Share

Bab 7

Author: Ghea
Rexa meraih kertas itu. Saat matanya membaca tulisan "Positif Hamil", sorot matanya menjadi lebih dalam. Arlina terus memperhatikan reaksinya dengan hati-hati.

Melihat pria itu hanya menatap lembaran kertas itu tanpa berkata apa-apa, dia langsung panik dan buru-buru menjelaskan, "Pak Rexa, anak ini ... anak ini milik Anda. Aku ... aku cuma pernah bersama Anda seorang."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, wajahnya langsung merah padam. Akhirnya, tatapan Rexa beralih dari kertas itu kepadanya. Pantas saja Arlina terlihat begitu gugup sedari awal. Dia hanyalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun yang belum pernah mengalami hal seperti ini. Saat mengetahui dirinya hamil, Arlina pasti merasa sangat bingung dan takut.

Kalau bukan karena benar-benar terdesak, mungkin Arlina tidak akan mencari dirinya. Rexa diam-diam mengutuk dirinya sendiri. Dengan sekali kehilangan kendali, dia telah menghancurkan hidup seorang gadis.

Rexa meletakkan hasil pemeriksaan itu di meja, lalu bertanya dengan nada lembut, "Bagaimana rencanamu?"

Sikap Rexa yang terlalu tenang membuat Arlina agak bingung dan tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Namun, dia tetap menggelengkan kepala dengan jujur dan menjawab dengan pelan, "Aku nggak tahu ... aku ... aku agak takut."

Melihat jemari Arlina yang terus-menerus menggenggam satu sama lain, muncul perasaan iba dalam hati Rexa. "Takut itu wajar. Siapa pun yang mengalami hal ini seumuran kamu pasti akan merasa takut."

Arlina menundukkan kepala tanpa berkata apa-apa. Rexa mulai menyampaikan pikirannya, "Kamu baru 21 tahun dan masih kuliah. Saat ini yang terpenting adalah pendidikanmu. Pilihan terbaik untukmu adalah menggugurkan anak ini."

Arlina sudah menduga jawaban itu sebelumnya. Hatinya bergetar sesaat, kemudian dia berkata pelan, "Aku nggak berani bilang ke orang tuaku. Operasi kuret butuh tanda tangan pihak keluarga."

Rexa melihat bulu matanya bergetar ringan. "Pertama-tama, aku mau minta maaf. Malam itu aku mabuk dan kehilangan kendali ...." Rexa terdiam sejenak, sulit baginya untuk melanjutkan kalimat itu, lalu memilih untuk melewatinya, "Aku lebih tua darimu, seharusnya aku bisa menahan diri."

Wajah Arlina merah merona, lalu dia buru-buru menggelengkan kepala. "Bukan begitu, aku juga salah ...."

"Kalau kamu memutuskan untuk menggugurkannya, aku akan mendampingimu sepenuhnya. Biaya operasi dan perawatan setelahnya akan kutanggung sepenuhnya sampai kamu pulih." Suara Rexa terdengar tenang dan stabil, entah mengapa membuat hati Arlina yang resah menjadi sedikit tenang.

Setidaknya, dia merasa masih ada seseorang yang bisa dia andalkan untuk diajak bicara. Arlina menggigit bibir, lalu mengangguk pelan, "Baiklah."

Pilihan yang ditawarkan Rexa memang yang terbaik. Kekhawatiran soal tanda tangan orang tua dan biaya sudah terjawab. Namun siapa sangka, Rexa kemudian berkata, "Aku belum selesai bicara. Selanjutnya adalah pilihan kedua."

Arlina tercengang, "Apa?" Masih ada pilihan kedua?

Rexa menatapnya dan berkata dengan tenang, "Kita menikah."

Hah????

Arlina langsung membelalakkan mata menatap Rexa dengan tidak percaya, seolah-olah telinganya salah dengar. Namun, wajah Rexa tetap datar. Seakan-akan, kalimat yang baru saja dia ucapkan itu sama sekali bukan hal yang mengejutkan.

"Aborsi akan memberikan dampak buruk bagi tubuhmu. Kalau kita menikah, anak ini bisa lahir dengan status yang sah. Aku akan bertanggung jawab sebagai suami dan ayah."

"Untuk urusan kuliah, nanti di trimester akhir kamu bisa cuti kuliah selama setengah tahun. Setelah masa nifas, kamu bisa melanjutkan kuliah lagi. Soal mengurus anak, aku yang akan bertanggung jawab."

"Sementara kamu di rumah melahirkan, aku juga bisa membantu mengajarkanmu pelajaran kuliah, aku yakin itu nggak akan mengganggu studimu."

Rexa menatap mata Arlina yang masih terpaku dan terkejut.

"Tentu saja, kamu mungkin merasa aku jauh lebih tua darimu. Tapi itu nggak sepenuhnya buruk. Pengalaman hidupku lebih banyak, aku bisa berbagi cerita dan membuatmu menghindari rintangan yang pernah kulalui. Lagi pula, nanti aku bisa pensiun lebih cepat daripada kamu."

Benar-benar lelucon terburuk sepanjang abad ini!

Arlina tidak menyangka, hanya dalam beberapa menit saja, Rexa bukan hanya menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi seorang ayah, tapi juga langsung memberikan dua pilihan.

Salah satunya bahkan mengusulkan untuk menikah. Selain itu, mengenai kuliah dan rencana mengurus anak pun sudah dipikirkan matang-matang. Memang otak profesor itu berbeda, berpikir jauh lebih cepat dibandingkan orang lain.

Dari rasa terkejut, emosi Arlina berubah menjadi takut. "Pak Rexa, jangan bercanda seperti itu."

"Aku nggak lagi bercanda." Ekspresi serius Rexa membuat wajah Arlina seketika membeku.

"Aku perkenalkan diriku dulu, ya. Rexa Pariaman, 29 tahun, asli dari kota ini, lulusan doktoral, sekarang bekerja di Fakultas Kedokteran Universitas Sterling. Gajiku cukup untuk menghidupi keluarga. Karena baru pulang dari luar negeri, sekarang aku masih tinggal di rumah kontrakan. Tapi kalau mau beli rumah, aku sanggup."

"Aku pakai mobil keluarga, nggak merokok, nggak minum alkohol, dan nggak pernah melakukan kekerasan rumah tangga. Hobiku membaca buku dan lari pagi. Orangtuaku punya usaha kecil, jadi soal biaya pensiun nggak ada masalah."

"Setelah menikah, kita nggak perlu tinggal dengan mertua. Sekarang aku baru mulai bekerja, jadi mungkin agak sibuk, tapi setelah stabil nanti akan baik-baik saja. Aku punya libur akhir pekan, libur musim panas dan musim dingin, jadi cukup waktu untuk menemani kamu dan anak."

Betapa realistisnya perkenalan diri itu. Kalau ada yang mendengar, pasti mengira mereka sedang mengikuti sesi perjodohan.

Bagaikan disambar petir, Arlina terdiam sangat lama. Rexa memandangnya yang masih terpaku, lalu berkata dengan sabar, "Coba pikirkan, yang tadi aku sebutkan itu cocok nggak sama kriteria pasangan hidupmu."

'Tentu saja sangat amat cocok, tahu! Arlina bahkan merasa seperti mendapatkan durian runtuh yang jatuh tepat di kepalanya. Seorang profesor sehebat Rexa, malah mengajaknya menikah?'

Di bawah meja, Arlina mencubit pahanya sendiri.

'Aduh, sakit! Ini bukan mimpi.'

Arlina akhirnya menatap Rexa dengan wajah terkejut, lalu baru benar-benar menyadari bahwa dia tidak sedang bercanda. Rexa benar-benar serius dengan semua yang dia katakan.

Akan tetapi, menikah .... Bagi Arlina, kata itu terasa begitu jauh dari kehidupannya. Dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal pernikahan. Ini adalah keputusan yang jauh lebih besar dibanding menggugurkan kandungan.

Arlina merasa ragu dan berkata dengan pelan, "Pak Rexa, apa aku boleh pertimbangkan dulu?"

"Berapa lama?"

" Senin depan aku akan memberimu jawaban."

"Baik." Rexa mengangguk.

Namun kenyataannya, Arlina bahkan tidak membutuhkan waktu selama itu. Saat dia pulang ke rumah dengan perasaan gelisah, dia mendengar suara Heidy dan Maxton dari dalam.

"Aku mau beli sepatu." Itu suara Maxton.

"Bukannya kamu baru beli belum lama ini?" jawab Heidy.

"Sepatunya rusak gara-gara main basket kemarin."

Heidy terdengar ragu. "Berapa harganya?"

"Tiga setengah juta."

Nada bicara Heidy langsung meninggi, "Semahal itu? Max, sebenarnya kita nggak perlu boros-boros hanya buat sepasang sepatu."

Maxton juga mulai kesal, "Teman-temanku pakai sepatu yang jauh lebih mahal dari ini, sekarang aku jadi nggak percaya diri di sekolah. Sudahlah, kalau nggak mau beli ya nggak apa-apa, aku sudah biasa diejek sama teman-teman."

Heidy buru-buru berkata, "Ya, sudah deh. Ibu belikan buat kamu."

Arlina langsung terpaku di tempat. Keluarga mereka sebenarnya tidak kaya. Heidy hanya ibu rumah tangga yang sesekali membuat kerajinan tangan untuk dijual. Godric hanya seorang kepala seksi di kantor lingkungan sekitar dengan gaji yang biasa-biasa saja.

Sejak kecil, Arlina sering mendengar orangtuanya menasihati bahwa keluarga mereka tidak mampu. Ayah dan ibunya bekerja keras, jadi dia tidak boleh menghamburkan uang sembarangan.

Itulah sebabnya, saat masih sekolah, uang sakunya hampir tidak ada. Ketika masuk asrama saat SMA, Arlina baru diberi uang saku beberapa ratus ribu rupiah dan itu pun tidak pernah mereka berikan dengan inisiatif.

Arlina harus hidup berhemat. Sampai ketika benar-benar kehabisan uang, barulah dia memberanikan diri pulang untuk meminta kepada mereka. Tentu saja, dia akan dimarahi habis-habisan.

Setelah masuk universitas, dia hampir tidak pernah meminta uang lagi dari mereka selain biaya kuliah. Bagi Arlina, uang sejumlah tiga jutaan itu adalah jatah hidup selama beberapa bulan saat SMA. Dulu, dia butuh waktu lama untuk mengumpulkan keberanian dan memohon agar diberi uang. Namun kini, jika putra mereka yang memintanya, semuanya bisa diberikan dengan mudah.

Hatinya tiba-tiba terasa sesak. Arlina tiba-tiba merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melarikan diri dari keluarga ini.

Sementara Rexa ... seolah-olah menjadi satu-satunya pegangan hidupnya.

Arlina berlari keluar rumah. Saat berada di halaman apartemen, dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor telepon Rexa.

"Halo." Suara pria itu tetap lembut dan tenang seperti biasa.

"Pak Rexa." Mendengar suara pria ini, entah mengapa mata Arlina langsung berkaca-kaca. Dia menggenggam ponsel dengan erat, lalu berkata dengan suara gemetar, "Ayo kita menikah."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 50

    Rexa bertanya dengan tenang, "Tadi kamu mau tanya apa?"Jazlan menimpali, "Nggak. Aku cuma mau tanya berapa usia kehamilan Kakak Ipar Muda."Arlina berusaha mengabaikan panggilan itu dan menyahut, "Satu bulan lebih."Mendengar ucapan Arlina, Jazlan melihat Rexa sekilas dan menanggapi, "Satu bulan lebih? Bagaimana kamu bisa kenal dengan Rexa? Setahuku, dia baru bekerja di fakultas kedokteran universitas kalian selama setengah bulan."Arlina berbicara dengan jujur karena Jazlan adalah teman Rexa, "Di ho ...."Sebelum Arlina menyelesaikan perkataannya, Rexa menyela, "Makan. Jangan biarkan dia cari tahu informasi tentang kamu."Arlina melihat Rexa dan Jazlan, lalu lanjut makan lagi. Masalahnya sekarang Arlina sangat kenyang. Jazlan melihat Rexa dengan ekspresi curiga.Setelah selesai makan, Arlina ingin pergi ke kamar mandi karena makan terlalu banyak. Dia ragu-ragu sejenak, lalu berbisik kepada Rexa, "Aku mau pergi ke kamar mandi."Rexa menoleh dan bertanya, "Perlu aku temani nggak?"Arli

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 49

    Rexa bertanya dengan santai, "Kamu mau mengecek identitasnya sampai kapan?"Sekarang Jazlan melepaskan Rexa terlebih dahulu. Dia tersenyum lebar dan berucap kepada Arlina, "Cepat duduk."Tatapan Jazlan tertuju pada perut Arlina. Rexa mengatakan Arlina hamil, tetapi belum terlihat jelas. Seharusnya usia kehamilan Arlina baru memasuki trimester pertama.Setelah duduk di depan meja makan, Jazlan memberikan menu kepada Arlina dan berkata, "Kamu mau makan apa? Coba lihat dulu."Arlina melambaikan tangannya sambil membalas, "Terserah. Kalian yang pesan saja."Jazlan tahu Arlina gugup. Dia juga tidak sungkan lagi dan langsung mengambil menu. Jazlan bertanya, "Ada yang kamu nggak makan?"Rexa menjawab terlebih dahulu, "Dia nggak bisa makan pedas. Pesan iga asam manis untuknya."Jazlan memelototi Rexa lagi. Sekarang Rexa begitu perhatian kepada Arlina, jadi kenapa waktu itu dia menghamili Arlina?Jika ibu hamil suka makan pedas, berarti bayinya berjenis kelamin perempuan. Jika ibu hamil suka ma

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 48

    Wajah Arlina memerah dan jantungnya berdegup kencang. Terdengar suara Rexa. "Apa kamu sudah membalas pesannya?"Arlina baru tersadar. Dia segera membuka WhatsApp Jazlan dan mengirim pesan kepadanya.[ Halo, kami akan sampai 5 menit lagi. ]Siapa sangka, Jazlan langsung membalas pesan itu.[ Kakak Ipar? ]Dilihat dari gaya bahasanya, Jazlan langsung tahu bukan Rexa yang menulis pesan itu. Arlina kaget melihat panggilan Jazlan kepadanya. Dia yang masih muda sudah menjadi kakak ipar?Arlina ragu untuk membalas pesan Jazlan. Bagaimanapun, ini adalah ponsel Rexa. Rexa melirik ekspresi Arlina yang aneh saat memandangi ponsel. Dia bertanya dengan ekspresi bingung, "Kamu balas apa?"Arlina mengangkat kepala dan memandang Rexa dengan kebingungan. Dia berujar dengan terbata-bata, "Dia ... panggil aku ... kakak ipar."Rexa tersenyum dan menanggapi, "Aku lebih tua beberapa bulan darinya. Nggak salah kalau dia memanggilmu kakak ipar."Itu bukan poin pentingnya. Masalahnya Arlina lebih kecil 8 tahun

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 47

    Arlina langsung paham Rexa berbohong demi kebaikannya. Setelah mengeluarkan telurnya, Arlina merasa frustrasi.Akhirnya, Arlina bisa membuat sarapan. Namun, hasilnya sangat buruk. Demi menjaga harga dirinya, Arlina membantu dirinya sendiri menjelaskan, "Teknik memasakku benar-benar lumayan bagus. Kali ini nggak disengaja, besok aku buatkan sarapan lagi untukmu."Masalahnya di kulkas hanya tersisa 2 butir telur. Kalau tidak, Arlina bisa menggoreng telur lagi. Rexa bertanya sembari tersenyum, "Kenapa kamu bersikeras membuatkanku sarapan?"Arlina menggigit roti lapis tanpa telur sambil menyahut, "Aku mau berterima kasih kepadamu. Semalam untung saja kamu membantuku."Kalau tidak, Arlina pasti merasa sangat sedih setelah pulang. Dia hanya bisa bersembunyi di dalam selimut dan diam-diam menangis.Namun, tindakan Rexa membuat Arlina merasa cukup puas. Dia juga bermimpi Rexa memukul Delmar hingga berlutut sembari meminta ampun. Rexa sangat keren."Sudah seharusnya aku berbuat seperti itu. Kal

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 46

    Pintu ruang kerja tidak ditutup rapat. Ketika Rexa masuk ke dalam ruangan sambil membawa segelas susu, dia melihat Arlina tertidur di meja.Malam ini, banyak masalah yang terjadi. Setelah pulang, Arlina langsung mandi dan masuk ke ruang kerja. Sudah jelas dia adalah murid yang rajin. Namun, akhirnya Arlina tidak mampu menahan rasa kantuknya.Cahaya lampu yang tidak terlalu terang terpancar ke wajah Arlina. Kulitnya yang putih terlihat sangat mulus. Tampak bayangan samar dari bulu matanya yang panjang pada wajahnya.Rexa berdiri di samping seraya mengamati Arlina sejenak, lalu meletakkan gelas susu di atas meja dengan pelan. Kemudian, Rexa menggendong Arlina.Tubuh Arlina sangat ringan sehingga Rexa tidak merasa kesulitan menggendongnya. Rexa menggendong Arlina dengan mudah dan berjalan ke kamarnya.Tiba-tiba, terdengar suara yang manja dari pelukan Rexa. "Pak Rexa."Rexa menunduk dan melihat gadis dalam pelukannya memandanginya dengan mata mengantuk. Rexa bertanya dengan sangat lembut,

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 45

    Ersya tertawa senang dan menimpali, "Oke, aku tunggu undanganmu. Nenekmu pasti senang sekali. Waktu mencarinya terakhir kali, dia masih mengomel karena ingin punya cicit secepatnya. Kalian harus berusaha lebih keras."Arlina merasa canggung untuk mengatakan sekarang dia sedang hamil cicit Keluarga Pariaman. Rexa juga tidak menjelaskan. Dia hanya mengiakannya, "Oke, Paman Ersya."Setelah mengantar Ersya, Arlina berdiri di tepi jalan. Dia baru merasakan semua ini tidak nyata. Malam ini, Arlina merasa seperti bermimpi. Emosinya naik turun.Sejak Ersya datang, situasinya langsung berubah drastis. Biarpun Delmar dan Bahran tidak rela, mereka juga sadar tidak mampu melawan tokoh hebat.Ditambah lagi, Delmar tahu hubungan Rexa dengan Ersya tidak biasa. Jika mempermasalahkan hal ini lagi, dia pasti celaka.Rexa menyelesaikan kasus pemukulan ini hanya dengan membayar kompensasi sebesar 500 ribu. Walaupun Delmar tidak menginginkannya, sikap Rexa sangat tegas. Ini adalah pertama kalinya Arlina me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status