Share

4 Aduan Wanita Tua

Author: Alibn A.
last update Last Updated: 2023-07-11 09:00:45

Kening wanita itu semakin berkerut. Ia tidak menyangka dengan jawaban suaminya. Tidak diduga dia akan mendapatkan jawaban tersebut.

Padahal, dia sudah tahu yang sesungguhnya. Ia hanya sengaja untuk mencoba kejujuran suaminya dan itulah yang didapatkan. Ia tidak mengerti lagi kenapa lelaki di depannya membohonginya.

"Janji, ya, Mas. Besok ditransfer!"

"Kamu kayak gak percaya Abang, Dil?" Lelaki itu merasa tersinggung.

"Ya, aku hanya memperingatkan, Bang. Biaya kebutuhan bayi gak sedikit dan tidak bisa ditunda. Aku gak pegang duit lagi. Semuanya sudah habis untuk kebutuhan dapur di rumah ini."

"Berarti benar yang ibu bilang kalau kau sangat boros?" tanya lelaki itu penuh penekanan.

"Boros? Uang segitu apa cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur di rumah ini, juga kebutuhanmu? Asal Abang tau, aku disuruh memasak lauk pauk banyak di rumah karena kakakmu, Sela sering ke sini untuk membawa pulang beberapa lauk pauk itu ke rumahnya."

Dila mulai tidak bisa menahan emosi karena dituduh boros.Mendengar suaminya yang mengatakan hal tadi begitu menyakitkan hatinya.

Suaminya sangat berbeda. Sikap Radit yang sudah tidak terlihat peduli pada dirinya, kesehatannya, juga putrinya. Bahkan di depannya sendiri lelaki itu menuduhnya seperti tadi. Ia tidak tahu siapa yang meracuni pikiran suaminya.

Namun tidak dapat dipungkiri orang di dalam rumah mereka hanya mertuanya. Bisa jadi, iparnya juga yang sering ke rumah untuk sekedar numpang makan.

Alasannya tidak sempat memasak karena sibuk di kantor kelurahan sebagai administrator. Bahkan iparnya tersebut membawa sedikit lauk pauk untuk bekal di rumah KPR yang mereka tinggali.

Sela, iparnya itu sengaja menghemat pengeluaran karena mendahulukan bayaran cicilan rumah. Itu yang sering diucapkannya ke ibunya jika bertandang ke rumah. Sela memaksakan diri membeli rumah KPR agar terlihat mapan.

"Kok, kamu nuduh kakak iparmu seperti itu, Dek?"

"Bukan nuduh, Bang. Tapi, kenyataannya seperti itu. Abang jarang lihat karena sedang kerja di kantor." Dila ingin melanjutkan jika yang menyuruhnya membuat masakan yang banyak ialah ibu mertuanya sendiri.

"Sudah .... Abang tidak ingin berdebat lagi."

Seharusnya, Dila yang marah karena suaminya tidak bertanggung jawab tentang biaya operasi caesar. Bukan hanya kali ini, tetapi yang terdahulu juga.

Ia masih sangat kesal, tetapi ditahannya. Dila masih harus mendahulukan kesembuhannya. Setelah itu, wanita yang sudah bersandar di ranjang tidur tersebut akan mempertimbangkan kembali tentang dirinya dan keluarga toxic dari suaminya.

Masih banyak hal yang harus dia ketahui. Tentang kebohongan suaminya mengenai suara wanita di ponselnya, biaya persalinannya yang terkesan dibiarkan, dan masalah gaji tadi.

Semua masih menjadi tanda tanya. Dila merasakan sesuatu yang berbeda dari cara suaminya menyapa dan berbicara padanya semenjak pulang tadi.

Di ruang makan, Radit sedang serius mendengarkan keluhan Ibunya. Bu Santi, Radit, dan Sela belum beranjak setelah menikmati makan malam bersama.

Sela sengaja datang untuk meminta lauk, tetapi tidak banyak. Akhirnya, dia memutuskan makan bersama.

Dila tertidur di kamar setelah menikmati sup ubi yang dikirimkan oleh ibunya lewat kurir. Beruntung, Dila mendengar suara kurir mengantar pesanan untuknya. Kalau tidak, makanan tersebut akan dibawa lagi oleh Sela, iparnya itu.

