Wilson tiba-tiba kepikiran sesuatu, ekspresi bergosipnya langsung hancur.Dunia runtuh! Baru saja dia ... apa dia baru saja menghina Rexa? Bilang dirinya meremehkannya, bilang Rexa kotor, bahkan menyuruhnya kembali ke jalan yang benar. Sekarang, pisau itu rasanya seperti tergantung di lehernya sendiri.Kaki Wilson langsung gemetaran. Dia menatap Rexa dengan penuh rasa takut. "Pak ... Pak Rexa, maafkan aku, aku salah paham. Aku nggak seharusnya ngomong seperti itu tadi."Dia menyesal setengah mati, rasanya ingin menampar diri sendiri dua kali.Suara Rexa tenang dan lembut, "Nggak apa-apa. Satu hal yang kamu bilang memang benar. Sebagai dosen, kita memang harus memberi contoh yang baik dan menjaga perilaku kita."Wilson langsung menambahkan dua level lagi dalam skala kekagumannya kepada Rexa. Melihat ekspresi bersyukur Wilson, Rexa menunjuk ke peralatan eksperimen di depannya. "Masih ada yang mau kamu bicarakan? Kalau nggak ada, aku lanjut kerja."Wilson buru-buru menjawab, "Nggak ada, n
Namun, yang jelas dia bukan seorang pengecut.Begitu Wilson mengucapkan itu, suasana di dalam ruangan langsung menjadi sunyi dan aneh.Dia memejamkan matanya, bersiap menghadapi amarah luar biasa dari Rexa. Dia bahkan sempat membayangkan dirinya akan dilempar keluar dari ruangan. Dia pun mulai berpikir, jika dilempar keluar, gaya jatuh seperti apa yang paling keren agar tak terlalu malu dilihat para mahasiswa di luar.Dia menunggu. Satu detik ... dua detik ... tiga detik .... Tidak ada suara.Rasa bingung dan curiga mulai muncul dalam hatinya. Perlahan-lahan, dia membuka mata.Yang dia lihat adalah ekspresi bingung Rexa. Seseorang yang biasanya selalu terlihat tenang dan bijaksana, untuk pertama kalinya tampak linglung."Aku selingkuh?"Pria ini masih berpura-pura. Wilson langsung terbakar emosi."Kamu sendiri yang bilang! Cewek yang waktu itu di bawah bukan istrimu, kamu bilang sendiri! Tapi kamu peluk dia! Kalian jalan bareng, dekat banget lagi, seakan-akan takut orang nggak tahu hub
"Benar, waktu itu aku bahkan sempat lihat Rexa senyum-senyum sendiri sambil lihat ponsel. Kalau orang lain sih wajar, tapi kalau itu Rexa ... seram juga ya.""Itu belum seberapa. Aku pernah lihat ada bekas merah di dekat tulang selangkanya Rexa. Kalau dia nggak tunduk buat ambil barang, aku nggak akan pernah lihat."Para mahasiswa langsung menarik napas dalam-dalam. Rexa adalah pria yang serius dan juga penuh wibawa. Namun, ada bekas merah di tubuhnya? Ini benar-benar sulit dipercaya."Istri Pak Rexa ganas banget ya."Mereka semua langsung tertawa nakal."Jadi benar ya, istri Pak Rexa sudah balik?""Kemarin aku tanya Pak Wilson, tapi dia cuma kasih uang buat beli minuman, nggak jawab apa-apa. Jadi kita juga bingung, kita menang taruhan atau nggak.""Ya, padahal tujuan kita bukan minum teh susu, tapi cari tahu perempuan yang dipeluk Pak Rexa waktu itu istrinya atau bukan."Seorang teman di sampingnya langsung mengejek, "Padahal kamu yang paling semangat minumnya. Bahkan pilih topping pa
Keesokan paginya, Arlina terbangun dan mendapati sisi tempat tidur di samping sudah kosong.Dia menggerakkan kakinya yang masih terasa pegal, dalam hati menggerutu, 'Laki-laki tua itu benar-benar gila. Sudah seganas itu semalaman, masih bisa bangun duluan pagi-pagi begini.'Sambil membatin, Arlina bangkit dari tempat tidur. Tepat saat itu, pintu terbuka dan sesosok tubuh tinggi besar masuk ke kamar.Rexa juga tampak sedikit terkejut melihat Arlina sudah bangun. Mata mereka pun langsung bertemu.Pemandangan panas semalam langsung muncul begitu saja di benak masing-masing. Semua adegan intim itu masih terasa begitu nyata, sangat kontras dengan sosok Rexa yang berwibawa saat ini.Keduanya mendadak diam. Suasana menjadi aneh.Wajah Arlina langsung memanas. Tatapannya menghindar. Dalam hati, dia berharap bisa langsung berbaring lagi dan berpura-pura tidur.Akhirnya, Rexa yang lebih dulu membuka suara. Dia berdeham pelan, lalu berkata, "Sudah mau jam kerja. Aku datang buat bangunin kamu.""O
"Lagi pula, aku juga nggak bohong. Kamu memang lagi nggak punya waktu sekarang."Setelah berkata begitu, Rexa kembali mencium Arlina. Begitu bibir mereka bersentuhan, seolah-olah ada percikan yang memantik gelombang hasrat yang tak terbendung.Tanpa gangguan orang lain, ciuman mereka semakin mendalam. Bibir dan lidah saling menjelajah, saling menyapa tanpa malu.Hormon berpesta liar. Tubuh mereka mulai memanas. Kehampaan di dalam diri perlahan tumbuh menjadi hasrat yang ingin segera dipenuhi.Suara Rexa terdengar serak dan berat, napasnya seperti api yang membakar udara di sekitar mereka."Sudah berhenti?"Arlina tahu persis apa maksud pertanyaannya. Begitu menatap mata Rexa itu, pipi Arlina langsung memerah. Dia mengangguk pelan.Detik berikutnya, tubuhnya langsung diangkat ke pelukan Rexa. Arlina berteriak kecil karena kaget, lalu spontan melingkarkan tangan ke lehernya.Rexa melangkah cepat menuju kamar. Karena sudah tahu apa yang akan terjadi, tubuh Arlina seperti terbakar. Wajahny
"Mm ...."Semua kata-kata yang ingin Arlina ucapkan langsung tertahan di tenggorokan. Ciuman Rexa kali ini jauh lebih mendesak dari biasanya, bahkan seperti mengandung rasa kepemilikan yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.Namun, Arlina tahu Rexa bukan tipe pria seperti itu. Dia tidak pernah menganggap dirinya memiliki Arlina.Satu-satunya penjelasan yang masuk akal yaitu dia sedang cemburu. Cemburunya ini bahkan sangat parah.Dari ponsel masih terdengar suara Lucas. Sepertinya dia sudah berpindah ke tempat yang lebih sepi. "Arlin."Ciuman Rexa terasa semakin menekan di bibirnya."Kapan kamu bakal kemari lagi buat kumpul sama kita? Aku ... aku kangen masa-masa kita kuliah bareng.""Sss ...." Tiba-tiba, bibir Arlina digigit pelan. Itu semacam peringatan. Rasanya tak sakit, tetapi cukup mengejutkan.Tatapan Rexa dalam dan gelap. Karena refleks bersuara, detak jantung Arlina langsung melonjak.Sesuai dugaan, di seberang sana Lucas mendengarnya dan bertanya, "Arlin, kamu kenapa?"Waj