Dia tahu yang membuatnya berlinang air mata itu bukan karena rasa sakit."Kalian sedang apa?" Tiba-tiba, terdengar bentakan keras, lalu sebuah tangan menarik lengan Arlina dan membantunya berdiri.Saat melihat mata Arlina yang memerah, mata Hubert langsung menyipit. Dia berdiri di depan Arlina, menutupi tubuhnya, lalu menatap tajam ke arah para keluarga pasien dan berkata dengan suara lantang, "Aku yang jadi dokter penanggung jawab. Operasi itu aku yang tangani. Kalau ada masalah, silakan hadapi aku!""Kami memang mau cari kamu! Kamu yang bikin ayahku mati! Dokter-dokter kayak kalian nggak punya hati nurani! Rumah sakit ini tempat pembunuhan!" Salah satu dari mereka berteriak histeris."Kalau kalian merasa ada yang salah dengan penanganan medis kami, silakan ajukan permintaan untuk menyegel rekam medis dan tuntut kami ke pengadilan. Tapi kalau kalian masih bikin keributan di rumah sakit, kami akan panggil polisi.""Silakan! Kami nggak takut!""Ada apa ini?"Suara berat terdengar dari b
Setelah Arlina selesai mandi dan berganti pakaian, sarapan yang disiapkan oleh Rexa juga sudah matang. Keduanya duduk sambil menikmati sarapan, lalu Rexa teringat sesuatu dan berkata."Soal SIM-mu, aku sudah tanyain. Tempat latihannya dekat banget dari rumah sakit, ada kelas malam juga. Jadi, kalau kamu mau latihan setelah pulang kerja juga bisa. Kalau menurutmu oke, aku bakal daftarin kamu."Arlina berpikir sejenak. "Gimana kalau ditunda dulu?""Kenapa?" tanya Rexa."Annie sebentar lagi pulang, rumah sakit juga lagi sibuk. Kalau aku masih luangin waktu buat latihan mengemudi, aku jadi makin nggak punya waktu buat Annie."Rexa jarang mencampuri keputusan Arlina. Dia paham betul kalau Arlina selalu tahu mana yang menjadi prioritas. Dalam situasi sekarang, jelas bagi Arlina bahwa Annie adalah yang paling penting."Oke deh." Rexa mengangguk.Arlina melanjutkan sarapannya. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kebahagiaanya. "Annie sudah mau pulang!"Melihat ekspresinya yang begitu senang, Rexa
Arlina diam-diam mendengarkan."Aku ingat dulu Jazlan pernah bilang ke aku. Katanya, jadi dokter benar-benar menyebalkan."Arlina langsung memahami perasaan Jazlan saat itu."Terus, gimana caranya menyesuaikan diri?""Waktu itu dia bilang cukup mengeraskan hati."Hati Arlina sedikit bergetar."Maksudnya itu bukan jadi kejam atau dingin, tapi jangan terlalu banyak melibatkan perasaan pada pasien. Kita berusaha semaksimal mungkin buat menyembuhkan mereka, tapi tetap harus ada batas antara dokter dan pasien. Nggak boleh melewati garis itu."Suara Rexa terdengar jelas di atas kepalanya.Dulu Arlina mengira lima tahun cukup untuk membuat dirinya tumbuh dewasa. Sekarang, dia sadar pada saat dirinya terus berproses, Rexa juga berubah menjadi lebih dewasa dan bijak. Dia sendiri masih membutuhkan pelukan serta penghiburan dari pria ini.Dulu Arlina mungkin akan merasa resah karena tertinggal jauh. Dia ingin mengejar, ingin mengimbangi langkah Rexa. Sekarang, dia hanya merasa bersyukur.Lima tah
Rexa mungkin mendengar suara dari pintu dan langsung membuka mata, lalu bangkit dari sofa. Matanya masih sayu, tetapi saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu, dia spontan berkata, "Kamu sudah pulang."Nada bicaranya santai, tetapi justru membuat Arlina merasa tenang. Rasa lelah yang menumpuk sepanjang malam seolah-olah sedikit menguap.Dia melangkah mendekat ke sofa. "Aku 'kan sudah bilang, kamu nggak usah nunggu. Bisa saja aku tidur di ruang jaga.""Aku nggak nunggu." Suara Rexa lembut. "Aku cuma ketiduran di sofa."Demi mengurangi rasa bersalah di hati Arlina, alasan seperti itu pun dia ucapkan.Arlina berdiri di sana tanpa menjawab.Lampu ruang tamu masih menyala dan cahaya dari area pintu masuk menyinari ruangan. Wajah Arlina terhalang bayangan, tetapi Rexa masih bisa menangkap ekspresi letih yang tersembunyi di sana.Rexa teringat pesan terakhir Arlina sebelum komunikasi terputus tadi. Dia mengulurkan tangan, mencoba menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Pasien tadi gima
Arlina menyahut dengan kesal, "Menurutku, tugas kita bukan cuma menyembuhkan pasien, tapi juga menenangkan keluarga mereka."Hubert tidak sependapat. "Kamu mau menenangkan seperti apa pun, kalau nanti terjadi sesuatu, tetap saja mereka bakal ribut."Nada bicaranya seperti orang yang sudah sangat berpengalaman. Arlina malas berdebat. Dia pun maju untuk memeriksa kondisi luka pasien.Melihat Arlina tidak menjawab, Hubert sadar mungkin dia kesal. Bibirnya sempat bergerak, tetapi akhirnya dia tidak mengucapkan apa pun dan langsung pergi.Begitu dia keluar, Arlina berbisik kepada perawat di sebelah, "Dia menyebalkan sekali, nggak pernah ada pasien yang komplain?"Perawat itu diam-diam tertawa. "Justru karena pernah dikomplain, makanya dia ngomong kayak tadi."Pantas saja. Namun, Arlina tidak merasa dirinya melakukan kesalahan. Menurutnya, menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga pasien bukan hanya membuat mereka lebih tenang, tetapi juga mengurangi risiko konflik medis.Karena kondisi
Suara yang ditimbulkan Hubert cukup keras. Rekan-rekan sekantornya yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing langsung mengangkat kepala saat mendengar suara itu."Ada apa dengan Dokter Hubert?""Nggak tahu, mungkin karena operasi besok susah. Operasi itu memang cukup rumit, mungkin dia lagi stres.""Biasanya sesulit apa pun juga dia nggak bakal begini, 'kan? Eh, Dokter Arlina."Arlina yang sedang memeriksa hasil laboratorium langsung mendongak saat mendengar namanya dipanggil. "Ya?""Untuk operasi besok itu, kira-kira kalian punya keyakinan berapa persen? Usia pasien sudah tua, jadi risikonya tinggi banget.""Kami akan berusaha sebaik mungkin."Pasien yang akan dioperasi besok sudah berusia lebih dari 70 tahun, mengalami diseksi aorta dengan kalsifikasi, serta memiliki banyak penyakit penyerta. Setelah menjelaskan risiko operasi kepada keluarga pasien, mereka tetap bersikeras ingin menjalani tindakan karena kondisi pasien memang kritis. Begitu masuk rumah sakit hari ini, langsung d