Home / Romansa / Dosenku, Musuhku, Suamiku / Bab 4. Rahasia di Kelas

Share

Bab 4. Rahasia di Kelas

Author: Agniya14
last update Last Updated: 2025-08-18 15:59:41

Pagi itu, aroma kopi dari dapur kecil apartemen satu kamar itu seharusnya bisa membuat Vivi merasa segar. Namun, yang ada justru rasa canggung.

Suasana apartemen masih lengang. Vivi berdiri di dekat meja sambil merapikan buku-buku kuliahnya.

Giorgio baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, kaus putih melekat pada tubuh tegapnya. Ia terlihat terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang baru saja dijebak dalam pernikahan kilat semalam.

Vivi mencoba tidak menoleh, meski ekor matanya sempat menangkap bagaimana pria itu mengeringkan rambutnya dengan handuk, gerakan santai yang entah kenapa membuat jantungnya terasa tak nyaman.

“Pagi,” sapa Giorgio datar dengan nada rendah.

“Pagi,” jawab Vivi singkat.

Mereka kembali tenggelam dalam diam. Vivi memasukkan laptop ke dalam tasnya, siap berangkat ke kampus. Namun, sebelum ia sempat melangkah ke pintu, Giorgio tiba-tiba bersuara.

“Aku bisa antar kamu,” katanya santai, seakan itu hal biasa.

Vivi berhenti, menoleh dengan ekspresi kaget sekaligus defensif. “Apa?”

“Aku antar kamu ke kampus. Mobilku di bawah,” ulang Giorgio, kali ini tatapannya menancap langsung pada Vivi.

“Tidak usah.” Vivi menggeleng cepat. “Aku bisa sendiri. Tidak perlu repot-repot.”

“Itu bukan repot.”

“Pokoknya tidak usah.” Suaranya meninggi tanpa sadar. Ia meraih pegangan pintu dengan terburu-buru. “Aku tidak butuh diantar. Lagi pula … aku tidak ingin ada yang tahu kita tinggal serumah.”

Kalimat terakhir meluncur begitu saja. Giorgio mengangkat alis, wajahnya sulit terbaca.

“Ok. Seperti yang kamu mau,” ujar Giorgio singkat, lalu kembali duduk, seolah tidak terpengaruh.

Vivi keluar tanpa menoleh lagi, hatinya berdegup kacau. Ia tidak ingin ada yang tahu. Bukan sekarang, tetapi belum.

Kampus pagi itu ramai luar biasa. Mahasiswa baru berseliweran, sebagian masih sibuk mencari ruang kelas, sebagian lagi heboh membicarakan kabar terbaru yang cepat menyebar di grup chat angkatan, akan ada dosen muda dari luar negeri yang ditunjuk langsung menjadi pembimbing akademik mereka.

“Katanya sih masih umur late twenties gitu, tapi udah S3. Gila nggak sih?” bisik seorang mahasiswi di lorong.

“Dan kabarnya ganteng. Banget.” Suara lainnya menyahut dengan nada penuh antusias.

Vivi berusaha mengabaikan keramaian itu. Ia tidak peduli siapa pun yang datang, selama dosen itu bukan orang yang akan menambah kerumitan hidupnya. Tasnya ia gendong lebih erat, langkahnya dipercepat menuju tangga gedung F.

Namun, sial. Saat menuruni tangga, sepatunya sedikit terselip di ujung anak tangga. Tubuhnya oleng, hampir jatuh. Vivi spontan menutup mata, siap menahan sakit.

Namun, sebuah tangan kokoh menahan lengannya.

“Hati-hati,” suara hangat, ramah, dan sedikit menggoda terdengar dekat.

Vivi membuka mata, mendapati seorang pria dengan senyum menawan menatapnya. Rambutnya hitam rapi, kulitnya sawo matang, dan matanya menyala penuh percaya diri. Gayanya terlihat santai, tapi di mata Vivi lelaki itu adalah sosok yang harus dia hindari.

“Terima kasih,” ujar Vivi canggung sambil melepaskan diri.

