Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan.
Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya.
"Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver.
Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil sebagai ayah. Itu semua karena fisik Handoko adalah fisik asli orang Indonesia.
Tak ada yang tahu siapa ibu Vio yang sebenarnya dan tak ada yang bisa dia mintai tolong untuk menceritakan masalah ini. Dulu memang dia sering bertanya pada ayahnya, namun seiringnya waktu berlalu, Vio memilih untuk diam. Percuma bertanya pada orang yang sama sekali tidak berniat untuk memberitahunya.
"Mungkin dia bukan anak kandungnya. Mungkin juga si Handoko nyulik dia waktu bayi. Mungkin ibunya dulu selingkuh dengan bule dan akhirnya lahir si Vio." Beberapa kemungkinan itulah yang sering dia dengar dari mulut tetangga-tetangganya dahulu.
Vio sudah terbiasa untuk berpindah tempat. Ayahnya tak pernah lama menetap di suatu tempat. Bahkan seingat Vio, mereka tinggal paling lama di suatu wilayah itu sekitar tiga tahun. Awalnya Vio sering protes, tapi lama kelamaan dia menjadi terbiasa.
"Vio! Antarkan ini ke tempat ini, ya?" Pak Dodi, bos di tempat Vio bekerja. Tak jauh, sih, toko kelontong dekat rumah. Mau bagaimana lagi, Vio ada tanggung jawab mengurus ayahnya yang kini sakit-sakitan. Inginnya, sih, kerja jauh dengan gaji yang besar seperti teman-temannya yang lain. Tetapi, takdir berkata lain.
Handoko, ayah Vio menderita gagal ginjal dan harus cuci darah seminggu dua kali. Vio harus menemaninya karena tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Mereka hanya hidup berdua selama ini, tak ada yang lain.
"Baik!" Vio pun mengambil kardus mie instan dari tangan Pak Dodi dan mengikatnya di jok belakang motornya. Meski bukan pekerjaan bergengsi yang dia kerjakan, tetapi Vio merasa dia wajib bersyukur. Ini semua adalah rejeki yang telah Tuhan gariskan untuknya.
Vio adalah gadis yang kuat dan ceria. Masa kecil yang sedikit suram, menempanya menjadi pribadi yang keras dan mandiri.
"Panas banget, sih. Apa mungkin matahari sedang menggandakan dirinya saat ini? Hingga sepanas ini?" Vio mengelap kening hingga pelipisnya menggunakan punggung tangan kirinya, sedang tangan kanannya dia gunakan untuk terus menarik gas agar motornya bisa terus berjalan.
Bisa dipastikan jika kulitnya telah memerah kini. Dan Vio sangat membenci hal ini.
Vio melajukan motornya sedang, tidak cepat, tidak pula lambat. Dia suka sesuatu dengan takaran yang pas. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Vio akhirnya tiba juga di tempat yang menjadi tujuannya. Sebuah warung sederhana yang letaknya berada di pinggiran kota.
"Eh ... Neng Bule udah dateng." Seorang wanita paruh baya langsung menyambutnya sesaat setelah dia memarkirkan motornya di halaman warung itu. Vio hanya tersenyum. Dia tak masalah jika dia dipanggil dengan sebutan itu, asal bukan panggilan yang merendahkan dia.
"Iya, Bu Sonya. Gimana warungnya? Rame?" tanya Vio basa-basi. Dia tak pernah bisa jika harus berdiam diri saat bertemu pelanggan seperti ini. Dia akan selalu beramah tamah pada siapa pun.
"Alhamdulillah. Ramai, Neng."
Setelah melakukan basa-basi dan mengirim barang pada pelangganya, Vio segera pamit. Jika terlalu lama, bisa-bisa Bu Heni--istri Pak Dodi --bakalan marah. Entah kenapa dia terlihat tidak suka dengan Vio.
Vio kembali melajukan motornya di jalanan. Seperti saat berangkat, dia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
"Tolong ...! Tolong ...!" Vio segera menajamkan telinganya. Dia seakan tengah mendengar suara wanita sedang minta tolong. Vio menepi, mematikan mesin motornya agar bisa mendengar suara itu lebih lanjut.
"Tolong ...!" Setelah yakin di mana sumber suara itu berasal, Vio kembali menghidupkan mesin motornya dan menuju ke tempat itu.
Dari kejauhan, Vio bisa melihat adegan tarik-tarikan antara seorang wanita dengan seorang pria.
