Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat Vivi pada Giorgio—tunangan yang juga dosen mudanya. Rahasia kehamilan yang ia sembunyikan kini jadi bom waktu di balik reputasi dan pernikahan yang dijadwalkan. Bagaimana mungkin menjaga jarak, jika setiap hari justru membuat mereka kian terjerat?
Lihat lebih banyak"Jangan lepaskan …."
Dalam remang, seorang perempuan yang dipengaruhi efek alkohol itu dikuasai pelukan oleh pria gagah dan maskulin di ujung sofa. Aroma keringatnya yang pekat bercampur dengan wangi parfum maskulin yang memabukkan membuat Vivi, nama perempuan itu, semakin tak berdaya. Gejolak hasrat itu membakar tubuhnya, memintanya untuk tunduk. "Hngh..." Ujung-ujung jari pria itu meremas dan menekan punggungnya semakin erat, seerat pagutan pria itu ketika menyambar bibir mungil miliknya. Sensasi itu membuat Vivi memejamkan mata, kepalanya berkata 'pergi', tapi tubuhnya justru menolak. Hentakan demi hentakan membuat desahan lolos dari bibir mereka, berpadu dengan jeritan halus dari pegas sofa. Cengkeraman Vivi pada punggung pria itu semakin erat, kuku-kuku jarinya menancap. Kemudian derit sofa itu berhenti, digantikan oleh suara napas terengah-engah dan hening yang pekat. “Vivi!?” Vivi berusaha menjaga kesadarannya. Di depannya, wajah pria itu menatapnya tajam. “Vi! Bangun…” Suara bariton itu perlahan-lahan berubah menjadi suara perempuan, membuatnya terlonjak. Nafasnya memburu, kulitnya terasa panas dan basah oleh keringat. Matanya terbuka–bukan sofa, bukan pelukan pria itu, melainkan kursi sempit berlapis kain abu-abu. Pandangannya berganti ke deretan kursi mobil travel yang kini sedang ia tumpangi. Saat ini, Vivi tengah menuju kampusnya di Bandung setelah menanti dua tahun lamanya untuk berkuliah di kampus yang ia idam-idamkan. "Kamu pulang jam berapa sih semalam? Aku ngechat tadi malam nggak dibales-bales." Vivi cepat-cepat mengatur ekspresinya agar tidak dicurigai. "Oh … aku nginep di rumah teman. Kemarin aku pergi sama dia. Malamnya capek banget, jadi aku ketiduran di sana.” Lala menatapnya curiga, tetapi tak melanjutkan. "Ya udah, kirain kamu kenapa-kenapa." Vivi mengangguk pelan, walaupun sebenarnya ia tahu kini ia telah terperosok dalam masalah. Ya, masalah yang sangat… besar! Ia menatap keluar jendela, berusaha meyakinkan diri bahwa adegan-adegan yang barusan ia rasakan benar-benar mimpi. Tapi, pikirannya tak bisa menampik; sprei putih kusut malam itu, aroma parfum asing yang masih menempel di benaknya, dan rasa jijik pada tubuhnya sendiri ini terlalu nyata untuk dibilang sebagai mimpi. Semua bermula dari pesta kecil bersama tiga teman SMA. Ia mencoba alkohol untuk pertama kali, kepalanya cepat melayang, dan ingatannya terputus. Yang tersisa hanya potongan samar: dirinya mendekati dua pria asing, lalu gelap. Saat sadar, ia sudah berada di ranjang dengan seorang pria dewasa yang tak ia kenal. Panik, Vivi memunguti pakaiannya dan kabur pulang. Sesampainya di rumah pun, ia bergegas untuk berangkat ke pool tempat ia memesan travel menuju Bandung. Dan, di sinilah ia sekarang, memikirkan kembali kejadian bodoh yang ia lakukan pada malam itu. Travel terus berjalan sampai akhirnya tiba di kota Bandung. Begitu