Pagi itu, aroma kopi dari dapur kecil apartemen satu kamar itu seharusnya bisa membuat Vivi merasa segar. Namun, yang ada justru rasa canggung.
Suasana apartemen masih lengang, hanya suara sendok yang beradu dengan cangkir terdengar. Vivi berdiri di dekat meja makan mungil sambil merapikan buku-buku kuliahnya. Giorgio baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, kaus putih melekat pada tubuh tegapnya. Ia terlihat terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang baru saja dijebak dalam pernikahan kilat semalam. Vivi mencoba tidak menoleh, meski ekor matanya sempat menangkap bagaimana pria itu mengeringkan rambutnya dengan handuk, gerakan sederhana yang entah kenapa membuat jantungnya terasa tak nyaman. “Pagi,” sapa Giorgio datar dengan nada rendah. “Pagi,” jawab Vivi singkat. Mereka kembali tenggelam dalam diam. Vivi memasukkan laptop ke dalam tasnya, siap berangkat ke kampus. Namun, sebelum ia sempat melangkah ke pintu, Giorgio tiba-tiba bersuara. “Aku bisa antar kamu,” katanya santai, seakan itu hal biasa. Vivi berhenti, menoleh dengan ekspresi kaget sekaligus defensif. “Apa?” “Aku antar kamu ke kampus. Mobilku di bawah,” ulang Giorgio, kali ini tatapannya menancap langsung pada Vivi. “Tidak usah.” Vivi menggeleng cepat. “Aku bisa sendiri. Tidak perlu repot-repot.” “Itu bukan repot.” “Pokoknya tidak usah.” Suaranya meninggi tanpa sadar. Ia meraih pegangan pintu dengan terburu-buru. “Aku tidak butuh diantar. Lagi pula … aku tidak ingin ada yang tahu kita tinggal serumah.” Kalimat terakhir meluncur begitu saja. Giorgio mengangkat alis, wajahnya sulit terbaca. “Seperti yang kamu mau,” ujar Giorgio singkat, lalu kembali duduk, seolah tidak terpengaruh. Vivi keluar tanpa menoleh lagi, hatinya berdegup kacau. Ia tidak ingin ada yang tahu. Bukan sekarang, tetapi belum. Kampus pagi itu ramai luar biasa. Mahasiswa baru berseliweran, sebagian masih sibuk mencari ruang kelas, sebagian lagi heboh membicarakan kabar terbaru yang cepat menyebar di grup chat angkatan, akan ada dosen muda dari luar negeri yang ditunjuk langsung menjadi pembimbing akademik mereka. “Katanya sih masih umur late twenties gitu, tapi udah S3. Gila nggak sih?” bisik seorang mahasiswi di lorong. “Dan kabarnya ganteng. Banget.” Suara lainnya menyahut dengan nada penuh antusias. Vivi berusaha mengabaikan keramaian itu. Ia tidak peduli siapa pun yang datang, selama dosen itu bukan orang yang akan menambah kerumitan hidupnya. Tasnya ia gendong lebih erat, langkahnya dipercepat menuju tangga gedung F. Namun, sial. Saat menuruni tangga, sepatunya sedikit terselip di ujung anak tangga. Tubuhnya oleng, hampir jatuh. Vivi spontan menutup mata, siap menahan sakit. Namun, sebuah tangan kokoh menahan lengannya. “Hati-hati,” suara hangat, ramah, dan sedikit menggoda terdengar dekat. Vivi membuka mata, mendapati seorang pria dengan senyum menawan menatapnya. Rambutnya hitam rapi, kulitnya sawo matang, dan matanya menyala penuh percaya diri. Gayanya terlihat santai, tapi di mata Vivi lelaki itu adalah sosok yang harus dia hindari. “Terima kasih,” ujar Vivi canggung sambil melepaskan diri. “Tidak masalah. Namaku Antonio,” katanya cepat, menyodorkan tangan seolah perkenalan itu adalah keharusan. Vivi menatapnya ragu, tapi akhirnya menyambut sekilas. “Vivi.” “Ah, jadi kamu Vivi.” Senyum Antonio melebar, seakan baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Aku sering dengar nama kamu disebut anak-anak. Katanya, kamu termasuk mahasiswi baru paling pintar waktu orientasi.” Vivi mengernyit. “Masa sih?” “Serius.” Antonio terkekeh. “Sepertinya aku harus banyak belajar dari kamu.” Nada suaranya membuat Vivi tidak nyaman. Ada sesuatu di balik tatapan mata pria itu, sesuatu yang terlalu intens untuk sebuah perkenalan pertama. Namun, sebelum ia sempat menanggapi lebih jauh Vivi melirik jam di lengannya. “Aku duluan,” kata Vivi buru-buru, melangkah menjauh. Antonio menatap