Vivi buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan buku catatannya. Namun, jantungnya berdetak kencang.
Tatapan Miranda barusan menusuk lebih dalam daripada sekadar senyum basa-basi. Ada semacam peringatan, atau mungkin ancaman, yang disampaikan tanpa suara. Ia tahu nama Miranda. Beberapa mahasiswa sempat menyebutnya, dosen tamu, juga bagian dari tim penelitian kampus yang punya banyak koneksi. Seorang perempuan ambisius yang katanya dekat dengan beberapa petinggi fakultas. Tapi kenapa dia memanggil Giorgio dengan begitu akrab? “Sudah lama sekali,” suara Miranda terdengar lembut dan penuh kontrol. “Akhirnya kita bertemu lagi di sini.” Giorgio menoleh tenang, seolah pertemuan itu biasa saja. “Ya. Dunia ini memang sempit.” Vivi bisa merasakan ketegangan samar di antara keduanya. Ia ingin cepat-cepat keluar dari kelas, tetapi langkahnya seperti terkunci. “Ngomong-ngomong,” Miranda kembali melirik ke arah Vivi. “Mahasiswi ini siapa? Sepertinya aku belum pernah lihat.” Pertanyaan itu terdengar polos, tetapi senyumnya tetap terukir licik. Vivi merasa seluruh tubuhnya disorot. Ia memberanikan diri menatap singkat. “Saya Vivi, Bu,” ucapnya sopan. Miranda mengangguk kecil, seolah puas dengan jawabannya. Namun, tatapan matanya seolah berkata lain. Aku akan mengawasi. Di lorong kampus, Vivi berjalan cepat, hampir berlari. Nafasnya tersengal meski jaraknya tidak jauh. Setiap langkah seperti dipenuhi rasa was-was. Kenapa harus Giorgio yang jadi dosenku? pikirnya putus asa. Bagaimana kalau ada yang tahu? Bagaimana kalau Miranda benar-benar mencurigai sesuatu? Ia menggigit bibir. Rahasia pernikahannya dengan Giorgio sudah cukup merepotkan. Kini, posisinya terancam, sebagai mahasiswa yang harus menjaga citra, dan sebagai istri diam-diam seorang dosen muda yang menjadi pusat perhatian. “Vivi!” Terdengar suara seseorang memanggil dari belakang. Vivi menoleh. Antonio, senior tadi, berlari kecil menyusul. “Kamu buru-buru sekali. Mau ke mana?” tanyanya sambil tersenyum ramah. “Ada urusan,” jawab Vivi singkat. “Urusan apa? Aku bisa antar kalau kamu perlu.” “Tidak usah.” Antonio tetap berjalan di sampingnya. “Tadi di kelas, kamu kelihatan … kaget, ya? Pas lihat dosen baru.” Vivi menegang. “Kaget kenapa?” “Ya, reaksimu beda saja.” Antonio terkekeh. “Tapi wajar sih, semua orang juga kaget. Jarang-jarang ada dosen seganteng itu.” Vivi pura-pura tersenyum. “Mungkin.” Antonio menatapnya lebih lama daripada seharusnya, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Tapi menurutku, kamu lebih menarik daripada dosennya.” Ucapan itu membuat Vivi spontan mempercepat langkah. Ia tidak ingin terjebak percakapan lebih jauh. Namun dalam hatinya, ia sadar satu hal, Antonio bukan tipe yang mudah menyerah. Sore harinya, Vivi kembali ke apartemen dengan tubuh lelah. Begitu pintu ditutup, ia menyandarkan diri pada dinding, menghembuskan napas panjang. Baru sehari kuliah berjalan, dan sudah ada dua masalah besar Giorgio sebagai dosennya, dan Miranda yang mencurigakan. Belum lagi Antonio yang tampak terlalu tertarik padanya. Ia menaruh tas, lalu melangkah ke dapur kecil untuk mengambil air minum. Namun langkahnya terhenti saat melihat Giorgio sedang duduk di sofa, membaca beberapa dokumen. “Kenapa mukamu pucat?” tanyanya tanpa menoleh. “Aku baik-baik saja,” jawab Vivi cepat, meletakkan gelas dengan suara agak keras. Giorgio akhirnya mengangkat kepala, menatapnya tajam. “Kamu tidak terlihat baik-baik saja.” “Jangan sok tahu.” Vivi membalik badan, pura-pura sibuk membuka kulkas lalu kembali