travel memasuki gerbang kota, Vivi memaksa dirinya fokus ke tujuan awalnya yakni kampus. Dari pool travel ini dia masih harus naik angkutan umum menuju kampus. Bersama dengan Lala, dia tiba di kampus tepat jam sepuluh pagi. Hari ini penyambutan mahasiswa baru diadakan di aula besar yang sudah penuh sejak pagi. Riuh suara, lampu panggung, dan sorak-sorai panitia membuat suasana terasa hangat kontras dengan perasaan Vivi saat ini. Ia duduk di barisan tengah, mencoba larut dalam acara dan melupakan sejenak masalah yang dia alami. Vivi mengedarkan pandangan, menatap wajah-wajah bahagia seperti dirinya. Tiba-tiba pandangannya berhenti pada seorang lelaki berkemeja rapi di samping dekat tembok. Sekilas wajah itu terasa begitu familiar. Ia menyipitkan mata, mencoba mengingat. Di mana dia pernah melihatnya melihat lelaki itu. Dan tiba-tiba, potongan memori semalam menyeruak—malam yang berantakan, wajah samar di balik cahaya redup. Jantung Vivi berdegup kencang. Jangan bilang ... dia lelaki yang tadi malam? Saat pikiran itu bergulir, pria tersebut menoleh. Tatapan mereka bertemu, singkat tapi cukup untuk membuat darah Vivi berdesir. Lelaki itu pun tampak sedikit terkejut, seolah sama-sama mengenali dirinya. “Ya Tuhan ...," gumam Vivi dalam hati, panik. “Dia ngeliat ke sini. Duh, kenapa dia ada di sini?" Vivi buru-buru berpindah tempat, ia pun langsung pergi dari sana dengan cepat sebelum sebuah pesan masuk di ponselnya. “Vi, nanti setelah dari kampus, temui Mama Papa di restoran ya, nanti Mama akan kirim lokasinya. Jangan sampai terlambat!” Desahan pendek keluar dari mulut Vivi tatkala ia melihat pesan tersebut, bahkan ketika ia sudah di Bandung pun, cengkraman orang tuanya tak bisa sepenuhnya ia lepaskan. *** Malam itu, setelah acara penyambutan mahasiswa baru. Vivi ditunggu Ratna–ibunya Vivi di sebuah restoran. Restoran Ananta. Dia harus tiba pada jam tujuh malam. Begitu tiba di restoran Ananta, ia berjalan malas menuju meja yang dipesan. Langkahnya terhenti mendadak. Di meja itu, ada seseorang yang duduk dengan santai mengenakan kemeja biru yang lengan atasnya digulung. Tubuh Vivi membeku, kenapa… dia bisa bertemu pria itu lagi di sini?! “Lama sekali. Kupikir kamu nggak akan datang.”Malam itu, layar laptop Vivi memancarkan cahaya. Di sebelahnya, tergeletak bungkus makanan cepat saji dan gelas plastik berisi minuman kekinian yang sudah setengah habis.Jari-jemari Vivi terus menari di atas keyboard. Sesekali ia berhenti, menyeruput minumannya, lalu melanjutkan mengetik. Tubuhnya terasa lelah , matanya nyaris menutup, tapi tenggat tugas yang memaksanya bertahan. Sesekali ia mendengus kesal ketika apa yang dia ketik tidak sesuai ekspektasi, lalu kembali menghapus dan mengetik ulang.Waktu berjalan cepat. Tanpa sadar, jarum jam sudah melewati tengah malam. Begitu kalimat terakhir selesai, Vivi menghela napas panjang, seakan beban besar terlepas dari pundaknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu bersandar di sofa. Niatnya hanya ingin rebahan sebentar, tapi kantuk yang sejak tadi menumpuk langsung menyeretnya ke dalam tidur lelap. Laptopnya masih terbuka, layarnya memancarkan cahaya redup di tengah ruang tengah yang masih terang itu.
