Share

Bab 6 Gara-Gara Motor

"Kapten? Apa posisi Mas Agha atasan mereka?" Rania tertunduk malu, semakin minder dibuatnya. Dia tidak tahu menahu pangkat di anggota kepolisian. Dia bisa melihat berbagai badge terpasang di seragam orang-orang yang berdiri tegap di depan Agha. Ada tanda balok berwarna emas tersemat di sana. Namun Rania jelas tidak bisa menemukan tanda itu di pakaian Agha, karena belum memakai seragam. Mencoba mengingat-ingat saat bertemu di Polda, Rania menyayangkan dirinya saat itu tidak fokus melihat badge pada seragam yang dipakai Agha.

 

"Mas, Mas Agha jabatannya apa sih?" bisiknya sembari mendekat. Agha sedikit merendahkan badannya, karena tinggi Rania hanya sebatas pundaknya.

 

"Nggak usah tahu, Ra, kalau itu hanya akan membuatmu menjauh dariku," balasnya dengan tak kalah berbisik.

 

Deg,

 

"Perasaan macam apa ini? Kenapa aku jadi segugup ini."

 

"Ckk, menyebalkan. Kita juga nggak sedekat itu kali," gerutu Rania yang disambut gelak tawa Agha.

 

"Yang pasti kita tetangga dekat," bisiknya lagi ditelinga Rania.

 

"Hah." Jantung Rania berdebar kembali, padahal tadi sudah sempat normal. Setiap mencium aroma citrus membuat perasaan nyaman itu hadir.

 

"Maaf ya, aku nggak bisa anter kamu sampai kos. Ini kunci motornya. Kamu bawa aja dulu, nanti malam aku ambil motornya. Share lokasi aja ke ponselku!"

 

Setelah Agha memberi balasan hormat, anak buahnya membubarkan diri dari barisan. Beberapa dari mereka masih meyaksikan tingkah keduanya. Bahkan ada yang berbisik-bisik sambil tersenyum. Rania meliriknya sekilas, wajahnya tiba-tiba memanas. Tanpa pikir panjang dia pun mengiyakan ucapan Agha.

 

"Dah ya, aku mau bersiap pakai seragam. Kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa hubungi ponselku. Ingat!" Rania masih terpaku tetapi segera memberi jawaban dengan anggukan.

 

Dia menatap lama kunci motor yang diberikan Agha.

 

"Ya, Rabb. Ini pertama kalinya aku naik motor di jalan raya di Yogya. Mau menolak, nggak enak sama Mas Agha kalau harus mengantarku selepas upacara. Masak iya aku harus nunggu di asrama cowok." 

 

"Mau saya antar, Mbak?" goda salah satu dari mereka yang duduk berjongkok membetulkan tali sepatu.

 

"Jangan macam-macam dengan wanita milik Kapten!" ungkap laki-laki yang masih duduk santai memasang badge di seragamnya.

 

"Ng...nggak usah, Mas. Makasih."

 

Rania bergidik mendengarnya, lalu memutuskan membawa motor sendiri ke kos dengan mengucap bismillah selamat di jalan sampai kos.

 

Sepanjang perjalanan membawa motor dengan tas punggung di belakang dan cooler bag ditumpangkan di depan, Rania tak henti berdoa. Dia berharap tidak terjadi masalah seperti motor macet atau salah jalan.

 

Terpaksanya motor macet atau apa, dia yakin Agha bisa mengatasi toh pemilik motornya adalah anggota kepolisian yang bertugas di Polda DIY.

 

Motor melaju dengan tenang, Rania lega jarak kosnya semakin dekat tinggal satu kilometer lagi. Saat ingin menyeberang ke jalur yang berlawanan untuk masuk ke gang menuju kosnya, Rania tampak ragu. Dia masih kaku mengendarai motor dengan rem cakram yang membuatnya gagap.

 

Brakk, 

 

Begitu berhasil melintas, Rania tidak menyadari telah menabrak sesuatu segera melanjutkan perjalanannya.

 

"Sial tuh cewek main lari aja! Motorku jadi korban begini, dia nggak mau tanggung jawab. Aku doain tuh cewek menjomblo seumur hidup!"

 

"Astaga, Bi! Segitunya kamu menyumpahi cewek tadi. Kasian kalau dia cantik menjomblo seumur hidup."

 

Laki-laki pemilik nama Abimanyu Nareswara mengumpat karena motornya menyenggol trotoar. Dia sedang berboncengan dengan Irvan sahabatnya tiba-tiba ada motor melintas tanpa lihat kanan kiri. Alhasil dia terkejut dan menginjak rem mendadak serta sedikit oleng kekiri hingga bagian bawah motor ada yang mencium trotoar. Terlihat goresan di motor sportnya.

 

"Biarin dia tanggung jawab, Van."

 

"Ya kalau dia tahu masalahnya. Kalau enggak?!"

 

"Aku yang akan bikin dia tahu andai ketemu lagi. Aku sudah catat nopolnya. Wajahnya juga sempat aku lihat tadi, kebetulan kaca helmnya terbuka. Aku sudah merekamnya dalam memoriku."

 

"Cih, buat apa, sih? Uangmu nggak akan habis untuk benerin tuh goresan," decih Irvan membuat Abi kesal.

"Aku nggak masalahin uang, hanya butuh permohonan maaf darinya."

Irvan menyerah, sahabat satunya ini kalau sudah kekeh bilang A nggak bisa dibujuk suruh B. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju tempat tujuannya.

Rania berhenti tepat di halaman kos tetangga. Dia harus sedikit menuntun motor untuk masuk ke wilayah kosnya melalui gang sempit. Sesuai peraturan, mesin motor harus dimatikan supaya tidak mengganggu kenyamanan penghuninya.

"Nia..., kamu bawa motor siapa?!" teriak histeris Cika di ambang pintu rumah berlantai satu yang menjadi tempat tinggalnya juga Rania. Rumah sederhana tetapi bersih dan asri memiliki taman kecil di bagian depan. Rumah khusus untuk kos putri berisi sepuluh kamar berukuran 3x3 sebanyak enam kamar dan sisanya berukuran lebih luas lagi. 

"Sstt, jangan teriak-teriak, Ci. Malu-maluin aja, dikira orang nanti aku bawa motor curian."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status