ke kamar. Di kamar itu, udara apartemen terasa pengap, atau mungkin hanya perasaannya sendiri yang tidak tenang. Ia membuka tas kuliahnya, mengecek jadwal perkuliahan esok hari, lalu menyiapkan beberapa buku catatan. Tangannya sibuk, tetapi pikirannya melayang ke banyak hal, tentang pernikahan paksa ini, tentang Giorgio, tentang bagaimana dirinya harus beradaptasi. Tanpa sadar, Vivi meletakkan beberapa barang pribadi di meja. Satu setrip vitamin dan juga pil kontrasepsi yang belum ia konsumsi. Ia lupa memasukkannya kembali ke dalam tas agar tidak terlihat Giorgio karena pikirannya terlalu bercabang. Ia berdiri, menghela napas panjang, lalu menepuk keningnya. Ponsel Vivi berbunyi satu kali. Dia melirik ponsel di meja. Ada pesan masuk dari Lala, sepupunya. [Vi, ketemuan di kafe Heart, yuk! Ini alamatnya.] Kemudian menyusul pesan baru berisi alamat tempat Lala menunggu. Vivi membaca pesan itu lalu sebuah senyuman terbit di bibirnya. Ia buru-buru masuk kamar mandi, mandi kilat, lalu mengenakan pakaian santai, kaos longgar dan celana jeans. Tak ada riasan, hanya wajah polos dengan rambut dikuncir seadanya. Begitu keluar kamar, ia sudah siap menuju kafe Heart. “Giorgio,” panggil Vivi terdengar ragu. Lelaki itu masih duduk di sofa, menoleh dengan mata dinginnya. “Ya?” “Aku mau keluar sebentar. Mau ketemuan sama Lala, sepupuku.” “Aku antar.” Giorgio menjawab singkat, nadanya datar. Vivi langsung menggeleng cepat. “Nggak usah. Kalau ketemu temen kampus bisa bahaya. Aku nggak mau jadi gosip." “Aku bisa tunggu di mobil,” balas Giorgio. “Nggak perlu! Aku udah pesen ojek. Kayaknya ojeknya udah nunggu di bawah.” Vivi berbohong. Berusaha menghindari ajakan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Giorgio hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Vivi keluar dengan langkah cepat. Begitu tiba di lobi apartemen, ia baru membuka ponselnya dan buru-buru memesan ojek online. Sambil menunggu, jantungnya berdebar. Ia merasa bersalah, tetapi juga lega bisa menghirup udara luar tanpa tatapan Giorgio. Tiba di kafe, Vivi masuk dengan langkah riang, melambai begitu melihat Lala sudah menunggunya di sana. Mereka pun duduk berhadapan, memesan minuman masing-masing. Obrolan ringan mengalir, sampai tiba-tiba Lala mencondongkan badan, matanya berbinar penuh semangat. “Eh, denger-denger di kelas kamu sekarang ada dosen baru ya? Katanya ganteng banget, pinter pula?” Lala berbisik, tetapi jelas terdengar antusias. Vivi mengerjap sebentar. “Hmm ….” Vivi hanya menanggapi singkat. “Wah, beruntung banget sih kamu. Dosen ganteng, pinter, terus katanya dia juga ramah dan baik ke semua mahasiswa. Kayak idola gitu loh. Ih, aku iri!” Lala menepuk tangannya sendiri, tertawa kecil. Vivi terdiam sejenak. Ia mengangkat alis, pura-pura tersenyum padahal hatinya mendengus. 'Baik? Ramah? Kamu nggak tau aja aslinya kayak gimana ....' Lala tak berhenti. “Serius deh, Vii. Temen-temen aku di kelas lain aja sampai pada ngomongin. Katanya dosen itu bikin suasana kelas jadi hidup, bikin mahasiswa semangat belajar. Aduh, coba aja dia ngajar di kelas aku, pasti lebih betah deh.” Vivi hanya menyeruput minumannya, berusaha menyembunyikan ekspresi wajah. Dalam hati ia mengulang lagi, semua orang cuma lihat dari luar. Mereka nggak pernah tahu sisi aslinya. Lala menatap Vivi sambil tersenyum lebar. “Eh, kamu sendiri gimana? Betah nggak? Bayangin tiap kuliah ketemu dosen kayak gitu, pasti bikin mood naik, kan?” Vivi tersenyum tipis. “Hehe … yaa, gitu deh,” jawabnya singkat, enggan bercerita lebih