"Radit, ibu sudah sangat tua jika harus mengurus rumah ini sendiri." Tiba-tiba, Bu Santi berbicara.

"Hmm ... Ibu bersabar dulu. Dila tidak lama lagi akan sembuh, kok dan membantu Ibu."

"Kelamaan, Dit ...."

"Jadi, ibu maunya gimana?" tanya putranya penasaran, mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangan.

"Kamu harus menyewa ART."

"ART? Gaji Radit gak cukup, Bu untuk membayar ART."

"Kamu bisa kurangi jatah istrimu. Kan jatah kebutuhan rumah ini ada di istrimu."

"Ibu benar, Bang. Kasihan ibu kalau harus bekerja. Belum lagi jika harus mengurus putrimu karena Dila belum sembuh total," sambung Sela.

Ia nampak senang mendengar usulan ibunya. Sebuah ide seketika muncul di kepalanya. Jika Radit menyewa ART, itu artinya dia bisa leluasa membawa makanan lagi. Tidak butuh drama sindiran pedas bersama iparnya jika datang ke rumah.

Radit nampak berpikir lama, kemudian berkata, "Radit akan beritahu Dila dulu, Bu."

"Gak perlu izin segala. Kamu itu kepala keluarga, masa harus izin segala. Istri mesti nurut keputusan suami. Ntar, Dila menolak lagi. Pokoknya besok kamu sudah bawa pembantu di rumah ini. Kamu rela ibumu sakit-sakitan hanya karena mengurus rumah ini?" keluh Bu Santi dengan wajah memelas.

"Baik. Kalau begitu Radit akan cari besok." Lelaki itu tidak punya pilihan selain menyetujui permintaan ibunya. Ia tidak rela melihat ibunya bersedih.

"Nah, gitu dong! Ibu gak akan sakit-sakitan lagi. Kamu memang putra ibu yang sangat pengertian." Wajah Bu Santi seketika berubah ceria.

***

Minggu kedua dari pasca operasi, Dila sudah bisa beraktivitas pagi itu meskipun belum bisa aktivitas yang banyak dan padat. Terkadang rasa nyeri tiba-tiba muncul.

Setidaknya, dia sudah bisa melakukan kegiatan kecil. Berbaring lama di ranjang membuat persendiannya terasa kaku.

"Dila, kamu sudah sehat 'kan?"

"Kenapa, Bu?" Dila menoleh karena teguran ibu mertuanya.

"Ibu minta bantuan kamu nyuci pakaian ibu."

"Bukannya sudah ada ART, Bu?"

"Kalau nunggu ART kelamaan. Dia masih kerja yang lain. Apalagi ini sudah musim hujan. Pakaian ibu gak bakal kering kalau nunggu sampai sore."

"Maaf, Bu. Dila belum bisa aktivitas berat."

"Jadi, kamu menolak permintaan ibu mertuamu? Kamu tega membiarkan ibu jatuh sakit?"

"Bukan nolak, Bu. Dila lagi tidak sehat seratus persen. Jahitan di perut ini masih perih."

"Lagian, kenapa sih meminta lahiran dengan operasi segala? Coba kalau lahiran normal, kamu sudah bisa beraktivitas. Gak seperti sekarang."

"Itu bukan Dila yang minta, Bu. Justru, Dila mengharapkan lahiran normal, tetapi memang keadaannya yang tidak memungkinkan. Dokter kandungan yang memutuskan seperti ini."

"Kalau tau seperti itu, seharusnya kalian tahan dulu program anak. Biar gak resiko seperti sekarang. Belum lagi biayanya sangat mahal."

Wanita tua itu mengira Dila sengaja meminta operasi caesar saat lahiran untuk mengikuti trend dan tidak merasakan sakit. Dia tidak mengerti bahwa operasi juga melewati rasa sakit yang sangat lama.

Ia hanya tahu lewat gosip-gosip dan kabar lewat orang lain tentang operasi. Tidak perlu lewati drama melahirkan secara normal yang sangat menyakitkan.