punggungnya sambil tersenyum tipis, seolah sudah memutuskan sesuatu. Ruang kelas sudah setengah penuh. Vivi memilih duduk di barisan tengah, tidak terlalu depan agar tidak mencolok, dan tidak terlalu belakang agar tetap bisa fokus. Mahasiswa lain sibuk berceloteh, menebak-nebak siapa sebenarnya dosen muda yang akan masuk. “Pasti orangnya karismatik banget.” “Semoga cowok ya, biar semangat kuliah.” Vivi menunduk, sibuk membuka laptop. Ia tidak mau terjebak dalam obrolan tak penting. Hening mendadak turun saat pintu kelas terbuka. Semua kepala menoleh. Langkah mantap masuk ke dalam ruangan. Seorang pria tinggi, mengenakan kemeja biru muda dengan dasi sederhana, berdiri di depan kelas. Aura percaya diri memancar dari caranya menatap mahasiswa satu per satu. Vivi mendongak sekilas dan napasnya tercekat. Itu Giorgio. Matanya melebar, jari-jarinya membeku di atas keyboard. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Giorgio, pria yang baru semalam menjadi suaminya, sekarang berdiri di depan kelas sebagai dosennya? “Selamat pagi,” suara Giorgio terdengar tenang, penuh wibawa. “Nama saya Giorgio. Mulai semester ini, saya akan menjadi pembimbing akademik untuk angkatan kalian.” Bisik-bisik langsung pecah di dalam kelas. “Gila … beneran masih muda.” “Ganteng banget!” “Dari luar negeri lagi!” Sementara itu, Vivi hanya bisa menunduk dalam diam. Pipinya terasa panas, kepalanya berdenyut. Bagaimana mungkin nasib mempermainkannya seperti ini? Sepanjang perkenalan Giorgio, Vivi nyaris tidak berani mengangkat wajah. Ia hanya mendengar samar bagaimana Giorgio menjelaskan metode pembelajaran, aturan konsultasi, dan jadwal bimbingan. Suaranya yang tadi di apartemen terasa biasa saja, kini berubah tegas dan profesional. Namun, setiap kali Vivi mencoba fokus, ia merasa seolah Giorgio sedang melirik ke arahnya. Atau mungkin hanya perasaannya saja? Kelas akhirnya berakhir setelah satu jam penuh. Mahasiswa berkerumun di sekitar Giorgio, berebut memperkenalkan diri. Beberapa mahasiswi bahkan terang-terangan mencoba menarik perhatian, menawarkan diri menjadi asisten, atau sekadar mengobrol lebih lama. Vivi memilih berkemas cepat, berharap bisa kabur sebelum Giorgio melihatnya. Ia tahu pria itu cukup pintar untuk menjaga rahasia mereka, tapi tetap saja bayangan ketahuan membuatnya gelisah. Baru saja ia berdiri, suara lembut namun menusuk memanggil dari pintu. “Giorgio ….” Vivi berhenti. Seorang perempuan melangkah masuk. Tinggi, berambut hitam panjang yang tergerai rapi, dengan blazer elegan yang membuatnya tampak seperti model. Senyumnya manis, namun tatapannya tajam. “Miranda,” ujar Giorgio datar, suaranya berbeda dari tadi. Miranda menoleh sekilas ke arah Vivi, lalu tersenyum tipis. Senyum itu penuh arti, seolah mengatakan, aku tahu sesuatu yang tidak kau harapkan orang lain tahu. Darah Vivi terasa berhenti mengalir. Tangannya yang memegang tas bergetar halus. Rahasia yang ia jaga rapat-rapat tidak aman lagi.Dira yang duduk di sebelah Vivi langsung menepuk bahunya dengan semangat. “Wah, kita satu kelompok, Vivi! Asyik, kan?”Vivi hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa kikuknya. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa di antara sekian banyak mahasiswa dikelas itu dia harus dipasangkan dengan Antonio?Sementara itu, Giorgio menutup daftar dan menatap seisi kelas. “Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Proyek ini nilainya cukup besar, jadi jangan anggap enteng. Minggu depan kalian sudah harus menentukan topik.”Bel pun berbunyi. Beberapa mahasiswa langsung bangkit, berhamburan keluar kelas sambil membicarakan kelompoknya masing-masing.“Eh, Antonio! Kita bisa janjian kapan buat diskusi?” seru Dira.Antonio menjawab dengan singkat. “Besok sore. Perpustakaan.”Vivi membereskan bukunya dengan hati-hati, berusaha terlihat santai meski dadanya berdegup lebih cepat. "Aku duluan ya." Buru-buru dia tinggalkan kelas itu.
