Home / Romansa / Dosenku Suamiku / Bab 5 Anak Perwira vs Penjual Susu

Share

Bab 5 Anak Perwira vs Penjual Susu

Author: D Lista
last update Last Updated: 2022-10-05 00:34:41

"Yuk, Mas!" Agha melihat Rania membawa cooler bag. Hatinya amat tersentuh saat melihat semangat gadis yang berselisih lebih dari lima tahun dengan usianya. 

"Ra, kamu nggak masalah kuliah sambil kerja?" 

"Memangnya kenapa, Mas?"

"Aku khawatir kamu nggak bisa atur waktu. Nanti kuliahmu justru terbengkalai." Rania duduk sebentar di samping Agha dengan memberi jarak cooler bag di tengahnya, karena kursi yang tersedia lumayan panjang.

"Nggak gitu juga, Mas. Aku malah bisa latihan wirausaha. Kan di kampus ada mata kuliah kewirausahaan sekarang." Rania menjelaskan dengan wajah sumringah.

"Ya sudah, yang penting fokus pada kuliahmu biar cepat lulus dan...." Agha menjeda kalimatnya. Dia tak yakin kalimat selanjutnya akan membuat Rania senang mendengarnya.

"Dan bisa kerja lalu dapat uang banyak," sambung Rania seraya tertawa renyah. Agha sedikit kecewa ternyata kalimat lanjutannya beda dengan yang dipikirkan Rania.

"Kenapa, Mas?"

"Haha, iya iya dapat uang banyak biar cepat kaya raya lalu lupa sama aku."

"Ishh, enggaklah. Pak polisi selalu di hati semua orang."

"Yang penting aku selalu di hatimu, Ra," ucap Agha tentunya hanya tertahan di dalam hati.

Ehm,hmm.

Suara deheman memaksa mereka menghentikan gelak tawa. Rania terkejut lantas berdiri dan membungkukkan badan. Ada Bu Sastro yang baru datang, sepertinya ingin membeli susu juga.

"Agha, kamu sudah pantas untuk menikah. Buruan menikah biar dicarikan calon sama bapakmu. Kalau sudah menikah nanti nggak akan ada perempuan yang mengusikmu." Ucapan sinis Bu Sastro bisa dipahami Rania kalau perempuan yang dimaksud mengusik adalah dirinya. Namun sebisa mungkin Rania tetap bersikap sopan. Kenyataannya memang dirinya sering merepotkan Agha untuk memboncengkannya saat sama-sama balik ke Yogya.

"Iya pasti, Budhe. Masak iya ponakan budhe yang ganteng ini disuruh jomblo seumur hidup. Nantilah aku minta Bapak melamar gadis."

"Jangan lupa gadis yang sesuai bebet, bobot, dan bibitnya. Cantik saja nggak ada jaminan untuk memenuhi ketiganya. Bapakmu banyak relasinya, anak perwira masak menikah dengan gadis kampung jualan susu," seloroh Bu Sastro terang-terangan sembari melirik sinis Rania.

"Jangan begitu, Budhe!"

 

"Ah, sudahlah! Sana buruan berangkat biar nggak kena sanksi terlambat!"

 

Rania hanya meneguk ludahnya. Sudah seringkali ucapan menyakitkan masuk ke telinganya hingga menyayat relung hati. Mengekori Agha yang menuju motor, Rania mengelus dadanya. Benar saja apa yang dibilang Bu Sastro. Mana pantas dia bersanding dengan anak perwira yang juga seorang anggota kepolisian. Biasanya polisi dapat pasangan tak jauh dari profesinya. 

 

"Ah, sudahlah Rania kuburlah mimpimu dalam-dalam agar kamu tidak merasa menjadi orang yang menyedihkan."

 

"Ra, jangan terlalu diambil hati omongan budhe! Beliau memang suka ceplas ceplos begitu," ujar Agha membuat Rania tersenyum kecut. 