“Tidak masalah. Namaku Antonio,” katanya cepat, menyodorkan tangan seolah perkenalan itu adalah keharusan.

Vivi menatapnya ragu, tapi akhirnya menyambut sekilas. “Vivi.”

“Ah, jadi kamu Vivi.” Senyum Antonio melebar, seakan baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Aku sering dengar nama kamu disebut anak-anak. Katanya, kamu termasuk mahasiswi baru paling pintar waktu orientasi.”

Vivi mengernyit. “Masa sih?”

“Serius.” Antonio terkekeh. “Sepertinya aku harus banyak belajar dari kamu.”

Nada suaranya membuat Vivi tidak nyaman. Ada sesuatu di balik tatapan mata pria itu, sesuatu yang terlalu intens untuk sebuah perkenalan pertama. Namun, sebelum ia sempat menanggapi lebih jauh Vivi melirik jam di lengannya.

“Aku duluan,” kata Vivi buru-buru, melangkah menjauh.

Antonio menatap punggungnya sambil tersenyum tipis, seolah sudah memutuskan sesuatu.

Ruang kelas sudah setengah penuh. Vivi memilih duduk di barisan tengah, tidak terlalu depan agar tidak mencolok, dan tidak terlalu belakang agar tetap bisa fokus. Mahasiswa lain sibuk berceloteh, menebak-nebak siapa sebenarnya dosen muda yang akan masuk.

“Pasti orangnya karismatik banget.”

“Semoga cowok ya, biar semangat kuliah.”

Vivi menunduk, sibuk membuka laptop. Ia tidak mau terjebak dalam obrolan tak penting.

Hening mendadak turun saat pintu kelas terbuka. Semua kepala menoleh.

Langkah mantap masuk ke dalam ruangan. Seorang pria tinggi, mengenakan kemeja biru muda dengan dasi sederhana, berdiri di depan kelas. Aura percaya diri memancar dari caranya menatap mahasiswa satu per satu.

Vivi mendongak sekilas dan napasnya tercekat. Itu Giorgio.

Matanya melebar, jari-jarinya membeku di atas keyboard. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Giorgio, pria yang baru semalam menjadi suaminya, sekarang berdiri di depan kelas sebagai dosennya?

“Selamat pagi,” suara Giorgio terdengar tenang, penuh wibawa. “Nama saya Giorgio. Mulai semester ini, saya akan menjadi pembimbing akademik untuk angkatan kalian.”

Bisik-bisik langsung pecah di dalam kelas.

“Gila … beneran masih muda.”

“Ganteng banget!”

“Dari luar negeri lagi!”

Sementara itu, Vivi hanya bisa menunduk dalam diam. Pipinya terasa panas, kepalanya berdenyut. Bagaimana mungkin nasib mempermainkannya seperti ini?

Sepanjang perkenalan Giorgio, Vivi nyaris tidak berani mengangkat wajah. Ia hanya mendengar samar bagaimana Giorgio menjelaskan metode pembelajaran, aturan konsultasi, dan jadwal bimbingan. Suaranya yang tadi di apartemen terasa biasa saja, kini berubah tegas dan profesional.

Namun, setiap kali Vivi mencoba fokus, ia merasa seolah Giorgio sedang melirik ke arahnya. Atau mungkin hanya perasaannya saja?

Kelas akhirnya berakhir setelah satu jam penuh. Mahasiswa berkerumun di sekitar Giorgio, berebut memperkenalkan diri. Beberapa mahasiswi bahkan terang-terangan mencoba menarik perhatian, menawarkan diri menjadi asisten, atau sekadar mengobrol lebih lama.

Vivi memilih berkemas cepat, berharap bisa kabur sebelum Giorgio melihatnya. Ia tahu pria itu cukup pintar untuk menjaga rahasia mereka, tapi tetap saja bayangan ketahuan membuatnya gelisah.

Baru saja ia berdiri, suara lembut namun menusuk memanggil dari pintu.

“Giorgio ….”

Vivi berhenti.

Seorang perempuan melangkah masuk. Tinggi, berambut hitam panjang yang tergerai rapi, dengan blazer elegan yang membuatnya tampak seperti model. Senyumnya manis, namun tatapannya tajam.

