Begitu Margaret mengucapkan kata-kata itu, ruang rapat langsung menjadi riuh."Benar-benar berhasil juga ya.""Bagus sekali, John Hopkins itu universitas yang luar biasa. Kalau mahasiswa kita bisa ke sana dan melihat dunia luar, itu akan jadi pengalaman yang sangat baik.""Selama ini nggak ada kabar, saya pikir tahun ini juga batal lagi."Alex yang duduk di sebelah Rexa, menyikut lengannya sambil berbisik, "Pak Rexa, itu 'kan almamater Anda. Nanti bisa berbagi pengalaman ke mahasiswa."Rexa tersenyum tipis, tetapi raut wajahnya tampak sedikit termenung."Tenang dulu, saya belum selesai bicara." Suara Margaret membuat suasana di ruang rapat kembali hening."Kita semua tahu betapa bergengsinya Universitas John Hopkins. Ini adalah kesempatan luar biasa bagi para mahasiswa kita. Belajar itu proses yang tiada akhir dan kita sebagai pendidik seharusnya menciptakan kondisi terbaik agar mereka kelak bisa memberi kontribusi lebih kepada masyarakat.""Walaupun masa perkuliahan di sana baru dimul
Suara rendah yang sengaja ditekan itu menyiratkan daya tarik yang sulit dijelaskan. Ditambah lagi dengan senyum di matanya, bagaikan jaring asmara yang perlahan-lahan membelenggunya.Jantung Arlina berdebar-debar. Perasaan manis dan malu hampir membuatnya tenggelam seluruhnya."Pak Rexa, Anda di dalam?"Suara ketukan di pintu terus terdengar.Arlina segera tersadar dan refleks menoleh ke arah Rexa.Rexa menatapnya dengan pandangan menenangkan. "Nggak perlu takut. Kita nggak sedang melakukan hal yang memalukan."Apa? Berciuman itu masih belum cukup memalukan?Rexa tampaknya tahu apa yang dia pikirkan. Dia menurunkan suaranya dan berkata, "Lagian mereka juga nggak tahu."Karena jaraknya begitu dekat, Arlina bisa melihat dengan jelas luka di bibirnya. Kalau begitu, mana mungkin mereka tidak tahu?Sebelum Arlina sempat bereaksi lebih jauh, Rexa sudah membuka pintu.Ternyata yang berdiri di ambang pintu adalah seorang dosen dari jurusan lain. Dia sudah mengetuk beberapa saat dan tadinya hen
Suara Arlina yang manja membuatnya tampak semakin menggemaskan.Rexa menelan ludah pelan, nada bicaranya menjadi sedikit dalam dan menggoda. "Aku juga pernah kasih kamu angpau, tapi kenapa kamu nggak kasih aku balasan apa-apa?"Malam tahun baru waktu itu, Rexa memang memberinya sebuah angpau besar.Merasa sedikit tidak enak karena sudah menerima pemberian, Arlina langsung berjinjit dan mengecup pipinya yang lain. Bibirnya yang lembut menempel di pipi Rexa, membuat jantung pria itu berdebar keras sesaat.Namun saat Arlina hendak mundur, Rexa langsung melingkarkan tangan di pinggangnya dan menahannya agar tidak kabur.Kini, kening mereka hampir bersentuhan. Suara Rexa rendah dan penuh godaan, "Angpau yang kuberikan ke kamu itu sepuluh kali lipat lebih besar dari yang dikasih ke temanmu. Kamu cuma balas begitu saja?"Nada bicaranya membuat wajah Arlina langsung merona hebat. "Terus ... kamu maunya gimana?" tanyanya dengan manja."Kamu sendiri kira-kira gimana?" Rexa balik bertanya sambil
"Kalau nggak begitu, harusnya aku bilang apa? Bahwa kita nggak sengaja tidur bareng sekali, terus kamu hamil anakku, jadi kita menikah?"Yang benar saja, itu malah lebih menggemparkan!Wajah Arlina merah padam. Dia menunduk, lalu berkata pelan, "Sebenarnya ... belum tentu juga kamu yang jatuh cinta duluan sama aku."Rexa mengangkat alis, menatapnya penuh makna. "Kalau dibilang aku yang jatuh cinta duluan, itu lebih masuk akal."Senyum muncul perlahan di sudut matanya. "Lalu aku ngejar-ngejar kamu terus, aku nggak tahan sama pesonamu, akhirnya kita menikah dan punya anak?"Semakin lama dia bicara, wajah Arlina semakin merah padam.Akan tetapi, sepertinya itu juga tidak masuk akal. Masa Rexa yang terus mengejar-ngejar dia? Diberi nyali sebesar apa pun Arlina tidak akan berani menerimanya."Karena ceritanya masih ada perdebatan, kita bahas ulang saja," ujar Rexa sambil tersenyum menantang.Arlina masih menggenggam sendok di tangannya dan menatap Rexa dengan bingung."Yang pertama ngajak n
Umurnya saja sudah setengah jalan masuk ke liang lahat, mau dekati wanita apa lagi? Rexa ini suka bercanda juga.Hartono lantas mengangkat tangan, "Nggak, nggak usah. Aku mundur saja.""Kalau begitu, kami pamit dulu. Arlin belum sempat makan," kata Rexa dengan sopan."Baik, baik," Hartono mengangguk cepat. "Pergilah, makan yang banyak."Di hadapannya, Rexa menggenggam tangan Arlina, lalu sedikit menunduk memberi hormat sebelum membawanya masuk ke dalam kantor.Begitu mereka pergi, Hartono langsung semangat membuka ponselnya dan masuk ke grup obrolan kantor yang isinya memang tempat berbagi gosip ringan antar dosen.[Hartono: Baru dikonfirmasi langsung oleh yang bersangkutan, ternyata Pak Rexa yang mengejar istrinya. ]Begitu pesan itu terkirim, para dosen di grup langsung heboh memberi respons."Sudah lihat belum? Pak Hartono bilang ternyata Rexa yang duluan ngejar mahasiswinya.""Padahal dari tampangnya, Rexa itu bukan tipe cowok yang agresif banget, ya.""Soal pernikahan mereka juga
"Kamu masih muda tapi kemampuanmu luar biasa juga, ya. Berani-beraninya mengincar profesor,"ucap Hartono sambil menyipitkan mata.Hati Arlina langsung berdegup kencang, mengira dirinya akan dimarahi habis-habisan.Namun siapa sangka, Hartono malah tiba-tiba mendekat dan menoleh ke sekeliling seolah memastikan tidak ada yang mendengar, lalu menurunkan suaranya, "Coba kamu ceritakan padaku, gimana caranya kamu bisa menaklukkan Pak Rexa? Biar aku bisa belajar juga.""Eh?" Perubahan situasi yang mendadak itu membuat Arlina terkejut dan tidak tahu harus bagaimana merespons."Pak Hartono ... mau mengejar orang yang Anda suka?"Baru selesai bicara, kepalanya langsung mendapat tepukan ringan. Hartono menggeleng sambil tertawa getir. "Aku ini sudah punya istri dan anak, mana ada orang yang kusuka lagi."Arlina menyadari bahwa pikirannya barusan memang agak melantur, sehingga dia menggaruk telinganya dengan malu."Anak perempuanku sudah hampir umur 30, tapi belum pernah pacaran sama sekali. Aku