 

"Andai kamu tahu sikap Bu Sastro yang memaki ibuku dua tahun yang lalu, Mas. Pasti kamu nggak akan terima budhemu menindas keluargaku. Bahkan sampai saat ini hati Bu Sastro masih sehitam arang. Gunung kapur pun tak sanggup mengubah warnanya."

 

Keduanya bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan diawali doa, Agha mulai menstater motornya. Sempat terjadi perdebatan awal karena Agha menginginkan cooler bag di depan, sedangkan Rania sebaliknya. Lantas Rania meletakkan tas punggungnya di dada untuk pembatas antara dirinya dan punggung tegap Agha.

 

"Pegangan yang benar, kalau mengantuk bilang. Kalau takut juga jangan diam saja!"

 

"Iya-iya, tumben cerewet sih, Mas."

 

Agha tidak menjawab, hanya seulas senyum mengembang di bibirnya saat melihat wajah kesal Rania dari kaca spion.

 

Agha mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi tepat setelah masuk jalan raya. Dia tidak mengindahkan peringatan Rania untuk berhati-hati. Alhasil, Rania pasrah membonceng motor dengan mendekap erat tas punggungnya sembari berpegangan kuat pada jaket yang dikenakan pengemudinya. Sesekali Rania memejamkan mata, merapalkan doa keselamatan untuk keduanya.

 

"Astaghfirullah, jadi begini kalau polisi mengejar pengemudi motor yang suka lari dari kejaran polisi. Pantas saja mereka sering tertangkap. Polisinya naik motor sat set, nikung sana sini pandai melewati celah bahkan lalu lintas sepadat apapun. Motor meliuk ke kanan kiri mencari jalan hingga awalnya di baris belakang sekarang bisa di baris paling depan saat lampu merah menyala.

 

Rania menarik napas berkali-kali masih diiringi dengan istighfarnya. Jantungnya pun tak kalah berdetak hebat saat di tengah perjalanan motor yang ditumpanginya tadi menyalip bus besar. 

 

"Yakinlah aku membawamu sampai tempat tujuan dengan selamat! Jangan pernah membiarkan hatimu meragu!"

 

"Hmm. Ya." Dengan suara bergetar, Rania membenarkan sedikit posisinya biar nyaman karena sempat terdorong maju setelah Agha mengerem mendadak.

 

"Selamat di jalan iya, tapi jantungku nggak aman, Mas," sesalnya dalam hati meski senang bisa berangkat bersama untuk pertama kali sampai Yogya. Biasanya Rania minta diturunkan di jalan raya lalu naik bus. Kali ini Agha tidak membiarkannya naik bus, alasannya khawatir kualitas susu yang dibawa menjadi tidak bagus. Hanya sebuah alasan klasik, sesungguhnya ada bunga-bunga yang mekar di dalam hatinya.

 

Tidak sampai dua jam Rania sudah sampai di markas Agha. Semacam asrama untuk tempat tinggal para anggota kepolisian. Rania merasa seperti wanita di sarang penyamun. Malu jelas iya, disana banyak pasang mata melihat kedatangannya. Semua kaum adam tengah bersiap dengan pakaian seragamnya. Hanya dia sendiri dari golongan kaum hawa yang berada disana.

 

Membungkukkan sedikit badannya, Rania memberi tanda menyapa mereka.

 

"Nggak usah terlalu hormat, mereka bisa ngelunjak!" larang Agha.

 

"Selamat datang, Kapten! Waktu upacara sebentar lagi dimulai." Rania terkesiap melihat dengan sigapnya beberapa orang di depannya berbaris rapi dan memberi hormat pada laki-laki di sampingnya. Dia mengernyitkan dahi seraya menatap Agha dari ujung kepala hingga ujung kaki.