"Sepertinya dia mau merampok wanita itu," gumam Vio. Dia segera mempercepat laju motornya.
"Berhenti! Mau aku panggilan polisi?!" ancam Vio masih dari atas motornya. Dia segera menepikan motornya itu dan menghampiri kedua orang itu.
"Siapa lo?! Jangan banyak bacot!"
Sang pria melepas tarikannya pada tas dan bersiap untuk memukul Vio. Vio pun melakukan hal yang sama. Dia memasang kuda-kuda dan mengepalkan tangannya, bersiap untuk berkelahi dengan lelaki itu.
Satu pukulan dari si pria dapat Vio hindari. Akhirnya perkelahian pun tak bisa dihindari. Vio lumayan gesit bertarung.
Masih di tempat itu, wanita yang Vio tolong masih gemeraran. Dia sangat takut kali ini. Dengan tangan yang terus bergetar, dia berusaha mencari sesuatu dari dalam tasnya.
"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga."
"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga." Setelah melakukan pembicaraan singkat dengan polisi yang ada di telepon, wanita itu kembali mendekap erat tasnya. Kali ini dia begitu takut karena melihat Vio yang masih terus menghajar preman itu.Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika polisi tak segera datang? Bagaimana ini? Hanya itu yang terus berputar di kepala sang wanita. Meski dia melihat jika Vio sangat pandai berkelahi, tetap saja dia kewalahan jika harus melawan pria yang tinggi besar itu.Vio terus melawan pria itu, meski dia wanita, namun tenaganya tak kalah dari preman itu. Tak sia-sia dia belajar taekwondo selama ini. Dia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga membantu orang lain."Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Vio terus memukul preman itu. Dia kini dalam posisi di atas perut sang preman. Wajah preman itu babak belur karena pukulan Vio."Ampun ... ampun ...." Pria itu mengiba, mengharap belas kasihan Vio. Namun, Vio yang masih kesal ter
"Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya. "Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain. "Loh, kenapa?" "Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal. "Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain. Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya. Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana. "Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya. "Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik
"Ah, enggak! Hanya saja ...." Vio menggantung ucapannya. Dia kembali ragu, haruskah menanyakan hal ini atau tidak?Azzura menaikkan alisnya, masih menanti apa kira-kira yang bakal dikatakan oleh Vio."Apa Mbak Zura sudah menikah?" Vio memejam. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.'Bodoh kamu Vio,' rutuknya dalam hati."Hahaha ...!" Vio bingung, kenapa Azzura malah tertawa. Bukankah Vio sudah tidak sopan dengan bertanya seperti itu?Azzura mengangkat tangan kirinya, seolah dia ingin memperlihatkan sesuatu pada Vio. "Ini sebuah cincin pernikahan. Artinya aku sudah menikah.""Iya." Vio nyengir. Dia merasa pertanyaannya itu sangat tidak penting. Andai dia bisa memutar waktu."Aku sudah menikah dan aku sangat cinta sama dia." Vio melihat ke arah Zura. Dia mengatakan kejujuran. Ada pendar kebahagiaan di mata wanita itu saat bilang cinta. Vio yakin jika Azzura mengatakan sebuah kebenaran. Tetapi, kenapa ada ke
"Pak! Siang ini ada rapat dengan Tuan Mark Sutopo." Risa saat ini tengah berada di depan meja Brian. Dia memegang tablet di tangannya. Semua jadwal Brian ada di tangan Risa."Jam berapa rapatnya?" tanya Brian masih dalam posisi matanya tak lepas dari tumpukan laporan di hadapannya."Jam dua siang," jawab Risa mantap. Brian menghentikan aktifitasnya, dia menarik napas panjang. Mark Sutopo adalah salah satu saingan bisnisnya yang begitu gencar menjatuhkan perusahaannya. Brian tahu jika Mark sering menempuh cara licik, tapi sebagai orang yang jujur, Brian belum bisa bergerak. Dia harus memikirkan semua konsekuensi yang harus dia ambil."Ingatkan nanti!" Brian memutuskan untuk kembali berkutat dengan laporan yang menurutnya tak pernah berhenti. Setiap hari, selalu ada segunung laporan yang harus dia periksa. Begitulah, jika perusahaan semakin besar maka pekerjaannya pun juga semakin banyak.Brian tiba-tiba teringat saat dulu perusahaannya belum sebesar
