis Ardan dengan nada tajam. Dengan tubuh yang kaku, Ardan bangkit dari tempat duduk, mengambil kunci mobil dari meja, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju pintu, meninggalkan wanita itu di rumah sendirian. "MAS, KAMU MAU KE MANA?!" teriak wanita itu dengan suara melengking. Namun Ardan tak menghiraukannya."Aku kasih cincin ini ke kamu, kamu kasih kesempatan kedua ke aku."Luna yang semula tegang perlahan tersenyum. Ia menatap cincin yang sudah tersemat di jarinya dengan perasaan campur aduk."Ini kesempatan terakhir. Manfaatin sebaik mungkin," ucapnya.Senyum Ardan langsung mengembang. Tanpa menunggu persetujuan, ia berdiri, meraih kepala Luna, lalu mengecup keningnya dengan cepat.Luna langsung melotot, refleks memukul lengan Ardan. "Mas! Nanti dilihat orang!" geramnya, sambil melirik sekitar dengan wajah memerah.Ardan terkekeh pelan. "Enggak. Tenang aja. Pelayan udah masuk ke dapur semua."Luna mendengus kesal, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya.Setelah selesai makan malam, mereka keluar dari restoran. Mobil masih terparkir rapi di tempatnya, tetapi alih-alih langsung pulang, mereka memilih berjalan-jalan di trotoar, menikmati malam yang tenang sambil bergandengan tangan.Bagi Luna, m
Luna perlahan bangkit dari duduknya, menatap orang-orang di hadapannya dengan senyum tipis yang mulai merekah di wajahnya."Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga... sekarang juga."Mereka terus bernyanyi sambil bertepuk tangan, menciptakan suasana yang semakin hangat dan meriah.Luna masih tersenyum, matanya berbinar penuh haru. Begitu nyanyian mereka berhenti, ia segera meniup lilin di atas kue dengan satu tarikan napas."Yeay!" seru mereka serempak, diiringi tepuk tangan yang semakin riuh.Setelah meniup lilin, Luna mengambil pisau yang sudah disiapkan di samping kue. Dengan senyum hangat, ia mulai memotong kue dan membagikannya kepada semua orang. Cio menjadi orang pertama yang mendapat potongan kue, yang langsung disambutnya dengan wajah penuh antusias.Mereka kemudian duduk melingkar, menikmati kue sambil bercanda dan mengobrol santai. Suasana terasa begitu hangat dan penuh kebahagiaan. Nam
Sejak resmi menyandang status duda, Ardan semakin gencar mendekati Luna. Tak jarang, pria itu menjadikan Cio sebagai senjatanya. Bahkan, Sila dan Nayla pun sering diajak bekerja sama untuk meluluhkan hati Luna.Seperti hari ini, di ulang tahun Luna, Ardan kembali menyusun rencana. Dengan bantuan Sila dan Nayla, ia menyiapkan kejutan di danau yang sering menjadi tempat Luna menenangkan diri.“Bunda masih masak, Ayah,” ujar Cio pelan, berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh sang bunda.Diam-diam, bocah itu meminjam ponsel bundanya untuk menelepon Ardan demi menjalankan rencana yang telah mereka susun. Ia bersembunyi di kamar neneknya, sementara Luna masih sibuk di dapur."Yaudah, nanti langsung ajak Bunda ke danau kalau sudah selesai, ya." Suara Ardan terdengar di ujung telepon.Cio mengangguk meskipun sang ayah tak bisa melihatnya. Setelah panggilan berakhir, ia berlari kecil keluar kamar dan dengan hati-hati meletakkan kembali ponsel
Suasana di sekitar mendadak hening, hingga suara kecil yang polos memecah kebisuan.“Bunda kok cium Ayah?” tanya Cio sambil menatap mereka dengan wajah bingung.Luna tersentak. Kesadarannya langsung kembali. Dengan wajah memerah, ia buru-buru berusaha bangkit. Namun, sialnya, tangannya malah terpeleset di dada Ardan, membuatnya semakin panik.Sementara itu, pria di bawahnya hanya terkekeh santai tanpa berniat untuk segera bangun."Santai aja, nggak usah gugup," ujar Ardan dengan nada menggoda, membuat wajah Luna semakin memanas.Dengan wajah yang masih bersemu merah, Luna buru-buru beringsut dan akhirnya berhasil bangkit. Ia merapikan bajunya yang sedikit berantakan, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat kejadian dengan kepala tertunduk.Jangan tanya seberapa malunya Luna saat ini. Kalau bisa, ia ingin meminjam pintu Doraemon dan menghilang seketika. Sakit akibat terjatuh memang tidak seberapa, tapi rasa malunya? Tidak terkira!
Malam semakin larut, tapi baik Luna maupun Ardan masih duduk di tepi sungai. Mereka tidak banyak bicara, hanya menikmati suasana tenang dengan suara gemericik air yang mengalir.Hingga akhirnya, setelah cukup lama terdiam, Luna membuka suara. "Udah, sana ke tenda, Mas. Nanti mereka makin mikir yang enggak-enggak.""Nggak papa. Biarin aja. Lagian mereka juga udah tahu kalau aku masih suka sama kamu," balas Ardan santai.Luna mendengus kesal. "Nggak seharusnya kamu ngomong kayak gitu di depan mereka. Aku sebenarnya marah banget, tapi mau gimana lagi? Mulutmu emang nggak bisa dikontrol."Ardan menoleh, menatapnya dengan tenang. "Maksud kamu, aku harus bohong gitu?"Luna terdiam, tak langsung menjawab.Ardan tersenyum tipis. "Aku memang masih suka sama kamu, Luna. Masa aku harus bilang sebaliknya?"Luna mendesah pelan, lalu berdecak kesal. "Setidaknya, kamu nggak harus blak-blakan di depan mereka."Ardan terkekeh pe
Permainan pun dimulai. Mega mulai memutar botol. Semua mata mengikuti gerakan botol yang berputar dengan cepat, hingga akhirnya melambat dan berhenti… menunjuk ke Dafa."Truth or dare?" tanya Nayla.Dafa menyeringai. "Dare, dong! Apa tantanganku?" tanyanya songong.Nayla dan Mega saling pandang, lalu berbisik sebentar sebelum akhirnya Nayla berkata, "Nyanyi lagu cinta sambil tatap-tatapan sama Siska."Ledakan tawa pun pecah. Dafa langsung protes, sementara Siska yang duduk di seberang Dafa mendengus kesal. Semua orang di sini tahu betapa seringnya mereka bertengkar dan saling sindir. Karena itulah, Mega dan Nayla sepakat memberi tantangan ini."Sialan kalian!" gerutu Dafa, tapi tetap melakukannya. Ia menatap Siska dengan ekspresi malas, lalu mulai menyanyikan lagu romantis dengan suara sengaja dibuat fals, membuat semua orang makin tertawa.Setelah Dafa menyelesaikan tantangannya, Mega kembali mengambil botol dan memutarnya lagi.