"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu.
"Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.
Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga.
"Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini.
"Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana.
"Sama orang tadi. Baru kali ini aku lihat gadis seberani kamu," puji Brian. Tapi memang benar, circle pergaulannya yang selalu dengan kalangan atas, tak pernah melihat wanita petakilan seperti Vio. Ini kali pertama untuknya.
"Jika kita takut terus, maka kita yang akan ditindas, Om. Orang mesum seperti mereka harusnya cepat diberantas, supaya nggak ada korban lainnya." Vio dengan mata abu-abunya menengadah, melihat ke arah atas. Seakan ada sesuatu yang menjadi pikirannya saat ini.
Brian hanya melihatnya dari samping. 'Perasaan apa ini? Kenapa aku seolah ingin melindungi gadis ini?' Brian menggelengkan kepalanya, 'sadar Brian. Dia lebih pantas menjadi adik, atau anak mungkin.'
"Kamu--"
"Udah, ya, Om. Saya pulang dulu." Vio beranjak dari duduknya. Rupanya taksi yang dipanggilnya lewat aplikasi online tadi sudah datang. Brian melipat bibirnya ke dalam, menurunkan niatnya untuk bertanya sesuatu.
"Oh, iya!" Vio kembali berbalik menghadap Brian, "maaf dan makasih." Hanya dua kata, tetapi mampu membuat Brian kehilangan logikanya. Vio masuk ke dalam taksi dan tak lagi melihat ke arah Brian.
Brian masih terpaku di sana, merenung apa yang terjadi dengan dirinya? "Ada apa ini? Kenapa seperti ini?" gumamnya pelan.
"Aku pasti sudah gila." Brian segera bangkit, menuju ke mobilnya dan bersiap untuk pulang. Dia merindukan Azzura, pasti karena itu. Memikirkan Azzura, senyum di bibir Brian mengembang. Pasti saat ini Azzura sedang menyadari kesalahannya. Dia pasti akan minta maaf dan tidak memaksa Brian untuk menikah lagi.
Hari sudah sangat larut, hampir tengah malam. Brian sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Zura pasti sedang pusing mencarinya. Dia sengaja mematikan ponselnya, agar istrinya tak menghubunginya. Bukan karena dia sedang selingkuh, tetapi karena dia tidak ingin dicecar oleh permintaan tak masuk akal dari istrinya.
Brian kembali terbayang tentang Vio, "Siapa namanya tadi? Apa aku sudah menanyakannya?" Brian membelokkan setirnya ke kiri, masuk ke halaman rumah megahnya.
"Sudahlah, Brian! Stop thinking about her! Apa kamu akan menjilat ludahmu sendiri?" Untuk sesaat Brian sangat jijik dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia memikirkan wanita lain selain Azzura. Padahal dia terang-terangan menolak usul poligami istrinya.
Brian melihat ke dalam rumah, lampu masih menyala terang, tandanya Azzura masih terbangun. Mungkin wanita itu menunggunya, hingga belum tidur?
Saat memasuki rumahnya, Brian melihat Azzura tengah tertidur di ruang tengah. Segera lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. Brian melihat wajah istrinya dari samping, lelaki itu tersenyum.
"Kamu selalu cantik." Brian mengecup pipi Azzura, membeli rambutnya dengan lembut. Menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya.
Selama sepuluh tahun lebih bersama, tak pernah ada rasa bosan di hati Brian. Azzura sangat pintar merawat badan dan juga wajahnya, serta kelembutan hatinya membuat Brian selalu jatuh cinta, lagi dan lagi.
"Bagaimana bisa aku menyakitimu, Zura? Dan jangan memintaku untuk menyakitimu, karena aku takkan pernah sanggup," lirihnya. Dia tak ingin mengganggu tidur istrinya, Brian hanya ingin mengungkapkan isi hatinya.
Brian mengambil napas panjang. Lelaki itu mengangkat tubuh istrinya dan menggendongnya ke kamar. Meski rasa marah pada istrinya belum juga reda, namun tak mungkin juga dia meninggalkan Zura seorang diri di sofa depan.
