“Selamat pagi, Tuan Steve!” sapa Velia yang melihat Steve baru saja memasuki butik dan berjalan melewatinya.
Hera yang sedang melayani pelanggan yang memesan rancangannya, melarikan bola matanya ke arah Steve yang ternyata juga sedang menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Sampai membuat Hera merasa heran.
‘Mengapa Tuan Steve menatapku seperti itu? Apa aku sudah melakukan salah padanya?’ gumam Hera bertanya-tanya.
Sementara itu, pandangan Steve turun perlahan dan tertumbuk pada perut Hera yang masih datar.
‘Hera sedang hamil. Kupikir dia masih gadis,’ desah Steve dalam hati.
Steve menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta pada wanita yang telah menikah dan akan memiliki anak. Ia memang tidak mengetahui jika sebenarnya Hera melarikan diri dari suaminya.
Melihat Steve yang pergi begitu saja setelah menghentikan langkahnya sebentar di hadapan Velia dan Hera, membuat kedua wanita itu saling bersit
“Apa?! Jadi sebenarnya Hera tidak tinggal dengan suaminya di Singapura? Orang tua Hera sudah meninggal? Lalu, apa suaminya tahu kalau Hera hamil?” Steve melebarkan mata setelah mendengar ucapan Velia.Ya! Karena merasa penasaran, maka Steve mencari informasi tentang Hera pada Velia. Yang ia tahu, Velia lah yang paling dekat dengan Hera di sini.Velia menggeleng pelan. Ia duduk di depan Steve yang duduk di seberangnya. Steve sengaja mengajak Velia makan di restoran siang ini demi bertanya banyak hal mengenai Hera.“Hera sering bercerita padaku kalau ia kabur dari suaminya. Katanya, mereka sudah menikah selama satu tahun. Tapi pernikahan mereka tidak berjalan lancar seperti suami-istri kebanyakan. Hera menikah dengan lelaki yang masih mencintai mantan istrinya yang sudah meninggal. Dia bahkan disuruh tinggal di paviliun. Tidak satu atap dengan suaminya. Bayangkan, Tuan! Bagaimana perasaan Hera. Aku heran, ada suami sekejam itu di dunia ini,
Hera hanya mengangguk. Lalu membalasnya dengan senyum tipis. Sebelum ia kembali mengarahkan pandangan pada Mentari yang masih asyik dengan kedua bonekanya. Boneka pemberian dari Steve!“Mama!” rupanya bocah perempuan itu baru menyadari jika Hera berdiri tak jauh darinya, memerhatikannya.“Lihat kucing! Kelinci! Mamaku sudah datang. Mama baru saja membereskan bajuku ke dalam koper. Nanti aku akan ajak kalian naik pesawat terbang. Hore!” seru Mentari bertepuk riang.Hera dan Steve saling menoleh lalu tersenyum. Tak ingin terlalu lama membuat Mentari bermain sendirian, Hera pun menghampirinya dan duduk di depan Mentari.“Memangnya, kau mau mengajak mereka juga naik pesawat, sayang?” tanya Hera menatap wajah lucu Mentari.Bocah itu mengangguk semangat. Membuat kuncir rambutnya bergerak-gerak.“Iya, Ma. Si kucing dan kelinciku harus dibawa. Katanya mereka juga mau melihat pesawat seperti aku.
“Jangan lupa hubungi aku kalau sudah sampai di Indonesia,” pinta Steve pada Hera.Pagi ini, Hera dan Mentari akan melakukan perjalanan ke Indonesia. Mereka sudah berada di bandara Singapura diantar oleh Steve.Hera mengangguk. “Tentu saja. Aku pasti akan langsung menghubungimu begitu sampai di sana,” jawab Hera. Yang membuat hati Steve merasa sedikit lega.Steve lalu menurunkan pandangannya pada Mentari yang sejak tadi tak lepas memegang tangan kanan Hera. Bocah kecil itu berdiri di samping ibunya, dan memeluk si kucing dan si kelinci, boneka kesayangannya.“Hey, Nona manis! Kau juga harus berjanji untuk tidak melupakanku meskipun akan tinggal cukup lama di sana.” kali ini Steve meminta pada Mentari sembari tubuhnya membungkuk agar sejajar dengan bocah itu.Mentari mengangguk tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku janji Om Steve. Om Steve juga jangan menangis karena tidak diajak Mama