“Miranda,” ujar Giorgio datar, suaranya berbeda dari tadi.

Miranda menoleh sekilas ke arah Vivi, lalu tersenyum tipis. Senyum itu penuh arti, seolah mengatakan, aku tahu sesuatu yang tidak kau harapkan orang lain tahu.

Darah Vivi terasa berhenti mengalir. Tangannya yang memegang tas bergetar halus.

Rahasia yang ia jaga rapat-rapat tidak aman lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 96. Mandi

    Giorgio tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Eh, kamu harus istirahat lagi, Vi. Ayo, aku gendong ke kamar.”Vivi hendak menolak, tapi tubuhnya sudah lebih dulu terangkat ke pelukan Giorgio. Kali ini, ia menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat.Pria itu memang tampan. Garis rahangnya tegas, matanya dalam, dan setiap gerakan kecil yang ia lakukan seolah penuh makna. Vivi baru menyadari betapa selama ini ia terlalu sibuk menjaga jarak, sampai lupa bahwa di hadapannya ada seseorang yang benar-benar tulus menjaganya.Sesampainya di kamar, Giorgio menurunkan Vivi dengan hati-hati ke atas ranjang. Ia membetulkan posisi bantal, lalu menarik selimut menutupi tubuh istrinya.“Istirahat. Biar kakinya cepat membaik,” katanya lembut.Vivi menatap wajah itu lama, tanpa berkata apa-apa. Ada debar halus yang tak mau reda di dadanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memejamkan mata.Namun sesaat kemudian, ia merasakan sesuatu. Suara langkah pelan mendekat. Nafas hangat terasa di sisi wajahnya.

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 95. Menatapnya

    Setelah makan siang, piring-piring kotor menumpuk di atas meja, sementara Vivi bersandar di kursinya, menyeka ujung bibir dengan tisu. Giorgio memperhatikan istrinya yang terlihat mulai bosan. Sejak kecelakaan kecil yang membuat kaki Vivi terkilir, Vivi pasti merasa bosan terus-menerus berbaring. “Vi, mau nonton TV nggak?” Giorgio membuka percakapan, suaranya lembut tapi tetap berwibawa. “Barangkali kamu bosen tiduran terus di kamar?”Vivi mengangkat wajahnya, bibirnya melengkung sedikit. “Boleh,” katanya ringan. “Tapi acaranya aku yang milih sendiri ya.”“Ok.” Giorgio tersenyum kecil, lalu bangkit dari kursinya.Tanpa menunggu izin, dia melangkah ke arah Vivi dan membungkuk sedikit. “Sini, aku gendong.”Dengan hati-hati Giorgio mengangkat tubuh istrinya, seperti menggendong sesuatu yang sangat berharga. Kehangatan tubuh Vivi langsung terasa di dadanya, dan aroma lembut sabun mandi dari kulitnya entah kenapa membuat jantung Giorgio berdetak lebih cepat dari biasanya. Vivi berusaha m

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 94. Perhatian Giorgio

    Vivi hanya bisa mengangguk. “Iya.”Giorgio melangkah ke pintu, tapi sempat menoleh lagi sejenak untuk memastikan Vivi nyaman di tempatnya. Baru setelah itu, ia keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan agar tidak menimbulkan suara.Begitu pintu tertutup, Vivi menatap ke arah depan beberapa detik. Dadanya terasa hangat, tapi juga aneh seperti tidak terbiasa diperlakukan sedekat itu oleh seorang suami yang selama ini terasa jauh.Tangan Vivi terangkat, menyentuh bagian kepala yang tadi dielus Giorgio. Senyum tipis muncul tanpa sadar.“Masak makan siang," gumamnya pelan, setengah tak percaya.Suara langkah Giorgio yang menjauh ke arah dapur sayup-sayup terdengar. Aroma masakan mulai terbayang di kepala Vivi. Entah menu apa yang akan dimasak Giorgio, tapi hal itu bukan inti utamanya.Yang membuat hatinya hangat adalah perhatiannya. Sesuatu yang tak pernah ia sangka akan dia rasakan dengan cara sesederhana hari ini.Di dapur, Giorgio menata semua bahan masakannya di meja, seikat sawi se

