Jazlan terlihat bersemangat, dalam hati membayangkan semua fantasi semalam akan segera terwujud. Dia ingin Lillia melihat betapa gagah dan beraninya dia.Jazlan mengepalkan tangannya dengan erat, menatap waspada ke arah babi hutan.Babi hutan itu menatap tajam, matanya yang hitam pekat terus menyorot ke arah mereka."Arlin." Rexa mengambil tiang tenda dari tanah dan menggenggamnya, lalu berkata kepada Arlina, "Bawa Annie dan Lillia pergi dulu, lalu hubungi polisi."Arlina melihat Annie di pelukannya, tahu mereka bertiga tak bisa banyak membantu jika tetap di sini."Dokter Lillia." Satu tangan Arlina menarik Annie, satu tangan lagi menarik Lillia. Dia menunggu Rexa dan Jazlan membentuk barikade manusia sambil mundur. "Kalian hati-hati ya."Melihat Jazlan tak memegang senjata, Rexa menyerahkan satu tiang padanya. "Kamu kira tinjumu bisa lawan babi hutan?"Baiklah, Jazlan mengakui dirinya terlalu terpengaruh film-film fantasi."Kenapa babi hutan ini tiba-tiba muncul?" Jazlan bertanya samb
Begitu mendengarnya, Annie langsung berlari penuh semangat ke arah orang tuanya.Pukul 6 pagi, angin di tepi pantai agak kencang. Arlina memakai sehelai syal di pundaknya, sementara Rexa memeluknya dari belakang. Saat Annie berlari mendekat, Rexa berjongkok dan mengangkatnya.Di cakrawala jauh, garis putih di laut semakin terang, langit dan laut bertemu, matahari yang baru terbit berwarna oranye kemerahan menerangi seluruh garis pantai. Cahaya yang memantul di permukaan laut seperti menyentuh bumi, sementara burung camar di kejauhan terbang melintasi sinar matahari pagi, membentuk lukisan yang indah."Mataharinya kayak kuning telur." Suara Annie terdengar penuh semangat.Mereka berdiri sejajar di pantai. Sinar matahari pagi menyinari tubuh mereka, wajah mereka berkilau keemasan, mata mereka memantulkan cahaya.Manusia memang hidup untuk menikmati keindahan seperti ini.Saat melihat matahari terbit, Arlina merasa terharu hingga ingin meneteskan air mata. Suara Annie yang girang terus te
Annie merangkak naik menggunakan tangan dan kaki ke tubuh orang tuanya. Arlina dan Rexa bertatapan, dengan kompak mencium pipi Annie.Mereka sengaja memberi tekanan sedikit. Pipi Annie yang lembut pun tertekan hingga mulutnya mengerucut."Hihihi." Tawa Annie yang merdu terdengar di dalam tenda seperti kicau burung pagi.Di sisi lain, Jazlan duduk bersila di tenda, menatap langit berbintang.Di sampingnya, Lillia diam saja. Jazlan ragu sejenak, lalu bertanya, "Kamu sudah tidur?""Belum." Suara Lillia segera terdengar."Sudah lihat bintang?""Pertanyaan sampah."Baiklah, Jazlan mengakui dirinya tidak tahu harus mengatakan apa.Setelah berpikir, Jazlan bertanya lagi, "Kapan kamu bakal balik?""Besok malam.""Tujuan berikutnya ke mana?""Kota Libora.""Hah?"Suara Lillia terdengar tak berdaya. "Kamu kira aku ini pengangguran, nggak perlu kerja? Aku cuma libur seminggu.""Oh, oh." Jazlan langsung merasa canggung."Kalian gimana? Kapan balik?""Lusa, kami juga cuma libur tiga hari.""Oh."Su
Rexa tahu dirinya sudah ditipu Arlina, matanya pun dipenuhi senyuman. Di samping, Annie ikut menerkam sambil berseru, "Aku juga mau main, aku juga mau!"Satu keluarga itu berguling-guling di atas pasir, tawa mereka terus terdengar.Berbeda dengan suasana hangat di sebelah sana, di tempat Jazlan justru penuh rasa kikuk. Sambil berusaha membuka tenda, dia berkata, "Seingatku di tutorial caranya begini. Tunggu sebentar, aku lihat lagi petunjuknya."Sambil berbicara, dia mengeluarkan ponsel dan membuka panduan yang dikirim penjual, lalu membacanya dengan saksama.Saat ini, Lillia mendekat. Aroma tubuhnya membuat tangan Jazlan yang memegang ponsel langsung gemetar.Jarak mereka begitu dekat, napasnya jelas terasa, bahkan bulu mata Lillia yang bergetar pun bisa dia lihat.Jazlan refleks menahan napas, seluruh perhatiannya hanya pada Lillia. 'Dia sangat dekat denganku. Pertama kali dia sedekat ini denganku. Ibu, anakmu akhirnya punya pencapaian. Dia mendekat!'Setelah satu atau dua menit, nap
Sambil pura-pura tenang makan, Jazlan melihat Lillia mengambil udang yang sudah dia kupas dari sudut matanya. Begitu melihat udang itu masuk ke mulut Lillia, Jazlan hampir berteriak kegirangan. Dia sudah begitu perhatian, seharusnya bisa menebus rasa malu sore tadi, 'kan?"Dokter Lillia, malam ini kami rencananya mau pasang tenda di tepi pantai. Malam bisa lihat bintang, besok pagi juga bisa lihat matahari terbit," ujar Arlina."Boleh banget." Mata Lillia langsung berbinar, tetapi lalu dia teringat sesuatu. "Tapi aku nggak bawa tenda. Nanti aku coba cari kalau ada yang sewa."Arlina melirik Jazlan. Benar saja, Jazlan langsung berucap dengan nada meminta dipuji, "Aku sudah siapkan."Lillia menoleh padanya. Jazlan seketika tampak malu-malu sampai tak berani menatap. Dia berkata lagi, "Aku sudah siapkan tenda untukmu."Lillia menatapnya beberapa detik, lalu tanpa basa-basi berujar, "Kalau begitu, terima kasih ya, Dokter Jazlan.""Ah, sama sekali bukan masalah."Annie mendongak, melihat se
Seketika, hati Jazlan bergetar hebat.'Dia ... dia tersenyum padaku ....'Malam itu, tempat makan mereka adalah warung seafood dekat hotel. Mereka memesan semeja penuh makanan laut. Rexa sibuk mengupaskan udang untuk Arlina, sementara Annie memberi perintah pada Jazlan tanpa henti."Ayah, aku mau makan itu.""Ayah, aku mau makan udang kayak Mama.""Ayah, saus ini pedas, aku nggak mau."Sambil makan, Lillia sambil memperhatikan keempatnya.Suasana antara Arlina dan Rexa jelas penuh kehangatan dan harmonis seperti biasa. Sementara Jazlan dengan Annie ... benar-benar terlihat seperti ayah dan anak kandung. Dia sibuk menyuapkan makanan, mengupas udang, bahkan mengelap mulut Annie. Selama makan, dia sibuk sekali sampai tidak berhenti sesaat pun.Membuat di benak Lillia tiba-tiba muncul dua kata, "Ayah Idaman".Yang paling jelas, Rexa terlihat pasrah melihat tingkah Jazlan, "Biarkan Annie makan sendiri. Dia bisa pakai tangan sendiri. Kamu juga makanlah, jangan cuma sibuk melayani."Namun, Ja