Sejak tadi Hera tidak melihat keberadaan sepupunya di rumah itu. Saat Hera menikah, Iren tidak bisa datang karena sedang kuliah di Jepang.Sementara Fatma dan Bimo mereka menyempatkan datang, hanya saja mereka tidak bertemu dengan Gama saat itu.Padahal sebenarnya ketika pernikahan, Gama memang lebih banyak meninggalkan Hera sendirian di atas pelaminan. Kalaupun berdiri di samping Hera, paling hanya sebentar saja untuk menghentikan omelan Darma dan Jessy.“Kuliahnya memang sudah lama selesai, Hera. Bahkan Iren sudah bekerja.” Fatma mengatakannya sambil tersenyum.“Benarkah?” Fatma mengangguk. “Iya. Sekarang anak itu sedang jalan bersama dengan pacarnya. Dan apa kau tahu, Hera? Pacar Iren itu adalah boss di kantor tempatnya bekerja! Kata Iren lelaki itu sangat baik dan tampan. Yah.. meskipun dia sama sekali belum pernah datang ke rumah ini ataupun bertemu dengan Bibi dan Paman
“Tentu saja. Dan aku punya satu kejutan untukmu. Tadi siang Gama mengenalkanku pada ayahnya untuk yang pertama kali. Dia berniat serius dan akan segera datang melamarku ke rumah ini,” wajah Iren tampak berbinar. Membuat Hera ikut melebarkan senyumnya.“Benarkah? Aku bahagia mendengarnya. Dan yang pasti… Gama beruntung mendapatkanmu.”Iren menggeleng dengan tegas. Tidak setuju dengan ucapan Hera.“Bukan Gama yang beruntung mendapatkanku. Tapi aku lah yang beruntung mendapatkan dia. Dia adalah hidupku, cintaku,” gumam Iren sembari benaknya membayangkan wajah tampan Gama yang jarang tersenyum itu. Tapi entah kenapa selalu membuatnya tergila-gila.Berbanding terbalik dengan Iren yang begitu bersemangat saat menceritakan tentang Gama kekasihnya, Hera justru mengulum senyum pahit. Mengingat Gama mantan suaminya justru telah menorehkan luka dan kenangan yang menyakitkan.‘Andai Gamaku seperti ke
Iren tidak tahu jika ucapannya itu membuat tubuh Hera membeku. Ada yang salah dengan hatinya saat Iren mengucapkan nama Gama lagi.Tapi tepukan tangan halus Mentari di pahanya, membuat Hera mengerjap dan menatap bocah mungil itu.“Ma. Kenapa Mama melamun?” tanya Mentari. Kedua alisnya yang lebat itu menyatu. Mata abunya menatap Hera dengan bingung.“Iya, Hera. Apa yang sedang kau pikirkan?” Bimo dan Fatma juga bertanya. Hati mereka menduga kalau Hera pasti sedang memikirkan mantan suaminya.Hera menggeleng. “Enghh, tidak. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa,” dusta Hera lalu memaksakan senyum kecil.Fatma dan Bimo saling tatap. Mereka tahu kalau Hera berbohong. Tampak sekali dari raut wajah Hera saat ini.Bimo memberi isyarat agar istrinya segera mengajak Mentari bermain. Dan Fatma mengangguk. Digendongnya Mentari menjauhi meja makan sebab Bimo sepertinya ingin berbicara serius dengan Hera.&l
Matanya masih menyorot pada Gama yang melangkah di teras rumahnya sembari merangkul mesra pinggul wanita itu dari samping.Hera meneguk ludahnya kasar. Lalu menekan dadanya dengan kuat. Ia merasa ada sesuatu yang remuk redam di dalam sana.“Nona? Apa Anda tidak jadi turun? Saya masih harus mencari pelanggan yang lain,” dengan sedikit kesal sopir taksi itu bertanya lagi.Hera mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Lalu ia berkata. “Jalan saja, Pak. Aku tidak jadi berhenti di sini.”***Di dalam rumahnya, Gama mempersilakan Iren duduk di sofa, sementara Gama duduk di sampingnya. Ia membiarkan Iren menyalakan televisi dan menonton acara apa saja yang wanita itu sukai. Sementara Gama bermain dengan ponselnya.“Rumahmu terlihat sepi sekali.” bukannya fokus menatap TV di depannya, Iren justru mengomentari suasana di dalam rumah Gama sembari mengedarkan pandangan.Gama menganggu
Tak bisa dipungkiri, sebagai sepupu, Hera pun senang mengetahui Iren mendapatkan pasangan yang benar-benar cocok untuknya. Tidak seperti dirinya, ia hanya bisa mencintai sosok Gama suaminya dari jauh, memupuk harapan kalau suatu saat Gama akan menerimanya sebagai istri. Tapi malam itu malah terjadi dan membuat semua harapan yang sudah Hera pupuk menjadi hancur.Hanya tersisa rasa kecewa yang sampai saat ini masih dirasakannya.Fatma kembali menyentuh lengannya, menyadarkan Hera dari lamunannya tentang Gama.“Hera. Kau masih ingat, sejak dulu kau dan Iren seperti sepasang anak kembar. Kemana-mana selalu bersama, bermain bersama, dan kalian dekat seperti saudara kandung. Itu sebabnya, Iren merasa hancur saat kau pergi tanpa kabar. Untuk itu Bibi ingin berpesan sesuatu padamu,” jemari Fatma kini menggenggam tangan Hera. Menatap bola matanya yang bulat itu dengan serius.“Apapun yang terjadi, hubungan persaudaraan kalian harus se