Ia tidak pernah merasakannya dan jarang memerhatikan anak mantunya, sesakit apa operasi itu. Karena semenjak lahiran pertama, dia memerhatikan anak mantunya tidak pernah mengeluh saat berjalan.

"Kalau anak itu emang amanah, Bu. Dila juga sudah usaha meminum pil KB."

Dila baru saja masuk ke kamarnya, kemudian duduk sambil bersandar. Tiba-tiba, sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya.

Wanita itu meraih ponselnya dan menjawab panggilan masuk. "Assalamualaikum. Iya, Bang."

"Apa yang baru saja kau katakan ke ibu, Dil? Dia baru saja meneleponku dan menangis di sambungan telepon. Kau membentak ibuku?" Seketika, Dila terperanjat. Ia mengerutkan dahi.

Nada suara Radit terdengar keras di telinga. Dila menjauhkan sebentar ponselnya dari telinga, kemudian mendekatkan kembali.

Ia masih bingung. Keluhan apa yang disampaikan ibu mertuanya ke Radit?

Wanita tua itu mengadu ke putranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami   61 Penangkapan

    Sebuah notifikasi panggilan masuk ke ponselnya. Herjunot segera menjawab panggilan tersebut. “Ada apa, Vid?”“Laporan yang anda minta beberapa minggu lalu sudah kami kumpulkan. Apakah anda ingin aku kirimkan sekarang, Tuan?”“Okay, silakan! Aku akan mengeceknya segera.”Herjunot beranjak menuju kamar kemudian duduk di kursi dan menyalakan laptop miliknya. Dengan segera membuka kotak masuk di email setelah laptop on. Beberapa menit kemudian pesan yang dinantikannya sudah masuk. Ia pun membuka dan memperhatikan dengan seksama isi laporan tersebut. Beranjak tempat duduknya dan segera meraih blazer miliknya. “Sayang, aku harus ke kantor sekarang. See you!” Herjunot mengecup keningnya.“Hati-hati ya, Mas. Jangan ngebut kalau mengendarai mobil.”“Gak, kok, Nato yang akan mengantarku ke kantor.”“Syukurlah.”Dila mengantarnya sekaligus menemani hingga ke depan pintu. Senyum indah ia berikan sebelum lelaki tampan yang disayanginya masuk ke mobil. Herjunot membalas senyum itu kemudian melambai

  • Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami   60 Meleburnya Dua Insan

    Mereka pun tiba di depan kamar. Pintu kamar terbuka dengan mudah. Herjunot membukanya dengan menggunakan kaki, kebetulan tidak terkunci rapat. Lelaki dengan tubuh atletis itu meletakan istrinya ke atas ranjang tempat tidur. Setelah membersihkan badan dan mengganti pakaian, Dila kembali duduk ke tepi ranjang. Tidak berselang lama Herjunot kembali duduk di sampingnya. Mereka bercengkerama bersama hingga tak terasa malam semakin larut. Herjunot menyandarkan kepala istrinya ke dada miliknya. Kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu melewati malam yang syahdu dengan penuh gelora. Dila menoleh ke atas dan menatap wajah yang sangat menawan itu. “Mas, apakah kau tidak akan menyesal menikahiku?”“Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”“Tidak, Mas. Aku hanya khawatir dengan keadaan dan statusku yang sekarang. Aku seorang janda.”“Aku sudah memperhitungkan segalanya. Lagipula yang memutuskan untuk menikahimu adalah aku, bukan siapapun. Itu berarti aku memang mem

  • Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami   59 Rayuan Maut Herjunot

    “Ya, Abang benar. Biasanya, tangisan anak kecil hanya sebagai siasat untuk meluluhkanmu, Bang.”“Nah, itu yang Abang maksud.”Hati Serly menjadi plong dari beban pikiran yang menyelimutinya tadi. Ia merasa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ia sangat bangga mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut lelaki di sampingnya. Matanya tidak berhenti menatap lelaki yang sedang menyetir mobil tersebut dengan puas diri. “Kamu kenapa aneh gitu, Ser?”“Aneh kenapa, Bang?” “Kenapa menatapku terus seperti itu? Senyum-senyum pula ….” Radit merasa aneh dengan sikap istrinya.“Ti-dak, kok, Bang.” Serly tergagap karena ketahuan suaminya menatap terus sambil tersenyum. Ia pun menolehkan kepala dan menatap lurus ke depan.Mobil masih terus melaju, mengantar mereka kembali ke rumah. Radit masih menyetir, tetapi matanya sesekali melirik ke Serly. Ia masih bertanya-tanya dengan sikap wanita, yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, ia melihat raut wajah Serly yang cemberut di pesta tadi, kemu

  • Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami   58 Syifa Menahan Papanya

    Secara reflek Martin melakukannya. Hatinya mengarahkan untuk menuntun wanita tersebut. Raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi sedih, marah atau canggung sedikitpun. Dila masih bertanya-tanya sambil sesekali melirik lelaki itu. Dila sadar banyak mata menatap mereka. Ia bingung bagaimana harus menyikapi tindakan Martin. Ia ingin memberi isyarat kepada Martin, tetapi tak enak hati karena semua sudah memperhatikan mereka. Kakinya tetap melangkah mengikuti arah ke mana lelaki itu mengantarnya. Herjunot menatap lelaki yang sedang berjalan dengan calon istrinya tersebut dengan tatapan penuh tanda tanya. Hingga mereka mulai mendekat padanya. “Silakan duduk calon iparku!” Martin mepersilakan Dila untuk duduk dengan melemparkan senyuman. “Terima kasih.”Akhirnya, Herjunot mengembuskan napas. Tanda tanya dan kebingungan tadi seketika lenyap. Martin meliriknya sebentar dengan menyunggingkan senyuman. “Selamat berbahagia, my brother!” ucapnya kemudian kembali menghampiri Celline yang sempa

  • Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami   57 Genggaman Tangan Martin

    Bab 57Dila terperanjat. “Ma-af, aku tidak mengerti apa maksudmu.”“Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung jatuh hati padamu. Kau orang yang menyenangkan. Aku sangat suka bila mengobrol denganmu.”“Maaf, Mas, aku tidak bisa. Aku sudah tunangan dengan Herjunot. Kau sangat tahu kami saling mencintai.”“Aku tahu ini salah, tapi kau sudah terlanjur memikat hatiku.”“Mencintai beda dengan mengagumi. Mungkin anda hanya mengagumi.”“Aku serius, Dila. Aku harus jujur aku mencintai.”Dila deg-degan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang sangat berani mengungkapkan isi hati padanya secara langsung. Namun, ia juga menjadi was-was karena lelaki itu tidak peduli dengan jawabannya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bisa menerima lelaki itu. “Maaf, Aku tidak bisa. Bolehkah, aku melanjutkan pekerjaanku?” Dila merasa tidak nyaman bila ditatap terlalu dekat. Ia tidak pernah sedekat ini dengan orang asing baginya. Secara tiba-tiba, pintu ruangan Dila dibuka. Keduanya men

  • Dua Kali Persalinan tidak Dibiayai Suami   56 Martin di Butik Dila

    Bab 56“Aku, Tuan?” tanya Serly dengan nada bergetar. “Ya, aku berbicara denganmu. Siapa lagi?”“Baik, Tuan.” Wajah ceria Serly berubah suram. Tadi, ia berpikir semua telah selesai ketika Herjunot menyuruh mereka pergi. Ia mulai senang. Namun, semuanya berubah dalam beberapa detik di saat bos suaminya itu memanggil dan memintanya berhenti.“Dila, ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”Dila menoleh ke Herjunot. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas Serly dan mengingat perlakuan wanita itu. Bila melihat Serly, ia seperti melihat iblis berwujud manusia. Sangat berbahaya. “Aku ingin dia menjauh dari sini.” Dila sama sekali malas berurusan dengan wanita itu. Ia pun berlalu dan pergi lebih dulu ke ruang kerja Herjunot. Ia malas bertemu dengan Serly. Kini tinggal Herjunot dan Serly. Herjunot pun menatap Serly. “Kau harus mendapatkan kata maaf darinya, kemudian aku akan melepaskanmu. Jika tidak, hidupmu tidak akan aman. Kau tahu akhirnya ke mana? Kau akan berakhir di penjara dan membusuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status