Share

Bab 8 Berkelahi

Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan. 

Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya.

"Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver.

Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil sebagai ayah. Itu semua karena fisik Handoko adalah fisik asli orang Indonesia.

Tak ada yang tahu siapa ibu Vio yang sebenarnya dan tak ada yang bisa dia mintai tolong untuk menceritakan masalah ini. Dulu memang dia sering bertanya pada ayahnya, namun seiringnya waktu berlalu, Vio memilih untuk diam. Percuma bertanya pada orang yang sama sekali tidak berniat untuk memberitahunya.

"Mungkin dia bukan anak kandungnya. Mungkin juga si Handoko nyulik dia waktu bayi. Mungkin ibunya dulu selingkuh dengan bule dan akhirnya lahir si Vio." Beberapa kemungkinan itulah yang sering dia dengar dari mulut tetangga-tetangganya dahulu.

Vio sudah terbiasa untuk berpindah tempat. Ayahnya tak pernah lama menetap di suatu tempat. Bahkan seingat Vio, mereka tinggal paling lama di suatu wilayah itu sekitar tiga tahun. Awalnya Vio sering protes, tapi lama kelamaan dia menjadi terbiasa.

"Vio! Antarkan ini ke tempat ini, ya?" Pak Dodi, bos di tempat Vio bekerja. Tak jauh, sih, toko kelontong dekat rumah. Mau bagaimana lagi, Vio ada tanggung jawab mengurus ayahnya yang kini sakit-sakitan. Inginnya, sih, kerja jauh dengan gaji yang besar seperti teman-temannya yang lain. Tetapi, takdir berkata lain.

Handoko, ayah Vio menderita gagal ginjal dan harus cuci darah seminggu dua kali. Vio harus menemaninya karena tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Mereka hanya hidup berdua selama ini, tak ada yang lain.

"Baik!" Vio pun mengambil kardus mie instan dari tangan Pak Dodi dan mengikatnya di jok belakang motornya. Meski bukan pekerjaan bergengsi yang dia kerjakan, tetapi Vio merasa dia wajib bersyukur. Ini semua adalah rejeki yang telah Tuhan gariskan untuknya.

Vio adalah gadis yang kuat dan ceria. Masa kecil yang sedikit suram, menempanya menjadi pribadi yang keras dan mandiri. 

"Panas banget, sih. Apa mungkin matahari sedang menggandakan dirinya saat ini? Hingga sepanas ini?" Vio mengelap kening hingga pelipisnya menggunakan punggung tangan kirinya, sedang tangan kanannya dia gunakan untuk terus menarik gas agar motornya bisa terus berjalan.

Bisa dipastikan jika kulitnya telah memerah kini. Dan Vio sangat membenci hal ini.

Vio melajukan motornya sedang, tidak cepat, tidak pula lambat. Dia suka sesuatu dengan takaran yang pas. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Vio akhirnya tiba juga di tempat yang menjadi tujuannya. Sebuah warung sederhana yang letaknya berada di pinggiran kota.

"Eh ... Neng Bule udah dateng." Seorang wanita paruh baya langsung menyambutnya sesaat setelah dia memarkirkan motornya di halaman warung itu. Vio hanya tersenyum. Dia tak masalah jika dia dipanggil dengan sebutan itu, asal bukan panggilan yang merendahkan dia.

"Iya, Bu Sonya. Gimana warungnya? Rame?" tanya Vio basa-basi. Dia tak pernah bisa jika harus berdiam diri saat bertemu pelanggan seperti ini. Dia akan selalu beramah tamah pada siapa pun.

"Alhamdulillah. Ramai, Neng." 

Setelah melakukan basa-basi dan mengirim barang pada pelangganya, Vio segera pamit. Jika terlalu lama, bisa-bisa Bu Heni--istri Pak Dodi --bakalan marah. Entah kenapa dia terlihat tidak suka dengan Vio. 

Vio kembali melajukan motornya di jalanan. Seperti saat berangkat, dia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. 

"Tolong ...! Tolong ...!" Vio segera menajamkan telinganya. Dia seakan tengah mendengar suara wanita sedang minta tolong. Vio menepi, mematikan mesin motornya agar bisa mendengar suara itu lebih lanjut.

"Tolong ...!" Setelah yakin di mana sumber suara itu berasal, Vio kembali menghidupkan mesin motornya dan menuju ke tempat itu.

Dari kejauhan, Vio bisa melihat adegan tarik-tarikan antara seorang wanita dengan seorang pria.

"Sepertinya dia mau merampok wanita itu," gumam Vio. Dia segera mempercepat laju motornya. 

"Berhenti! Mau aku panggilan polisi?!" ancam Vio masih dari atas motornya. Dia segera menepikan motornya itu dan menghampiri kedua orang itu.

"Siapa lo?! Jangan banyak bacot!"

Sang pria melepas tarikannya pada tas dan bersiap untuk memukul Vio. Vio pun melakukan hal yang sama. Dia memasang kuda-kuda dan mengepalkan tangannya, bersiap untuk berkelahi dengan lelaki itu.

Satu pukulan dari si pria dapat Vio hindari. Akhirnya perkelahian pun tak bisa dihindari. Vio lumayan gesit bertarung.

Masih di tempat itu, wanita yang Vio tolong masih gemeraran. Dia sangat takut kali ini. Dengan tangan yang terus bergetar, dia berusaha mencari sesuatu dari dalam tasnya.

"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status