Plak! Terdengar suara sesuatu jatuh ke lantai. Hubert menjatuhkan kotak makannya. Ekspresinya tampak sulit dipercaya, seolah-olah ragu dirinya salah dengar. "Apa?"Ruang makan menjadi sunyi mencekam. Jelas bukan hanya Hubert yang terkejut, semua orang sama sekali tidak menyangka jawaban Arlina akan seperti itu."Suami?" Tatapan Hubert meredup. Kata itu seakan-akan menjadi sesuatu yang amat mengejutkan baginya."Ya." Arlina mengangguk. Melihat rekan-rekan satu ruangan menatapnya tak percaya, dia tersenyum. "Sebelumnya nggak ada yang tanya, jadi aku nggak pernah cerita. Aku sudah menikah enam tahun, anakku sekarang lima tahun."Satu lagi kabar yang mengejutkan! Para rekan kerja langsung melotot."Anak lima tahun?" Suara Hubert sampai pecah, ekspresinya pun hancur.Rekan-rekan yang sudah bekerja bersamanya begitu lama belum pernah melihat Hubert kehilangan kendali seperti ini.Arlina mengangguk lagi. "Ya."Ekspresi Hubert berubah-ubah. Mata hitamnya menatap tajam Arlina, penuh emosi, sepe
Kenapa tiba-tiba mengungkit topik itu? Arlina tidak tahu kenapa Hubert menanyakan hal itu."Di mata kalian para wanita, apakah penampilan benar-benar mengalahkan segalanya?" Hubert tampak begitu terobsesi dengan pertanyaan itu.Arlina berpikir, apa dulu dia pernah ditolak orang gara-gara masalah penampilan? Sekarang mereka terjebak di dalam lift. Membicarakan sesuatu dengan canggung setidaknya lebih baik daripada diam total.Arlina pun merenung sesaat, lalu menjawab, "Nggak selalu begitu. Pesona pribadi lebih penting dari segalanya. Kalau kualitas diri seseorang cukup baik, penampilan itu cuma kulit luar."Selesai berbicara, Arlina merasa ucapannya agak seperti merendah untuk pamer. Dirinya setiap hari memeluk suami setampan itu, tetapi malah bilang penampilan cuma kulit luar. Bukankah ini agak keterlaluan?Siapa sangka, bagi Hubert ucapan itu terdengar seperti sebuah isyarat. Selama kualitas dirinya cukup baik, penampilan bisa diabaikan.Setelah hening sejenak, suara berat Hubert terd
Di perjalanan menuju ruang operasi, ucapan Arlina barusan terus terngiang di benak Hubert. Mereka berdua masuk ke lift bersama."Pasien nomor 2 hari ini demam tinggi, aku sudah melakukan pemeriksaan kultur darah untuknya. Pasien nomor 11 lukanya pulih dengan baik, aku berniat mengizinkannya pulang lusa. Terus, pasien nomor 16 masih ada masalah tunggakan biaya. Aku sudah bicara dengan keluarganya. Mereka nggak ingin menyerah pada pengobatan dan sedang berusaha mengumpulkan uang ...."Arlina memanfaatkan waktu di dalam lift untuk melaporkan kondisi pasien yang menjadi tanggung jawab mereka kepada Hubert.Arlina memang selalu bisa diandalkan, serius dan bertanggung jawab dalam pekerjaan, hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Dia jauh lebih bisa dipercaya dibandingkan seorang kenalan orang dalam yang juga baru datang belum lama ini.Donna sering kali membuat rekan kerja yang setim dengannya kesal setengah mati. Sayangnya, karena dia adalah keponakan wakil direktur rumah sakit, tidak ada
Dadah? Bagus sekali.Yang tidak tahu harus berkata apa bukan hanya Jazlan, tetapi juga Rexa. Rencana untuk mengusir Annie dulu, lalu menempel dengan istrinya, lagi-lagi gagal.....Karena membawa bekal, Arlina sepanjang pagi memikirkan makanan di kulkas. Pagi itu setelah selesai berkunjung ke kamar pasien dan sebelum operasi, dia masuk ke ruang rapat untuk minum air. Begitu membuka pintu, dia mendengar suara orang di dalam.Ternyata beberapa rekan yang baru selesai sif malam belum pulang. Mereka sedang berkumpul melingkar dan mengobrol."Serius, dia super ganteng. Mahasiswa di kampus kami semuanya suka sama dia. Ganteng dan berwawasan, benar-benar pria idaman.""Benaran? Ada fotonya nggak? Dulu waktu aku kuliah, dosen kami kalau nggak botak, ya perutnya buncit. Nggak ada satu pun yang enak dilihat.""Aku cari deh, dulu aku sempat diam-diam foto dari kolom staf di website, tapi aku sudah lulus setahun lebih. Memori ponselku penuh, jadi banyak yang sudah dihapus.""Seganteng itu sudah ni
Akibat kebanyakan makan camilan, Annie pun merengek karena tidak sanggup makan malam lagi. Rexa dan Arlina juga tidak memaksanya. Mumpung Jazlan jarang datang, sesekali memanjakan Annie juga tidak masalah.Mulut kecil Annie terus berceloteh, menceritakan banyak hal kepada Jazlan tentang perjalanan mereka kali ini. Jazlan benar-benar memberi nilai emosional yang tinggi. Setiap kali mendengar bagian yang seru, dia akan memasang ekspresi berlebihan."Benarkah?""Ya ampun.""Annie hebat sekali."Itu semua adalah kalimat andalannya, membuat Annie senang bukan main.Arlina berkata kepada Rexa, "Dengan mulutnya yang manis begitu, kok bisa masih jomblo sampai sekarang?"Rexa menjawab datar, "Mungkin belum digunakan pada orang yang tepat. Kalau seperti Annie yang bahkan belum lulus TK sih cocok. Tapi kalau yang sudah punya ijazah, pasti nggak bakal tertipu.""Ah, nggak kok. Menurutku sih kebanyakan cewek bakal suka tipe seperti ini, mulutnya manis dan bisa memberi nilai emosional."Rexa melirik
Malam harinya, Jazlan datang dengan bersemangat. Dari pintu terdengar suara ketukan, diikuti suara Jazlan. "Annie, buka pintunya, ini Ayah."Annie sedang duduk di lantai bermain puzzle. Begitu mendengar suara itu, dia langsung berlari ke pintu. Dari dapur, Rexa yang sedang memakai celemek keluar, sementara Arlina sedang menyiapkan peralatan makan.Begitu pintu terbuka, Jazlan sudah berdiri di sana. Kedua tangannya menenteng kantong besar dan kecil.Harus tahu, kalau Annie tidak ada di rumah, dia biasanya datang dengan tangan kosong. Bahkan, dia selalu membawa makanan pulang, seakan-akan ingin menguras semua makanan yang ada di rumah."Ayah!" Begitu melihatnya, Annie langsung memeluknya."Annie!" Jazlan langsung melepaskan barang bawaan di tangannya dan merentangkan kedua lengan. Keduanya pun berpelukan erat.Rexa tampak sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Sebaliknya, Arlina yang melihat hanya bisa tersenyum sambil berkata, "Sepertinya putrimu lebih dekat sama Dokter Jazlan."Rexa me