MasukBeberapa hari kemudian, keadaan William sudah semakin membaik. Mereka akhirnya bisa kembali ke kampus lagi dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Eva bertemu dengan Clara di depan gerbang kampus, mereka masuk ke dalam bersama-sama.
"Sepertinya keadaan pak William sudah membaik ya? Ku lihat wajahnya hari ini full senyum deh."
Eva tertawa kecil. "Begitulah, katanya dia hari ini lagi semangat banget buat kerja."
"Serius?? Pak William bisa gitu ya? Oh, aku juga sempat lihat tadi jam tangan yang kamu beli buat pak William, ternyata cocok juga ya ..."
"Iya dong. Orang setampan pak William mah mau pakai aksesoris apa pun pasti kelihatan cocok."
Saat mereka berdua sedang asyik mengobrol, datanglah seorang laki-laki yang menghampiri mereka berdua sambil membawa sebuah buku Psikologi.
"Pe-permisi kak, kakak yang bernama Eva 'kan ya?"
Eva mengangguk. "Iya, benar. Ada apa ya?"
"Saya mahasiswa Psikologi semester 1, ada beberapa materi
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"Eva sedikit menunduk dan meremas kedua tangannya. "Soalnya ... ada seseorang yang menyebarkan informasi kalau aku ini menyontek saat ujian di forum sekolah, terus ... dia juga memasukkan fotoku di postingan itu."Eva sesekali melirik ke arah William, tetapi William hanya diam mendengarkan saja, tetapi dahinya sedikit berkerut. "Dia memasukkan fotomu? Siapa yang berani melakukan hal itu?"Eva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, karena akun itu hanyalah akun anonim jadi nggak kelihatan siapa pemilik asli akun tersebut."William mengalihkan pandangannya, ia berpikir sejenak. Lalu, ia menoleh kembali ke arah Eva. "Terus, kamu ada rencana apa?""Untuk saat ini sih ... aku hanya bisa menjalankan kewajibanku sebagai seorang mahasiswa, yaitu belajar untuk ujian. Karena aku pikir, akan lebih baik kalau bisa membuktikkan di depan para dosen kalau aku ini innocent."William tersenyum tipis. "Siapa sangka, se
"Hm ... hanya kebetulan saja. Kebetulan aku sempat lewat Perpustakaan tadi dan sempat melihatmu bertarung dengan pemikiranmu sendiri."William sedikit menunduk dan menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Eva. "Kamu ini benar-benar nggak pernah gagal ya, untuk membuatku merasa kagum padamu."Eva tak bisa menahan air matanya, bibirnya sedikit bergetar. Ia meraih kepala William dan menempelkan bibirnya ke bibir William, William seketika terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, Eva melepaskan ciumannya dan memeluk leher William."Terima kasih ... terima kasih sudah mau mempedulikanku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mau menjadi rumah untukku, terima kasih karena sudah mempersiapkan semua ini hanya untuk mengembangkan kemampuanku."Eva tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain berterima kasih. Tidak ada yang tahu seberapa bahagia dirinya yang sekarang, setelah belasan tahun tinggal di sebuah keluarga yang tidak pernah mempedulikannya sedikit pun
Eva merenung sejenak, ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Hm ... untuk saat ini, aku masih belum tahu. Tapi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sekarang, paling cuman ... belajar buat ujian besok."Seketika mata Clara berkedut. "Kamu ini ya ... baru juga bisa menenangkan diri, tapi masih berniat buat belajar. Otakmu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Heran deh ..."Eva terkekeh. "Aku bener, 'kan? Memangnya apa tugas kita sebagai seorang mahasiswa? Kalau bukan belajar, terus apa lagi?""Ya, tapi ... kamu nggak mau gitu membersihkan namamu? Postingan itu sudah dilihat oleh semua mahasiswa di kampus ini, lho. Memangnya kamu rela dihujat terus sana sini?"Tentu saja mau, akan sangat merepotkan kalau berita ini bisa tersebar hingga keluar kampus. Tetapi Eva tidak ingin mengatakannya kepada Clara, selama buktinya masih belum ditemukan."Aku tahu kalau kamu sangat mengkhawatirkanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu."Clara mengernyitkan dahinya. "Kenapa begitu
Dengan nafas yang terengah-engah, Eva meraih kalung tersebut dan mengangkatnya hingga sejajar dengan matanya. Walau pun matanya mulai memerah, ia mengamati kalung yang ada di telapak tangannya selama beberapa saat. Dengan hati-hati, ia mengelus kalung itu dengan ibu jarinya.Entah bagaimana, ia bisa merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan spontan, ia langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi yang ia temukan hanyalah beberapa mahasiswa yang sedang membaca buku di mejanya masing-masing yang agak jauh darinya.Eva menoleh kembali pada kalung yang ia pegang. Jari tangannya perlahan-lahan menekuk hingga menutupi kalung yang ada di telapak tangannya. Sikutnya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda.'Sudah, tenang ya. Kamu itu kuat.'Begitulah kata-kata yang terlintas di benak Eva. Kemudian, ia melepaskan genggamannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi roda, kedua tangannya bertumpu pada pegangan tangan kursi roda, lalu ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya
Setelah Eva keluar dari ruang dosen, Eva menghembuskan nafas lega, Kemudian, ia berencana untuk pergi ke kantin sambil menunggu Clara. Selama perjalanan, banyak mahasiswa yang saling berbisik saat mereka melihat Eva."Eh, lihat itu. Dia itu anak yang katanya menyontek itu, 'kan?""Iya, benar. Kalau nggak salah dia baru saja keluar dari ruang dosen deh ...""Pasti habis dihukum."Eva mengerutkan dahinya, ia merasa bingung kenapa semakin banyak mahasiswa yang mengetahui kejadian itu. Padahal ia sudah membuktikan kejujurannya di depan dosen, lalu kenapa mereka masih saja menyinyir?Namun, Eva berusaha untuk mengatur nafasnya dan tetap bersikap tenang. Ia berusaha untuk tidak memikirkan semua itu, karena apa pun yang dikatakan oleh banyak orang, ia sendiri juga tidak bisa menghentikan mereka. Memang pahit, tapi itulah yang dinamakan kenyataan.Karena mendengar hinaan dari mahasiswa lain, Eva memutuskan untuk berpindah tempat. Ia tidak ingin pergi ke kantin, tetapi ke Perpustakaan. Karena
Eva mulai memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan ujian. Seperti biasa, ia melakukan ritualnya dahulu sebelum akhirnya menjawab soal satu per satu. Dosen yang ada di sebelah Eva memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Surya."Dia nggak ngerasa keganggu ya kalau kita di sini?"Surya menggelengkan kepalanya. "Nggak, tuh lihat saja wajah seriusnya. Mau kita berisik juga nggak akan memecah fokusnya."Dosen itu terkekeh. "Hebat ya, bahkan saya saja nggak bisa mempertahankan fokus seperti itu."'Ya dong ... siapa dulu biangnya.' batin Surya."Mahasiswi lagi ujian, kenapa kalian berdua malah berisik?"Surya dan dosen itu menoleh serentak. Lalu raut wajah Surya berubah menjadi masam."Ngapain kamu ke sini?"Ibu Ruth memegang pinggangnya dengan kedua tangan. "Apa maksud pak Surya? Saya di sini hanya ingin mengawasi mahasiswi saya saja kok, nggak boleh?"Surya memutarkan bola matanya dengan malas. Ibu Ruth mel