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 93. Kue Lemon

    Vivi terdiam sepersekian detik ketika mendengar pertanyaan Lala di seberang telepon. Pertanyaan itu datang terlalu cepat, membuat Vivi bingung. Jantung Vivi melompat. Dia memaksa suaranya tetap tenang. “Salah orang kali, La,” ujarnya sambil mencoba terdengar santai.“Nggak, Vi. Aku lihat sendiri kok. Bajunya sama persis sama yang kamu pakai hari itu.”Vivi mengerutkan kening, memutar otak. “Satu-satunya urusan aku sama Pak Giorgio itu cuma karena tugas. Berarti hari itu aku ada tugas yang harus dikumpulkan. Tugas kuliah dari Pak Giorgio.”“Tapi masa sampai naik mobilnya segala sih?” Lala belum puas dengan jawaban Vivi. “Nggak kok, La. Itu cuma sebentar. Aku langsung turun lagi.”“Kenapa coba ngumpulin tugas harus sampai masuk ke mobil Pak Giorgio? Kan bikin orang mikir macam-macam, Vi.”“Aku tuh lupa ngasih tugasnya. Pak Giorgio udah keburu jalan, jadi aku kejar sampai mobilnya,” jelas Vivi cepat, berharap alasan itu cukup untuk Lala. Hening sejenak. Vivi bisa mendengar debar jantu

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 92. Kecurigaan Lala

    Giorgio mempercepat gerakannya, menyambar tumpukan pakaian dalam Vivi yang tersisa di lemari, dan melemparnya ke dalam koper. Matanya menyapu kamar kos itu lagi, memeriksa barang lainnya. Yang tersisa ada berapa buku. Dia ambil semua. Ia menutup lemari, mengunci koper, lalu segera keluar, mengunci pintu kamar kos Vivi dengan kunci yang ia temukan tadi.​Langkah Giorgio cepat dan hati-hati. Ia berjalan agak jauh, sampai tiba di mobilnya. Nafasnya terengah saat ia membuka bagasi dan memasukkan koper itu. Ia bergegas masuk ke kursi kemudi, jantungnya masih berdetak kencang.​"Sudah beres?" tanya Vivi, yang melihat suaminya Kembali dari kosannya. ​"Sudah. Untung sepi," kata Giorgio, menyerahkan kunci kamar kos Vivi. "Ini, simpan yang baik. Jangan diletakkan di bawah rak sepatu lagi. Itu terlalu berisiko."​"Iya, iya. Makasih, Gio," balas Vivi, memasukkan kunci itu ke dalam tas kecilnya.​Giorgio melajukan mobilnya menuju apartemen mereka. Kelelahan setelah dirawat di rumah sakit menyera

  • Dosenku, Musuhku, Suamiku    Bab 91. Malu

    Kemarin, seharian penuh Giorgio menemani Vivi. Pria itu tampak lelah, tetapi matanya memancarkan ketenangan. Ia sudah mengurus segalanya di kampus. Minta izin dua hari pada bagian akademik fakultas dan ia telah memberikan tugas mandiri pada mahasiswanya, memastikan mereka tidak berleha-leha.​Di atas meja, sisa bubur sarapan Vivi yang dingin masih ada dalam mangkuk. Vivi sendiri terlihat lebih segar. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan matanya tidak lagi redup seperti saat ia dibawa ke UGD. Ia hanya tersenyum tipis melihat suaminya yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin, meski sudah kusut.​Tepat pukul sembilan, pintu diketuk pelan. Seorang dokter wanita yang ramah dengan name tag Dr. Rina, masuk membawa map rekam medis. Itu adalah dokter kandungan Vivi.​"Selamat pagi, Bu Vivi, Pak Giorgio," sapa Dr. Rina hangat.​"Pagi, Dok," jawab Vivi dan Giorgio serempak.​"Bagaimana perasaan Ibu hari ini?"​"Jauh lebih baik, Dok. Mualnya sudah hilang. Rasanya mau cepat-cepat pula

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status