Saat menidurkan Azzura di atas kasur, Brian benar-benar memperlakukan wanita itu seperti benda yang terbuat dari kaca. Begitu lembut dan juga hati-hati. Takut jika dia perlakuan dengan keras maka akan hancur dan pecah. Betapa dia sangat mencintai wanita yang menjadi cinta pertama dan terakhirnya itu.
"Mas ...." Azzura menahan tangan Brian yang hendak berbalik meninggalkannya. Keduanya lama bertatapan, sengatan-sengatan itu masih sangatlah terasa. Panggilan merdu Azzura, terdengar sangat seksi di telinga Brian. Apakah dia masih bisa marah dan sama sekali tak menyentuh istrinya itu?
"Persetan dengan semua itu!" Brian tak bisa lagi menahannya. Dia ingin segera melupakan jika saat ini dia sedang menghukum istrinya. Dia menginginkan Zura malam ini. Zura pun sepertinya memikirkan hal yang sama, dia tersenyum penuh arti ke arah Brian dan menarik Brian untuk lebih mendekat ke arahnya.
Udara terasas berat seolah sisa oksigen di udara hanya tersisa sedikit. Jam dinding berdetak pelan, bunyi setiap detiknya seperti abad. Lima orang di sana saling diam dan terkurung dalam pemikirannya sendiri.Pada sofa panjang, duduk Anthony Wijaya bersama sang istri, Wening. Mereka menatap tajam ke arah Brian yang terlihat kusut di depannya. Lelaki itu sedari tadi tak henti bergerak gelisah karena sang istri histeris karenanya. Di sebelah Brian ada Kyra yang masih terlihat shock, melihat kenyataan tentang sang ibu.Di sudut ruangan, ada Adrian yang berdiri sembari menyandarkan punggungnya pada tembok. Kedua tangan dia lipat di depan dada dengan mata yang terus melihat ke arah empat orang di depan sana. Suasana ruangan itu menjadi lebih mencengkam dari pada pemakaman. Bahkan bagi Adrian ini lebih horor dari pada bertemu dengan hantu.Meski dia sahabat dan juga dokter Azzura, dia merasa bingung dengan keadaan ini. Kedua belah pihak masing-masing belum bisa berdamai. Meski Tuan Wijaya s
Ayah dan anak itu saling menatap cukup lama. Ada rasa rindu yang disampaikan oleh tatapan mata Brian pada Kyra. Dia ingin langsung berlari dan memeluk gadis itu tetapi dia juga ketakutan jika Kyra menolaknya. "Papa ....!" Hingga akhirnya Brian merasa lega ketika Kyra mendatanginya terlebih dahulu. Gadis itu berlari dan kemudian memeluknya. Dengan senang hati Brian membalas pelukan Kyra. Dia memeluk Kyra erat seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Kyra, Papa kangen." Satu kata yang bisa menjelaskan semua yang dia rasakan selama ini. Mereka memang beberapa kali bertemu tetapi kedekatan sebagai ayah dan anak sudah lama hilang. "Maafkan Kyra, Pa. Maafkan karena selama ini selalu menyalahkan Papa. Maafkan karena Kyra tidak bisa mengerti Papa." Sebuah ungkapan permintaan maaf tulus keluar dari bibir mungil Kyra. Dia juga merindukan hal seperti ini, memeluk sang ayah dengan perasaan kasih dan sayang."Tidak, sayang. Papa yang minta maaf sama kamu karena sudah bersikap egois dan tidak pern
Kyra hanya diam setelah bertemu dengan Vio. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh Vio. Selama ini dia memang menutup mata dan telinga tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Dia hanya ingin menyalahkan Vio atas apa yang terjadi.Kyra masih memegang surat perjanjian itu di tangannya. Beberapa kali dia hanya melihat dan takut untuk membukanya kembali. Dia masih tidak percaya jika ibunya yang telah merencanakan ini semua. Dia masih mengingkari jika sang ibu menderita Skizofrenia.Kyra menggeleng. "Ini pasti tidak benar, kan?" tanya Kyra yang lebih untuk dirinya sendiri. Gadis itu menarik napas panjang dan setelahnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.Kyra kembali teringat tentang sang kakek yang beberapa hari ini ada di Swiss. Vio tadi bilang jika saat ini sang ayah sedang berada di Swiss untuk menjemput sang ibu. Apa mungkin kakeknya selama ini bersama dengan ibunya?"Pak! Bisa lebih cepat?" Kyra memberi perintah pada pak sopir yang dibalas anggukan. Laju mo