jauh. Dalam hati ia bergumam lagi, 'kamu pikir semudah itu? Kalau kamu ngalamin sendiri, mungkin kamu bakal mikir dua kali buat muji dia.' Vivi bertanya balik tentang kelas Lala. "Emang dosenmu kayak gimana?" Wajah Lala tampak sebal. Dia mengeluh. "Dosen di kelasku? Tua, suka marah-marah dan nggak ramah sama sekali. Masa di hari pertama ngajar, sudah ngasih tugas. Mana susah lagi ngerjainnya." Vivi merasa iba pada sepupunya itu. "Sabar ya, La. Siapa tahu dosen itu cuma disen pengganti." Vivi menenangkan Lala. "Aku sih berharap begitu." Obrolan terus berlanjut sampai Vivi melirik jam di lengannya lalu panik. "La, aku pulang dulu, ya. Besok ada kuliah pagi banget. Maaf, ya." Malam itu Vivi pulang dengan taksi karena malas meninggal ojek. Tiba di depan pintu apartemen, Vivi bergumam pelan. “Semoga Giorgio udah tidur." Namun, doa itu tak terkabul. Begitu pintu apartemen dibuka, lampu ruang tengah masih menyala terang. Ia melangkah perlahan, sampai terdengar suara berat dari arah ruang tengah. “Kenapa pil kontrasepsi kamu masih utuh?”Giorgio tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Eh, kamu harus istirahat lagi, Vi. Ayo, aku gendong ke kamar.”Vivi hendak menolak, tapi tubuhnya sudah lebih dulu terangkat ke pelukan Giorgio. Kali ini, ia menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat.Pria itu memang tampan. Garis rahangnya tegas, matanya dalam, dan setiap gerakan kecil yang ia lakukan seolah penuh makna. Vivi baru menyadari betapa selama ini ia terlalu sibuk menjaga jarak, sampai lupa bahwa di hadapannya ada seseorang yang benar-benar tulus menjaganya.Sesampainya di kamar, Giorgio menurunkan Vivi dengan hati-hati ke atas ranjang. Ia membetulkan posisi bantal, lalu menarik selimut menutupi tubuh istrinya.“Istirahat. Biar kakinya cepat membaik,” katanya lembut.Vivi menatap wajah itu lama, tanpa berkata apa-apa. Ada debar halus yang tak mau reda di dadanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memejamkan mata.Namun sesaat kemudian, ia merasakan sesuatu. Suara langkah pelan mendekat. Nafas hangat terasa di sisi wajahnya.
Setelah makan siang, piring-piring kotor menumpuk di atas meja, sementara Vivi bersandar di kursinya, menyeka ujung bibir dengan tisu. Giorgio memperhatikan istrinya yang terlihat mulai bosan. Sejak kecelakaan kecil yang membuat kaki Vivi terkilir, Vivi pasti merasa bosan terus-menerus berbaring. “Vi, mau nonton TV nggak?” Giorgio membuka percakapan, suaranya lembut tapi tetap berwibawa. “Barangkali kamu bosen tiduran terus di kamar?”Vivi mengangkat wajahnya, bibirnya melengkung sedikit. “Boleh,” katanya ringan. “Tapi acaranya aku yang milih sendiri ya.”“Ok.” Giorgio tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.Tanpa menunggu izin, dia melangkah ke arah Vivi dan membungkuk sedikit. “Sini, aku gendong.”Dengan hati-hati Giorgio mengangkat tubuh istrinya, seperti menggendong sesuatu yang sangat berharga. Kehangatan tubuh Vivi langsung terasa di dadanya, dan aroma lembut sabun mandi dari kulitnya entah kenapa membuat jantung Giorgio berdetak lebih cepat dari biasanya. Vivi berusaha m