 

"Kapten? Apa posisi Mas Agha atasan mereka?" Rania tertunduk malu, semakin minder dibuatnya. Dia tidak tahu menahu pangkat di anggota kepolisian.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku Suamiku   Bab 42 Surprise (TAMAT)

    Bab 42 Surprise (Tamat) "Mas Agha, kenapa beliau yang datang?""Hah, aku juga nggak tahu, Ra.""Ishh, bohong kamu, Mas."Agha berusaha lari ke dapur untuk menghindar sebelum kena timpuk Rania.Di sinilah saat ini, dua keluarga yang saling bersua untuk satu tujuan baik yakni menyatukan dua insan yang awalnya bersepakat dengan sebuah perjanjian. Ruang tamu berisi keluarga Abi dan juga Pak Joko sebagai tuan rumah. Sementara itu, Rania duduk dengan kursi terpisah, karena kursi kayu yang mengisi ruang tamu terbatas.Setelah basa-basi perkenalan, papa Abi mengutarakan maksud kedatangan keluarganya untuk melamar Rania.Seketika Rania tersentak, sekilas beradu pandang dengan Abi, lalu memutus kontak dengan mengalihkan netra kearah sang bapak. "Maaf, izinkan saya berbicara berdua dengan Pak Abi," mohon Rania dengan menangkupkan kedua tangannya.Mama Abi yang semula berbinar wajahnya sedikit meredup. Ada sorot khawatir jika Rania akan menolak. Namun, Rania memberikan senyuman sekilas membuat h

  • Dosenku Suamiku   Bab 41 Mengejutkan

    Bab 41 Mengejutkan Netranya menangkap sosok laki-laki berperawakan tinggi memakai topi dan kaca mata hitam sedang melambaikan tangan ke arahnya. "Mas Ares. Benarkah itu Mas Ares?" lirihnya.Jantung Rania berdegup kencang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari bahwa laki-laki itu bukan Ares, melainkan Agha.Ya, Agha memang berjanji menjemputnya bersamaan dengan Ares yang mengirimkan pesan akan menjemput juga. Alhasil, Rania tidak menolak keinginan satupun dari mereka."Mas Agha?" sapa Rania dengan memasang wajah ceria, meskipun sedikit kaku. Dia tak mau ketahuan sedang memikirkan seseorang yang ditunggunya. Agha menjawab salam dari Rania lalu mengulas senyum yang mengembang."Apa kabar? Kamu tambah cantik, Ra.""Ishh, nggak usah nggombal." Agha pun tergelak."Lama nggak ketemu. Mas apa kabar?""Baik. Ayo, masuk mobil dulu! Nanti ceritanya dilanjutkan lagi sambil jalan.""Ya, Mas." Rania tidak fokus dengan obrolan Agha selanjutnya, justru pandangannya berkeliaran sibuk mencari Ares. Pe

  • Dosenku Suamiku   Bab 40 Aku Pulang, Pak, Bu

    Bab 40 Aku Pulang, Pak, Bu.Waktu tak terasa bergulir begitu cepat, hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Terhitung sudah hampir 11 bulan Rania dan teman-temannya mengabdi di Austria. Rania hanya sekali berkirim pesan pada Ares dan mendapat balasan panjang lebar enam bulan lalu. Dia urung mengirim kembali, setelah melihat ares berganti profil WA dengan foto gadis kecil. Rania mengira pasti itu foto anaknya. Setitik nyeri itu hadir, dia harus menelan pil pahit. Seseorang yang diharapkan merengkuhnya kembali untuk bangkit ternyata sudah punya keluarga kecil. "Ah, payahnya diriku. Kenapa harus berharap pada manusia. Pada akhirnya kecewa yang kurasa." Hari ini, dia harus menghadiri acara perpisahan dengan pihak kampus yang mengadakan progam mengajar untuk anak WNI di Klagenfurt dan Vienna. Dalam acara nanti, panitia akan memberikan penghargaan pada mahasiswa yang telah sukarela melaksanakan tugasnya.Malam tiba, sambutan dari ketua panitia membuka acara pelepasan tim sukarela