"Ka--kamu melakukan itu?! Dasar mesum, aku tidak mengizin ….""Menggendongmu …."Hah?"Tadi malam saat menggendongmu, kamu tidak berontak …."Oh ... hanya menggendong ….Wajahnya memerah, buru-buru Vivi menyambar handuk dan langsung ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, gadis itu masih merasa geram pada Giorgio. Selesai mandi, Vivi mengenakan pakaian. berdiri di depan cermin, menata kemeja salem yang baru saja dipakainya. Rok panjang dengan warna senada jatuh rapi sampai mata kaki. Merasa penampilannya sudah rapi, Vivi menuju meja makan. Dia ingin sarapan sebelum pergi ke kampus. Pagi itu ada susu dan roti di meja yang sudah disiapkan oleh suaminya. Giorgio sudah duduk di meja makan. Menatap Vivi dalam diam. Seolah sedang menebak apa yang Vivi rasakan dari ekspresi wajahnya. Vivi menahan langkah sesaat. Ada rasa canggung yang menempel sejak semalam. Ia masih ingat jelas bagaimana kepalanya terjatuh di bahu Giorgio saat meno
Aroma spaghetti bolognese memenuhi apartemen kecil itu. Saus tomat yang sudah menyatu dengan daging cincang mengepul di atas wajan, sementara pasta yang direbus sempurna diletakkan Giorgio di atas piring. Semua tertata rapi, siap untuk disantap. Vivi duduk menunggu di sofa, masih sesekali mengusap perban tipis di tangannya. Perihnya sudah berkurang, tapi rasa malunya justru semakin besar. Dia merasa bersalah karena sudah membuat dapur sedikit berantakan dan akhirnya malah merepotkan Giorgio.“Vi, sini!" Giorgio mengangkat tangan. Vivi menoleh. Segera bangkit dari sofa. Gadis itu menuju meja makan. Matanya membulat menatap hasil masakan Giorgio yang begitu menggugah selera dan tak bisa dia lewatkan. Ada sedikit rasa kagum pada suaminya itu. Dia akui memang sebagai perempuan Vivi belum bisa memasak dan Giorgio memiliki kemampuan. Bagi Vivi, lelaki yang bisa mengolah bahan makanan di dapur itu sungguh…. "Kamu nggak suka masakanku?" Giorg
Sampai di depan ruangan dosen, langkah Vivi terasa berat. Jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Giorgio, lelaki yang berdiri di sampingnya, membuka pintu dengan tenang. Gerakannya mantap, wibawa terpancar jelas dari tubuh jangkungnya. Dia melirik sekilas ke arah Vivi, memberi isyarat dengan tangannya agar gadis itu masuk lebih dulu.Vivi menelan ludah. Kakinya seperti menapak di atas lantai es, dingin. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, bahkan tak berani menoleh ke kiri atau ke kanan. Ruangan dosen itu rapi, aroma kopi bercampur wangi kertas memenuhi udara. Ada rak besar penuh buku, sertifikat yang berjajar di dinding, dan meja kayu lebar yang tertata dengan apik.Namun, semua detail itu sama sekali tak mampu membuat Vivi merasa nyaman. Dia hanya terpaku pada satu hal, hukuman apa yang akan diberikan Giorgio padanya?Vivi tidak langsung duduk. Dia berdiri di depan meja Giorgio dengan kepala menunduk. M
Malam itu, layar laptop Vivi memancarkan cahaya. Di sebelahnya, tergeletak bungkus makanan cepat saji dan gelas plastik berisi minuman kekinian yang sudah setengah habis.Jari-jemari Vivi terus menari di atas keyboard. Sesekali ia berhenti, menyeruput minumannya, lalu melanjutkan mengetik. Tubuhnya terasa lelah , matanya nyaris menutup, tapi tenggat tugas yang memaksanya bertahan. Sesekali ia mendengus kesal ketika apa yang dia ketik tidak sesuai ekspektasi, lalu kembali menghapus dan mengetik ulang.Waktu berjalan cepat. Tanpa sadar, jarum jam sudah melewati tengah malam. Begitu kalimat terakhir selesai, Vivi menghela napas panjang, seakan beban besar terlepas dari pundaknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu bersandar di sofa. Niatnya hanya ingin rebahan sebentar, tapi kantuk yang sejak tadi menumpuk langsung menyeretnya ke dalam tidur lelap. Laptopnya masih terbuka, layarnya memancarkan cahaya redup di tengah ruang tengah yang masih terang itu.
Setelah materi kuliah Giorgio berakhir, Vivi merapikan buku catatannya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas.“Udah jam makan siang, ya. Ayo, semangat, Vivi. Hari ini masih panjang,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.Mahasiswa lain segera berhamburan keluar kelas, tapi Vivi sengaja menunggu sampai ruangannya sepi. Dia malas berdesakan hanya untuk keluar pintu. Setelah agak lengang, barulah ia melangkah tenang menuju kantin.Di kantin, Suara riuh mahasiswa yang bercampur dengan dentingan sendok garpu membuat suasana semakin ramai. Vivi memesan seporsi nasi dengan lauk lalu mencari tempat duduk.“Viii!” panggil seseorang yang suaranya familiar.Vivi menoleh. Ternyata Lala sudah duduk di salah satu meja kosong. Vivi tersenyum tipis lalu menghampirinya. “Pas banget kamu ada di sini, aku hampir aja makan sendirian tadi.”Begitu Vivi duduk, Lala langsung membuka obrolan dengan wajah berbinar. “Eh, tadi gimana kuliah sama Pak G