Vivi hanya bisa mengangguk. “Iya.”Giorgio melangkah ke pintu, tapi sempat menoleh lagi sejenak untuk memastikan Vivi nyaman di tempatnya. Baru setelah itu, ia keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.Begitu pintu tertutup, Vivi menatap ke arah depan beberapa detik. Dadanya terasa hangat, tapi juga aneh seperti tidak terbiasa diperlakukan sedekat itu oleh seorang suami yang selama ini terasa jauh.Tangan Vivi terangkat, menyentuh bagian kepala yang tadi dielus Giorgio. Senyum tipis muncul tanpa sadar.“Masak makan siang," gumamnya pelan, setengah tak percaya.Suara langkah Giorgio yang menjauh ke arah dapur sayup-sayup terdengar. Aroma masakan mulai terbayang di kepala Vivi. Entah menu apa yang akan dimasak Giorgio, tapi hal itu bukan inti utamanya.Yang membuat hatinya hangat adalah perhatiannya. Sesuatu yang tak pernah ia sangka akan dia rasakan dengan cara sesederhana hari ini.Di dapur, Giorgio menata semua bahan masakannya di meja, seikat sawi se
Vivi terdiam sepersekian detik ketika mendengar pertanyaan Lala di seberang telepon. Pertanyaan itu datang terlalu cepat, membuat Vivi bingung. Jantung Vivi melompat. Dia memaksa suaranya tetap tenang. “Salah orang kali, La,” ujarnya sambil mencoba terdengar santai.“Nggak, Vi. Aku lihat sendiri kok. Bajunya sama persis sama yang kamu pakai hari itu.”Vivi mengerutkan kening, memutar otak. “Satu-satunya urusan aku sama Pak Giorgio itu cuma karena tugas. Berarti hari itu aku ada tugas yang harus dikumpulkan. Tugas kuliah dari Pak Giorgio.”“Tapi masa sampai naik mobilnya segala sih?” Lala belum puas dengan jawaban Vivi. “Nggak kok, La. Itu cuma sebentar. Aku langsung turun lagi.”“Kenapa coba ngumpulin tugas harus sampai masuk ke mobil Pak Giorgio? Kan bikin orang mikir macam-macam, Vi.”“Aku tuh lupa ngasih tugasnya. Pak Giorgio udah keburu jalan, jadi aku kejar sampai mobilnya,” jelas Vivi cepat, berharap alasan itu cukup untuk Lala. Hening sejenak. Vivi bisa mendengar debar jantu
Giorgio mempercepat gerakannya, menyambar tumpukan pakaian dalam Vivi yang tersisa di lemari, dan melemparnya ke dalam koper. Matanya menyapu kamar kos itu lagi, memeriksa barang lainnya. Yang tersisa ada berapa buku. Dia ambil semua. Ia menutup lemari, mengunci koper, lalu segera keluar, mengunci pintu kamar kos Vivi dengan kunci yang ia temukan tadi.Langkah Giorgio cepat dan hati-hati. Ia berjalan agak jauh, sampai tiba di mobilnya. Nafasnya terengah saat ia membuka bagasi dan memasukkan koper itu. Ia bergegas masuk ke kursi kemudi, jantungnya masih berdetak kencang."Sudah beres?" tanya Vivi, yang melihat suaminya Kembali dari kosannya. "Sudah. Untung sepi," kata Giorgio, menyerahkan kunci kamar kos Vivi. "Ini, simpan yang baik. Jangan diletakkan di bawah rak sepatu lagi. Itu terlalu berisiko.""Iya, iya. Makasih, Gio," balas Vivi, memasukkan kunci itu ke dalam tas kecilnya.Giorgio melajukan mobilnya menuju apartemen mereka. Kelelahan setelah dirawat di rumah sakit menyera
Kemarin, seharian penuh Giorgio menemani Vivi. Pria itu tampak lelah, tetapi matanya memancarkan ketenangan. Ia sudah mengurus segalanya di kampus. Minta izin dua hari pada bagian akademik fakultas dan ia telah memberikan tugas mandiri pada mahasiswanya, memastikan mereka tidak berleha-leha.Di atas meja, sisa bubur sarapan Vivi yang dingin masih ada dalam mangkuk. Vivi sendiri terlihat lebih segar. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan matanya tidak lagi redup seperti saat ia dibawa ke UGD. Ia hanya tersenyum tipis melihat suaminya yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin, meski sudah kusut.Tepat pukul sembilan, pintu diketuk pelan. Seorang dokter wanita yang ramah dengan name tag Dr. Rina, masuk membawa map rekam medis. Itu adalah dokter kandungan Vivi."Selamat pagi, Bu Vivi, Pak Giorgio," sapa Dr. Rina hangat."Pagi, Dok," jawab Vivi dan Giorgio serempak."Bagaimana perasaan Ibu hari ini?""Jauh lebih baik, Dok. Mualnya sudah hilang. Rasanya mau cepat-cepat pula