  • Dosenku Suamiku   Bab 39 Kontak

    Bab 39 Kontak"Ya, Mas. Sini nomernya kasih catatan di sini ya!""Kenapa nggak langsung diketik di ponsel?""Hmm, saya nggak bawa ponsel," kilahnya.Menggenggam secarik kertas, Rania sedikit gemetar membukanya sesaat setelah sampai di dorm. Dia memastikan teman satu kamarnya tidak melihat karena memang belum pulang dari bertugas mengajar. Gegas Rania menyalin nomer itu di buku catatan kecilnya.Kata hatinya menyuruh demikian, karena bisa jadi mahasiswa yang tadi menemuinya tidak akan mengulang hal yang sama. Rania berniat membeli ponsel akhir pekan ini. Dia perlu menghubungi dosen dikampusnya terkait mata kuliah yang dikerjakannya secara daring. Merebahkan badan di ranjang, Rania menatap langit-langit kamar. Pendingin ruangan segera dinyalakannya untuk mengurangi udara yang semakin terasa panas."Bapak, Ibu, Sari. Kalian apa kabar di sana? Semoga sehat-sehat semua. Kenapa beberapa hari ini mimpiku selalu tentang bapak. Mas Agha juga lagi bertugas, aku nggak bisa mendapat informasi lag

  • Dosenku Suamiku   Bab 38 Kenangan Itu

    Bab 38 Kenangan ituSejak mengetahui berita skandal yang dialami Rania, Abi diserang sakit kepala yang amat sering. Sepertinya, sakit itu terkait dengan ingatannya yang sempat hilang pasca kecelakaan. Dia memutuskan cuti untuk melakukan pengobatan terapi atas saran dari Irvan sahabatnya. Kedua orang tuanya pun mendukung untuk melakukan terapi di Semarang agar keluarga bisa memantau.Selain itu, mamanya juga tidak lagi memaksa Abi segera menikah mengingat kondisi kesehatannya kurang stabil. Selama empat minggu, Abi baru selesai menjalani terapi dengan Irvan dan didampingi psikiater di RS kota Semarang, kini sedikit demi sedikit ingatannya mulai pulih. Tentang sosok gadis kecil di masa lalu, dia mulai bisa mengingatnya bahwa dulu pernah menolong seorang gadis dan mendampingi pemulihan psikisnya selama sebulan. Kini dia baru mengaktifkan kembali ponselnya setelah terapi selesai. Begitu ponsel diaktifkan, tak terhingga pesan masuk membuatnya menggelengkan kepala. Namun, ada satu pesan yan

  • Dosenku Suamiku   Bab 37 di Wörthersee

    Bab 37 di WörtherseeDisinilah Rania mengerucutkan bibir, duduk bersama Agha ditemani dua cangkir coklat panas di Lounge bandara. Aroma coklat yang menguar menggoyangkan lidah untuk dicicipi. Namun, ego Rania melarang menyentuh minuman lezat itu.Secangkir coklat menemani dalam keheningan. Asap mengepul, aroma menguar, mengundang kerinduan. "Aku rindu menyantapnya bersamamu, seperti saat di kafe dulu. Kurasa sebentar lagi coklat ini akan dingin, sedingin hatimu padaku akhir-akhir ini. Sudahi main petak umpetnya, kamu nggak bakat bersembunyi dariku, Ra.""Mas!" Agha tergelak, melihat ekspresi kesal Rania sungguh terlihat lucu."Baiklah, aku yang salah. Jangan menyalahkan Cika! Aku yang memaksanya. Aku hanya ingin...."Suara Agha terjeda saat melihat perubahan ekspresi Rania mulai memudar kesalnya."Aku ingin minta maaf, untukku, juga keluargaku. Kamu tidak seharusnya melakukan ini, Ra. Kamu nggak harus pergi jauh," bujuk Agha."Nggak, Mas. Aku tahu masalahnya sudah usai, tapi aku berja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status