“Om Gama! Mentari senang bertemu Om Gama lagi,” celoteh anak itu. Gama berdiri dan membawa Mentari dalam gendongannya.
“Om Gama juga senang bisa bertemu denganmu,” balas Gama mengusap punggung Mentari yang kini kedua tangan mungilnya melingkar di lehernya.
Setelah itu, Gama mengarahkan netranya ke arah Hera yang tertegun di tempatnya berdiri.
“Ehhm.. sepertinya, Hera dan Gama perlu bicara,” kata Fatma yang membuka suara, memecahkan keheningan di ruangan itu.
Fatma berkata begitu karena ia sadar jika Gama dan Mentari tidak bisa dipisahkan. Mentari sangat membutuhkan Gama saat ini.
Bimo mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, berusaha menghilangkan raut marah dari wajahnya. Ia pun mengangguk. Amarahnya melunak jika menyangkut Mentari.
“Hera.. aku ingin bicara empat mata denganmu,” kata Gama meluruskan pandangannya pada Hera.
Hera mengangguk pelan. “Baik. Aku juga ingin bicara hal pe
Ia terlalu terkejut mendengar ucapan Gama.“Sekali lagi aku minta maaf. Kau cantik dan baik, kau juga cerdas dan mengagumkan. Nanti kau bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku. Selamat malam!” Iren masih saja membisu di tempatnya, matanya hanya menatap nanar pada tubuh jangkung Gama yang sudah berbalik dan menjauh darinya. Bahkan saat Gama sudah masuk dan menjalankan mobil menjauhi pelataran rumahnya, Iren bergeming. Menekan dadanya sendiri. Lantas menggeleng dengan mata yang memanas.“Ga-Gama mengakhiri hubungan kita? Gama mengakhirinya? Aku betul-betul tidak percaya ini. Dia melakukannya,” gagapnya menutup mulut.“Bagus dia pulang dan mengerti apa yang harus dia lakukan! Jadi Ayah tidak perlu lagi memberinya peringatan untuk tidak mendekatimu!” Bimo keluar rumah dan menghampiri Iren.Mengusap matanya yang basah, Iren menolehkan kepalanya ke arah Bimo. “Kenapa Ayah mela
Gama memutar bola mata mendengar dugaan Darma.“Nanti akan kujelaskan semuanya di kantor. Sudah dulu ya, Pa.” setelahnya, Gama langsung menutup sambungan telpon dan memasukannya kembali ke dalam saku celana.Tubuhnya berbalik hendak kembali menghampiri Hera karena tadi mereka datang ke rumah sakit dengan menggunakan mobil milik Gama. Maka sekarang pun Gama akan kembali mengantar Hera pulang.Akan tetapi tubuh Gama menegang begitu ia sampai di dekat Hera. Netra tajamnya menatap punggung Hera yang tampak sedang berbicara dengan seorang lelaki dalam vodeo call.Gama bahkan bisa mendengar suara lelaki itu dengan jelas. Sangat jelas!“Jadi Mentari akan segera dioperasi?” tanya lelaki itu dari layar video ponsel Hera. Dia adalah Steve.Steve tahu kalau hasil DNA Mentari dan Gama keluar hari ini, maka dari itu dia melakukan panggilan video pada Hera.Hera mengangguk. “Iya, Steve. Dokter bilang
“Kau gila, Gama! Mengapa tidak pernah memberitahukan hal ini pada Papa sebelumnya? Mengapa baru mengatakannya sekarang?!” Darma bertanya dengan suara yang keras.Ia merasa tak dianggap ketika Gama baru memberitahukan tentang Mentari padanya hari ini. Padahal Gama sudah mengetahui beberapa hari lalu.“Papa marah padaku? Aku pun sama marahnya pada Hera. Dia menyembunyikan Mentari selama bertahun-tahun. Dan baru mempertemukannya denganku di saat anak itu sedang sakit keras. Aku marah untuk itu. Tapi sekarang tidak ada gunanya melampiaskan kemarahanku sedangkan ada hal yang lebih penting yang harus kulakukan. Yaitu berjuang untuk kesembuhan Mentari.”Darma terdiam mendengar ucapan Gama. Berpikir lebih logis, Darma membenarkan ucapan anaknya.Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan cucunya.“Papa ingin sekali bertemu dengan Mentari. Papa ingin memeluknya, Gama,” nadanya mulai melembut.&ldq
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m