"Vio! Kamu kenapa? Kenapa wajah kamu babak belur gitu?" Handoko terlihat panik ketika melihat putri semata wayangnya itu babak belur. Wajah cantik yang biasa dia tampilkan sekejap lenyap berganti dengan luka lebam yang begitu mengerikan."Eh, Bapak. Ini Vio tadi jatuh, Pak," jawab Vio. Dia tak mungkin jujur pada ayahnya karena tahu jika ayahnya itu akan sangat khawatir jika dia mengatakan yang sebenarnya."Jatuh? Di mana? Nggak mungkin kamu cuma jatuh, Nak?" Handoko mendekati Vio. Dia ingin menyimpulkan sendiri luka itu benar karena jatuh atau dipukuli.Vio agak menjauhkan wajahnya saat ayahnya menelisik pada area wajahnya itu. "Iya, Pak. Vio tadi cuma jatuh. Nyungsep di aspal. Jadinya babak belur gini." Vio nyengir. Seolah tak ada masalah apa pun yang dia hadapi kini."Jangan bohong, Vio. Bapak tahu kamu lagi bohong. Bapak kenal kamu dari bayi." Dengan suara lemahnya, Handoko tetap pada penilainnya. Dia sudah makan asam garam kehidupan selama ini, tak mu
"Morning, Honey." Azzura turun dari lantai atas kamarnya. Dia langsung menuju ke ruang makan untuk menemani Brian, suaminya sarapan. Azzura terlihat sangat cantik dengan dres berwarna hitam di bawah lutut. Brian sudah mencuri pandang semenjak dia mencium aroma sang istri. Meski dari jarak bermeter-meter, Brian sangat hafal aroma parfum Azzura. "Hm ...!" Entah kenapa dia masih merasa kesal dengan permintaan Azzura waktu itu. Meski dia juga telah menghabiskan malam panjang penuh gairah bersama wanita yang dia cintai itu. Brian tidak akan pernah bosan melakukan hal itu dengan Azzura. "Ck!" Azzura yang sangat hafal Brian luar dalam. Dia tahu jika saat ini, suaminya itu sedang ingin merajuk padanya. Hal yang sudah lama tak ada dalam hubungan rumah tangga mereka. Selama ini, hanya ada gairah tanpa ada gelombang yang berarti dalam rumah tangga mereka. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Azzura. Zura berjalan mendekati Brian dan mengalungkan tangannya pada bahu sua
Setelah Vio pamit dengan Handoko untuk menceri pekerjaan, dia terus berjalan menyusuri trotoar tak tentu arah. Dia sendiri bingung harus mencari ke mana. Vio hanya tak mau Handoko khawatir dengan keadaannya. Karena jika terus di rumah maka dia hanya akan merenung."Capek banget. Udah keliling gini nggak ada yang buka lowongan. Ijazah juga cuma SMA, nanya di mana lagi?" Vio kini telah duduk di sebuah kursi panjang di pinggir jalan. Dia mengelap keningnya yang telah berkeringat, meski kadang dia harus menahan perih karena luka yang belum kering."Aw ...!" keluh Vio kala tangannya tak sengaja menyenggol luka lebam yang masih terasa nyeri. Dia hanya bisa meringis menahan sakit. Mungkin rasanya dia saat ini sangat ingin menangis, tetapi itu semua hanya akan membuatnya menjadi lemah.Vio mencebik, dia merasa jika nasibnya terlalu buruk. Apa dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu hingga dia menerima karma seperti ini. Kehidupan yang buruk dan jauh dari kata bahagi
Brian pulang ke rumah dengan suasana hati yang ama buruk. Setiap hari dia harus bertemu dengan Mark karena urusan bisnis. Entah dirinya yang seperti anak kecil atau memang keduanya yang terlanjur tak bisa akur. Namun, pertemuannya dengan Mark sama sekali tak baik untuknya.Azzura mengikuti Brian yang masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu melihat suaminya membanting jas dan juga dasi di atas tempat tidur. Dia dengan sigap segera memunguti kedua benda itu."Kamu kenapa, Mas?" tanya Azzura. Akhir-akhir ini memang suaminya itu terlihat lebih sering uring-uringan. Dia belum pernah melihat Brian seperti ini sebelumnya.Brian melirik Azzura sekilas. Entah apa yang dia rasakan kini pada istrinya itu? Rindu, benci, marah, kecewa. Semua perasaan campur aduk jadi satu.Brian mendengkus, dia membuang muka. Brian tak mau bingung lagi dengan perasaannya. Jika dia menatap ke dalam manik mata Zura, pasti dia akan kembali luluh pada pesona istrinya itu."Mas ...." Zu