Setelah mendengar semuanya dari Handoko, Vio pun berniat mengunjungi makan sang ibu. Selama ini, Handoko memang tidak pernah memberitahukan tentang ibunya. Handoko selalu menyembunyikan kenyataan tentang sang ibu. Dan Vio menjadi terbiasa untuk tidak bertanya. Yang terpenting baginya adalah dia memiliki seorang ayah yang hebat.Sudah beberapa saat Vio duduk di depan batu nisan tanpa mengucapkan apa pun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyapa sang ibu karena dia tidak pernah melakukannya seumur hidup.Masih dengan mulut yang tertutup, Vio mulai menggerakkan tangannya untuk mencabut rumput di atas gundukan tanah. Sesekali ekor matanya melirik ke arah nama yang ada di batu nisan."Maafkan aku baru bisa datang, Bu. Aku baru mengetahui tentangmu." Vio menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Meski dia tidak mengenal apa pun tentang ibunya tetapi Vio bisa merasakan kesedihan yang dialami sang ibu. Untung ada Handoko yang akhirnya membuat ibunya bertahan meski
Setelah kejadian itu, Wijaya tidak melarang kedatangan Brian. Dia senang karena Azzura menjadi semakin ceria. Meski sesekali dia kumat dan mengamuk tetapi Azzura lebih sering tersenyum. Brian setiap hari datang bersama dengan Adrian dan selalu menemani Azzura. Entah itu membaca novel atau merajut. Lelaki itu begitu sadar dan telaten menemani Azzura hingga dia melupakan keberadaan Vio. Dia bahkan belum menghubungi Vio lagi sejak hari itu.Vio terus-terusan melihat ke arah ponselnya. Sudah berhari-hari suaminya pergi dan belum memberi kabar padanya. Tentu saja dia khawatir terjadi hal buruk pada Brian. Brian hanya menghubungi sekali ketika lelaki itu keluar dari bandara dan dalam perjalanan menuju hotel."Ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat gelisah? Apa Brian belum menghubungimu?" Handoko muncul dari dalam kamarnya. Tangan kanannya menekan sebuah tombol sehingga kursi roda miliknya berjalan dengan otomatis.Vio hanya meringis. Dia bahkan tidak menceritakan hal ini pada ayahnya tetapi ken
Wijaya berjalan cepat ke arah ranjang Azzura. Dia lantas menarik bagian belakang kemeja yang dikenakan Brian dan mendorong lelaki itu hingga membentur tembok. Masih belum puas, Wijaya kembali mendekati Brian dan menarik wig yang lelaki itu gunakan. Wajah Wijaya langsung merah padam ketika mengetahui jika Brian yang sedari tadi bersama dengan anaknya.Sejak melihat lelaki yang menggendong Azzura, Wijaya sudah mencurigai jika itu adalah Brian. Pasalnya tidak mungkin Adrian memperbolehkan lelaki lain menyentuh Azzura. Dan kali ini kecurigaannya terbukti. Wijaya benar-benar marah ketika mengetahui jika Adrian telah menipunya."Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah sudah aku katakan untuk tidak mencari Azzura lagi?" bentak Wijaya pada Brian. Darahnya naik karena dia enggan Brian menyentuh Azzura lagi. Meski Wijaya mengetahui jika pernikahan kedua Brian adalah keinginan Azzura tetapi dia belum merelakan hal itu. Dia sudah tidak peduli Brian bersama siapa saat ini tetapi dia tidak ingin Br