Setelah materi kuliah Giorgio berakhir, Vivi merapikan buku catatannya sambil melirik jam di pergelangan tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas.“Udah jam makan siang, ya. Ayo, semangat, Vivi. Hari ini masih panjang,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.Mahasiswa lain segera berhamburan keluar kelas, tapi Vivi sengaja menunggu sampai ruangannya sepi. Dia malas berdesakan hanya untuk keluar pintu. Setelah agak lengang, barulah ia melangkah tenang menuju kantin.Di kantin, Suara riuh mahasiswa yang bercampur dengan dentingan sendok garpu membuat suasana semakin ramai. Vivi memesan seporsi nasi dengan lauk lalu mencari tempat duduk.“Viii!” panggil seseorang yang suaranya familiar.Vivi menoleh. Ternyata Lala sudah duduk di salah satu meja kosong. Vivi tersenyum tipis lalu menghampirinya. “Pas banget kamu ada di sini, aku hampir aja makan sendirian tadi.”Begitu Vivi duduk, Lala langsung membuka obrolan dengan wajah berbinar. “Eh, tadi gimana kuliah sama Pak G
Vivi terkesiap. Dia tidak siap menghadapi kondisi ini. Ketahuan tidak minum pil kontrasepsi setelah kebersamaan mereka pada malam itu. Vivi menelan ludah sambil terus memikirkan masalah apa yang akan dia berikan pada gigi saat ini. Dia tentu saja tidak mau disalahkan. Giorgio menatap Vivi dengan ekspresi kaku, sementara matanya menatap lurus pada benda itu, pil kontrasepsi yang masih utuh. “Vivi ….” Giorgio menurunkan nada suaranya, tapi menatap dengan dingin. Ia mengangkat pil itu. “Kamu bilang setelah malam itu kamu minum pil ini. Tapi lihat—” ia menunjuk pil yang masih berjejer rapi, “ini bahkan belum tersentuh sama sekali. Ini bukan vitamin, Vivi.” Vivi masih diam sambil berpikir. Tangannya gemetar. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. “I-Iya, aku tahu ….” Vivi menjawab dengan suara pelan. “Aku cuma … cuma—” “Cuma apa?” potong Giorgio cepat, tatapannya menajam. “Cuma lupa? Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak minum pil ini, kan?” Nada suara Giorgio t
Vivi buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan buku catatannya. Namun, jantungnya berdetak kencang. Tatapan Miranda barusan menusuk lebih dalam daripada sekadar senyum basa-basi. Ada semacam peringatan, atau mungkin ancaman, yang disampaikan tanpa suara. Ia tahu nama Miranda. Beberapa mahasiswa sempat menyebutnya, dosen tamu, juga bagian dari tim penelitian kampus yang punya banyak koneksi. Seorang perempuan ambisius yang katanya dekat dengan beberapa petinggi fakultas. Tapi kenapa dia memanggil Giorgio dengan begitu akrab? “Sudah lama sekali,” suara Miranda terdengar lembut dan penuh kontrol. “Akhirnya kita bertemu lagi di sini.” Giorgio menoleh tenang, seolah pertemuan itu biasa saja. “Ya. Dunia ini memang sempit.” Vivi bisa merasakan ketegangan samar di antara keduanya. Ia ingin cepat-cepat keluar dari kelas, tetapi langkahnya seperti terkunci. “Ngomong-ngomong,” Miranda kembali melirik ke arah Vivi. “Mahasiswi ini siapa? Sepertinya aku belum pernah lihat.” Pertan
Pagi itu, aroma kopi dari dapur kecil apartemen satu kamar itu seharusnya bisa membuat Vivi merasa segar. Namun, yang ada justru rasa canggung. Suasana apartemen masih lengang, hanya suara sendok yang beradu dengan cangkir terdengar. Vivi berdiri di dekat meja makan mungil sambil merapikan buku-buku kuliahnya. Giorgio baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, kaus putih melekat pada tubuh tegapnya. Ia terlihat terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang baru saja dijebak dalam pernikahan kilat semalam. Vivi mencoba tidak menoleh, meski ekor matanya sempat menangkap bagaimana pria itu mengeringkan rambutnya dengan handuk, gerakan sederhana yang entah kenapa membuat jantungnya terasa tak nyaman. “Pagi,” sapa Giorgio datar dengan nada rendah. “Pagi,” jawab Vivi singkat. Mereka kembali tenggelam dalam diam. Vivi memasukkan laptop ke dalam tasnya, siap berangkat ke kampus. Namun, sebelum ia sempat melangkah ke pintu, Giorgio tiba-tiba bersuara. “Aku bi
Di dalam mobil yang tertutup rapat, suasana lebih kaku dari kursi kulit yang ditumpangi Vivi. Ia sengaja menempelkan pipi pada kaca, pura-pura tertarik pada kerlip lampu jalan. Giorgio ada di belakang kemudi, wajahnya datar, fokus pada jalanan. Jemarinya mantap di kemudi, sementara rahangnya sesekali mengeras. Dari sudut matanya, ia tahu, Vivi sedang berusaha keras menghindari kontak mata. “Kamu masih marah soal malam itu?” Mendengar pertanyaan tiba-tiba Giorgio, wajah Vivi seketika menegang. “Malam mana? Makan malam? Atau malam yang lebih memalukan dari itu?” “...Lupakan.” Helaan nafas seketika terdengar dari mulut Giorgio. “Percaya deh, itu juga yang aku mau,” ucap Vivi tak acuh. Ia lalu kembali menatap jendela, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran yang membuat perutnya merasakan gelenyar aneh. Sementara bagi Giorgio, kalimat itu seperti tamparan. Ia mengetukkan jarinya di setir, menahan diri. Kalau bukan karena perintah orang tua, kalau bukan karena jebakan yang membuat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen