Share

Bab 6

Author: Ghea
Arlina berdiri di samping, mengatupkan bibirnya dan memanggil, "Ayah."

Godric meliriknya sekilas, lalu matanya mengamati sekeliling ruangan. "Mana adikmu? Belum pulang?"

Arlina baru hendak berkata tidak tahu, tapi terdengar suara Heidy menyahut, "Tadi aku sudah telepon, dia bilang lagi main basket sama temannya. Dia baru selesai dan sedang dalam perjalanan pulang."

Godric mendengus, "Tahunya cuma main basket seharian, nggak mau belajar yang bagus. Dasar nggak berguna."

"Dia baru kelas satu SMA, dari mana kamu tahu nggak berguna? Mana ada ayah yang ngomong begitu tentang anaknya," kata Heidy.

Setelah lauk dihidangkan di meja, mereka bertiga duduk di meja makan, tetapi tidak ada yang mulai makan. Selama Max belum pulang, mereka tidak akan makan duluan. Arlina sudah terbiasa dengan ini. Dia menatap butiran nasi di depannya sambil melamun.

"Kenapa Max belum pulang juga ya? Jangan-jangan terjadi sesuatu?" kata Heidy dengan cemas.

"Anak sebesar itu, mana mungkin kenapa-kenapa." Meskipun berkata demikian, Godric tetap menambahkan, "Telepon tanyakan dia."

Arlina tiba-tiba teringat saat dia kelas tiga SMA. Lantaran uang sakunya habis, dirinya yang tinggal di asrama, terpaksa pulang ke rumah di akhir pekan untuk meminta uang. Saat itu, hujan deras mengguyur di tengah perjalanan pulang. Dia terpaksa berteduh lama di bawah atap toko sampai hujan agak reda.

Ketika dia pulang dengan baju basah kuyup dan membuka pintu rumah, kedua orang tua dan adiknya sedang duduk makan malam. Melihatnya basah kuyup, mereka sama sekali tidak peduli, malah hanya berkata, "Hujan deras sekali, kami kira kamu baru pulang besok."

Hari itu dia pulang terlambat sejam dan hanya makan lauk sisa. Berbeda dengan Max yang kalau telat pulang 10 atau 15 menit saja, mereka sudah sibuk menelepon dan menunggunya pulang untuk makan.

Heidy baru saja hendak menelepon Max, tapi terdengar suara pintu terbuka dari arah depan. Dia langsung berdiri dan berjalan menuju pintu, "Max pulang!"

Yang masuk adalah seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Wajahnya terlihat polos, tetapi juga terkesan dewasa. Rambutnya yang sedikit acak, menutupi keningnya dan ekspresinya tampak cuek. Ritsleting seragam sekolahnya tidak dikancing dan dibiarkan menggantung di kedua sisi.

"Kamu pasti sudah lapar, ya? Ibu sudah masak daging kecap kesukaanmu," kata Heidy sambil tersenyum ramah pada Maxton.

"Itu dulu, sekarang aku nggak suka lagi," jawab Maxton dengan kesal.

"Oh ya? Kalau begitu sekarang kamu suka makan apa? Lain kali Ibu masakkin."

"Terserah," sahut Maxton dengan nada malas. Begitu masuk dan melihat Arlina, matanya langsung berhenti sejenak, lalu bertanya, "Dia ngapain di sini?" Bahkan tidak ada sapaan sama sekali.

"Ini akhir pekan, kakakmu datang makan di rumah," kata Heidy sambil mendorongnya ke arah dapur. "Cepat cuci tangan, lalu makan. Nanti makanannya keburu dingin."

Maxton berjalan masuk ke dapur dengan enggan.

Selama makan malam berlangsung, Arlina tetap diam. Hanya Heidy yang terus-menerus mengambilkan lauk untuk Maxton, seolah takut anaknya kelaparan.

Maxton juga tidak menunjukkan rasa terima kasih. Dia malah berusaha menghindar sambil berkata dengan tidak sabar, "Aku punya tangan, biar aku ambil sendiri."

Di samping, Godric yang melihat itu pun berkata, "Sudah, bisa nggak makan yang benar?"

Dibandingkan dengan mereka, Arlina terkesan tidak cocok berada di sana sama sekali. Hingga akhirnya, tanpa sadar dia memakan sepotong daging berlemak. Rasa minyaknya langsung memenuhi mulut Arlina, membuat perutnya seolah bergolak hebat.

"Hoek ...." Dia tidak bisa menahan diri dan langsung memuntahkannya ke lantai.

Ketiga orang itu langsung serentak menoleh ke arahnya, sementara Maxton menutup hidungnya dengan jijik.

Belum sempat berkata apa pun, perut Arlina kembali terasa mual. Dia bergegas berlari ke toilet dan berjongkok di lantai untuk memuntahkan semua makanan yang dia makan malam ini.

"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba muntah?" Heidy mengikutinya ke dalam kamar mandi, sambil menepuk-nepuk punggungnya. "Tadi baik-baik saja, kenapa tiba-tiba muntah?"

Arlina muntah hebat hingga air matanya hampir menetes. Matanya memerah, merasakan hangatnya tangan Heidy yang menepuk-nepuk punggungnya. Tiba-tiba dia teringat, mungkin sebelum Maxton lahir dulu, ibunya juga pernah menepuk-nepuk punggungnya seperti ini saat dia sakit.

Di detik itu juga, mata Arlina terasa panas. Perasaan cemas dan takut yang sudah lama dipendamnya, mendadak menyeruak ke permukaan. Dia ingin memberi tahu ibunya bahwa dia sedang hamil, ingin bertanya pada ibunya apa yang harus dia lakukan, dan apakah hidupnya benar-benar sudah berakhir.

"Kamu sudah baikan?" tanya Heidy sambil menatapnya.

Arlina menoleh dan mengangguk sedikit. Dia ingin bicara, tetapi merasa ragu. "Ibu, aku ...."

Belum sempat dia mengeluarkan kata-katanya, Heidy sudah berdiri dan berjalan keluar sambil mengerutkan kening. "Kalau sudah baikan, bersihkan ini semua. Lagi makan, tapi malah muntah semua ke lantai. Kenapa nggak tahan dulu sampai ke toilet?"

Ucapan Heidy bagaikan pukulan telak di hati Arlina. Dari luar toilet masih terdengar suara, "Max, kenapa nggak makan lagi? Ibu sebentar lagi beresin semuanya, makanlah yang banyak."

Suara Maxton yang kesal terdengar, "Nggak mau makan lagi, sudah hilang selera."

Suara Godric terdengar rendah dan berat, "Cepat beresin, mau makan nggak nih?"

Tidak ada seorang pun yang peduli bagaimana keadaan Arlina di dalam toilet. Tidak ada yang memberinya selembar tisu ataupun menuangkan segelas air untuk berkumur.

Arlina yang berjongkok di toilet tiba-tiba menangis sesenggukan. Dia tidak seharusnya berharap apa-apa dari mereka. Arlina sempat mengira dia bisa mendapatkan sedikit penghiburan dari keluarganya.

Namun dia lupa, semua luka yang dia alami justru berasal dari keluarga ini. Saat dia berbuat salah, mereka hanya akan menyalahkan dan menghakiminya, tak pernah ada satu pun yang memikirkan bagaimana perasaannya.

Di balik air matanya, Arlina teringat sosok pria yang teduh dan menenangkan itu. Apakah pria itu bisa memberitahunya, apa yang harus dia lakukan sekarang?

....

Malam semakin larut dan hening. Rexa duduk di ruang kerjanya dan di depannya tergeletak sebuah laptop. Cahaya dingin dari layar memantul ke wajahnya, menampakkan ekspresi tenang dan tajam. Ujung jarinya yang ramping bergerak lincah di atas keyboard.

Drrt drrt drrt ....

Ponsel di sampingnya tiba-tiba bergetar. Rexa memijat pelipisnya dan mengangkat ponsel. Ternyata dari nomor asing.

"Halo." Suara Rexa terdengar berat dan dalam.

Tidak ada jawaban dari seberang. Rexa mengulang lagi, "Halo."

Tetap tidak ada respons. Rexa menduga ini hanya telepon iseng, sehingga dia bersiap untuk menutup panggilan. Namun, tepat saat ujung jarinya hampir menyentuh tombol tutup, terdengar suara yang ragu dan gemetaran, "Pa ... Pak Rexa."

Rexa langsung mengenali suara itu sebagai Arlina. Dia kembali menempelkan ponsel ke telinga. Suara gadis itu terdengar sedikit gugup, "Ini aku, Arlina."

"Aku tahu."

"Maaf mengganggu Anda malam-malam begini." Suaranya terdengar cemas. Setelah mengumpulkan keberanian, dia melanjutkan, "Besok Anda ada waktu? Kita bisa bertemu?"

Rexa tidak banyak bertanya. Sembari menatap lampu meja di depannya, dia berkata, "Baik."

....

Waktu dan tempat pertemuan ditentukan oleh Rexa. Saat pintu restoran didorong terbuka, dia langsung melihat Arlina.

Gadis itu mengenakan jaket abu-abu yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu di kampus. Wajahnya yang mungil tampak menunduk, sementara jemarinya yang diletakkan di atas meja saling menggenggam dengan gelisah. Ini menunjukkan betapa gugupnya Arlina saat ini.

Rexa melangkah mendekat.

Mendengar langkah kaki itu, Arlina lalu mengangkat kepala. Wajah Rexa yang familier langsung memenuhi pandangannya. Dia buru-buru berdiri dan memanggil, "Pa ... Pak Rexa."

Rexa memberi isyarat padanya untuk duduk, lalu Arlina pun menurutinya. Keduanya duduk berhadapan, suasana menjadi hening sejenak.

Rexa membuka percakapan lebih dulu, "Mau makan apa?"

Arlina buru-buru menggeleng, "Nggak perlu, nggak usah."

"Kita bertemu di sini memang untuk makan." Rexa mendorong menu ke arahnya. "Pilih saja makanan yang kamu suka."

Nada bicara Rexa terdengar agak tegas, membuat Arlina tidak berani membantah. Dia asal menunjuk salah satu menu di daftar, "Yang ini saja."

Rexa melirik sekilas, yang dipilihnya adalah kepala ikan dengan cabai cincang. Dia memanggil pelayan tanpa mengatakan apa pun. Selain kepala ikan, dia juga memesan tiga hidangan lain. Saat menunggu hidangan datang, Arlina hanya sibuk menyeruput air, mencoba mengalihkan rasa gugupnya.

Rexa tampaknya juga tidak tergesa-gesa. Sejak duduk, dia belum menanyakan alasan Arlina memintanya untuk bertemu.

Akhirnya, makanan telah disajikan. Melihat kepala ikan yang dipenuhi cabai, Arlina langsung merinding. Dia tidak tahan makanan pedas, tadi dia hanya asal menunjuk menu karena pikirannya sedang tidak fokus. Sekarang dia terpaksa harus makan makanan yang dia pilih sendiri.

Setelah memakan beberap suap, dia kepedasan hingga berkeringat deras dan bibirnya pun memerah.

Tiba-tiba, sebuah tangan terulur dan menuangkan air ke dalam gelasnya. Rexa berkata, "Air lemon bisa membantu mengurangi pedas. Kalau nggak bisa makan, nggak usah dipaksa."

"Maaf," Arlina merasa agak canggung.

"Nggak perlu minta maaf." Rexa memindahkan kepala ikan cabai itu ke samping. "Setidaknya aku tahu sekarang kamu nggak tahan pedas."

Kata-kata Rexa membuat hati Arlina sedikit tersentuh. Dia mengangkat kepala dan memandang pria itu. Nada bicaranya tetap tenang. Bahkan setelah tahu Arlina adalah mahasiswanya, Rexa hanya kehilangan kendali untuk sesaat. Namun kemudian, dia segera menenangkan dirinya dengan cepat.

Rexa tampaknya jauh lebih tua dari Arlina. Sikap tenang ini adalah hasil dari tempahan waktu pada dirinya. Arlina merasa, keputusannya untuk menemui Rexa mungkin adalah pilihan yang tepat.

Arlina tiba-tiba merasakan keberanian yang muncul. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Pak Rexa, aku menghubungi Anda hari ini karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan."

Saat akhirnya membahas masalah ini, Rexa mengangguk memberi isyarat, "Silakan."

Arlina membuka tasnya dan mengeluarkan hasil pemeriksaan yang baru saja dia peroleh, lalu menyerahkannya ke depan Rexa. Kedua tangannya tidak bisa berhenti gemetaran.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (6)
goodnovel comment avatar
nawsas
kasian banget jadi arlina selalu dibeda bedakan sama adiknya
goodnovel comment avatar
punto dewo
ceritanya syahdu. ada debaran, ada emosi, ada sedih .........
goodnovel comment avatar
Farida Hariyani
saya suka ceritanya menyentuh ......
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 256

    Wajah Arlina memerah. Mulutnya berkata, "Sembarangan, aku nggak dengar kok.""Itu mungkin karena ada kekompakan antara papa dan si bayi." Rexa menggesekkan ujung hidungnya ke pipi Arlina. Sensasi geli dan lembut itu membuat jantung Arlina tiba-tiba berdebar kencang.Bibir Rexa yang lembut kembali menyentuh ujung hidungnya. Suasana ambigu semakin terasa. Rexa mencium ujung hidung Arlina, lalu pipinya. Ciuman yang tanpa hasrat justru membuat Arlina semakin malu dan manis.Terdengar suara serak Rexa. "Si bayi bilang, kalau satu ciuman belum bikin Mama reda, berarti cium dua kali, tiga kali, empat kali ... sampai Mama nggak marah lagi."Ya ampun! Jantung Arlina berdebar gila-gilaan. Belum sempat dia berbicara, Rexa sudah mencium bibirnya.Tubuhnya terdorong sedikit ke belakang. Tangan Rexa yang melingkar di bahunya lantas menahan tubuhnya dengan kuat. Lengan dan dadanya yang kokoh seperti jaring kawat yang membungkusnya.Tubuh mereka saling menempel erat. Bukan hanya hawa panas satu sama l

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 255

    "Sudah agak enakan?""Uhm ... iya.""Kalau sakit, bilang saja ke aku." Semakin Rexa berbicara, wajah Arlina semakin panas.Padahal kalimat itu terdengar sangat wajar. Namun entah mengapa, di telinganya terasa punya makna yang berbeda dan membuat pikirannya melantur.Rexa yang sedari tadi memperhatikan ekspresinya, melihat pipi Arlina yang mulai memerah dengan jelas."Kamu kenapa? Wajahmu merah sekali."Kalau saja dia tidak bertanya, mungkin Arlina masih bisa pura-pura tenang. Namun karena pertanyaan itu, dia jadi semakin gelagapan. Dia buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menyangkal, "Mana ada, biasa saja kok."Rexa tertawa pelan. "Iya, iya. Wajahmu nggak merah, wajahku yang merah."Arlina tahu dia sedang digoda. Merasa malu dan sekaligus jengkel, dia tiba-tiba jadi nekat. Entah dari mana dia mendapat keberanian, Arlina mengangkat kakinya dan menendang ke arah Rexa. Namun sebelum sempat mengenai Rexa, otot betisnya malah kembali kram dengan hebat."Ah!" Arlina mengeran

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 254

    Rexa tidak menyangka bahwa gadis bernama Friska akan memanggilnya. Dia tersadar dan berbalik, lalu melihat ekspresi gugup dan ragu di balik kacamata tebal gadis itu.Sepertinya Friska telah mengumpulkan banyak keberanian sebelum akhirnya berkata pelan, "Pak Rexa, bolehkah aku percaya padamu?"Rexa mengerutkan alis, suaranya tetap lembut seperti biasa. "Kalau kamu bersedia, tentu saja."Friska menatapnya dalam diam.Rexa seharusnya berbeda dari Frans. Keduanya sama-sama berpendidikan tinggi, tetapi Frans telah melakukan hal keji dengan mengatasnamakan cinta. Dia melakukan semua itu hanya karena Friska memakai rok, katanya Friska menggoda dia dan semuanya adalah kesalahan Friska.Namun, Rexa malah menyelenggarakan seminar ini karena dirinya. Melalui cara yang berbeda, dia ingin menyampaikan bahwa perundungan bukan kesalahan korban, melainkan kesalahan pelaku. Kesalahan dari orang-orang seperti Frans.Friska ingin memberi tahu Rexa bahwa dia pernah dilecehkan Frans. Bahwa iblis itu kini k

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 253

    Tania tertawa pelan. "Kamu juga mikir aku bakal balas, ya? Tapi kamu salah. Kalau sekarang sih, aku pasti nggak bakal ragu untuk lawan balik, nggak akan aku biarin dia semena-mena. Tapi entah kenapa, waktu itu aku malah nggak berani. Padahal aku tahu, aku bisa banget nendang dia balik atau kasih dia satu tamparan. Tapi aku tetap nggak berani.""Aku yakin Friska juga begitu. Dilihat dari kepribadiannya, kemungkinan besar dia sudah terbiasa menjadi sasaran sejak kecil. Sebenarnya kalau dia bisa melawan sekali saja dan menatap tajam orang yang menyakitinya, mungkin setelah itu nggak ada lagi yang berani mengganggunya.""Tapi karena dia sudah terbiasa ditindas sejak lama, dia jadi merasa itu hal yang wajar. Sejak kecil dia nggak tahu kalau itu salah, jadi dia pun nggak tahu bagaimana cara menghadapinya. Sekarang ketika dia sudah dewasa, kenangan masa lalu itu mulai bertabrakan dengan cara pandangnya yang sekarang. Makanya dia merasa bingung, bertentangan, dan tersiksa ...."Tania berbicara

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 252

    Pihak kampus telah memeriksa rekaman CCTV dan menemukan para siswa yang terlibat dalam perundungan, lalu memberikan teguran resmi atas tindakan mereka.Saat Friska mengetahui kejadian ini, dia baru saja mendapat panggilan dari dosen pembimbing yang memintanya datang ke kantor. Ketika dia sampai di sana dan melihat para pelaku yang telah mengganggunya semalam, dia sempat tertegun. Tak lama kemudian, dia juga melihat kehadiran Rexa.Friska langsung menyadari sesuatu."Friska, cepat masuk," panggil dosen pembimbingnya.Dengan sedikit ragu, Friska melangkah masuk ke dalam kantor."Kalau bukan karena Pak Rexa yang mengetahui kejadian ini, kami sama sekali nggak akan tahu bahwa kalian telah melakukan hal seburuk itu kepada Friska. Kalian benar-benar keterlaluan!" Dosen pembimbing itu berbicara dengan nada marah, lalu membentak para mahasiswi di hadapannya, "Cepat minta maaf sama Friska!"Beberapa mahasiswi itu berkata serempak dengan bibir yang gemetaran, "Maaf."Setelah selesai meminta maaf

  • Dosenku di Siang Hari, Suamiku di Malam Hari   Bab 251

    "Oh oh, iya, iya ...." Tania mengangguk cepat, lalu wajahnya berubah rumit. "Aku selalu merasa Friska itu kasihan sekali. Dia nggak punya teman, apa pun yang dia hadapi harus ditanggung sendirian.""Aku juga dengar, si Liona dari kelas satu itu awalnya masuk daftar kandidat program pertukaran pelajar. Tapi waktu dia nggak kepilih, dia marah besar. Kabarnya dia sampai nangis di ruang dosen pembimbing, teriak-teriak bilang, 'Kenapa Friska si pendiam bisa kepilih?' Sepertinya dia juga punya masalah sama Friska."Arlina yang mendengarnya hanya tertawa dingin. "Friska bisa terpilih pasti karena dia memang layak. Kalau Liona nggak kepilih, ya seharusnya dia introspeksi, bukan nyalahin orang lain.""Liona itu kelakuannya kayak preman. Memang nilainya bagus, tapi tiap hari keluyuran bawa geng, gayanya seperti anak geng motor."Arlina mengangkat bahu. "Makanya wajar saja dia nggak kepilih."....Senja musim semi menyelimuti kampus. Hari ini Rexa baru saja selesai rapat di kampus lain. Seorang r

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status