Beranda / Romansa / Dua Lelaki dalam Hidupku / Mengapa Harus Cinta Padanya?

Share

Mengapa Harus Cinta Padanya?

Penulis: Syifa Safaah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-17 01:54:41

Namun langkahnya belum sampai melewati pintu, Hera kembali bersuara.

"Jangan terlalu percaya diri, Gama. Jika bukan karena kau suamiku, aku tidak akan mau bersusah payah memasak untuk lelaki yang tak tahu berterimakasih sepertimu. Aku melakukannya bukan demi dirimu, tapi demi kedua orang tuaku yang selalu berpesan agar aku melayani suamiku dengan baik. Tapi sayangnya mereka tidak tahu jika lelaki yang kunikahi adalah manusia yang tak berperasaan!" teriak Hera menatap punggung Gama yang tegap dan lebar.

Gama berbalik menatap Hera dengan alis yang terangkat.

"Terserah. Kalau begitu lakukan saja apa yang kau mau. Dan aku tidak akan peduli!" balas Gama melayangkan tatapannya yang menusuk ke arah Hera, sebelum ia melengos pergi dan tubuhnya menghilang di balik pintu itu.

Hera mematung. Lalu ia menjatuhkan dirinya di kursi yang tadi ia duduki. Hatinya mencelos mendengar ucapan Gama. Hera tersenyum miris menertawakan kebodohannya sendiri.

Hera memegangi dadanya, ia mendongkak dengan mata yang mengembun.

"Apa aku harus menggugatmu, Tuhan. Karena telah menciptakan rasa cinta yang salah. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki sekejam Gama?" desah Hera pelan. 

*** 

Sementara itu, Gama melangkah tegas menuju mobilnya yang sudah siap di pelataran rumah. Ia mendudukan dirinya di balik kemudi. 

Mobil itu melesat membelah jalanan kota yang pagi ini cukup ramai. Gama meremas setir hingga buku jemarinya memutih. Gama benci saat perasaan ini kembali muncul di dalam hatinya.

Perasaan aneh yang selalu menyergapnya setiap kali ia melihat Hera.

"Sial! Untuk apa aku mengingat wanita itu? Aku harus melenyapkannya dari pikiranku! Seharusnya yang aku ingat hanya Karin!" geram Gama. 

Beberapa bulan ke belakang, Gama memang selalu merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Ketika Hera ada di sekitarnya, Gama selalu tak bisa menahan matanya untuk tidak menatap wanita itu.

Jika Gama sedang menyendiri, yang ia ingat justru Hera. Bahkan Gama sendiri lupa, entah sejak kapan nama Karin mulai lenyap perlahan dari dalam hatinya.

Gama benci dengan dirinya yang seperti ini. Bukankah Gama pernah berjanji akan mencintai Karin sampai mati?

"Selamat datang, Tuan Gama! Anda mau pesan apa?" ketika memasuki sebuah café mewah berkelas, Gama langsung disambut ramah oleh pelayan café itu.

Memiliki karir yang cemerlang dan bisnis yang menjamur ke berbagai negara, tentu saja membuat nama seorang Gama Dirgantara sangat dikenal.

"Berikan aku teh dan sandwich!" pinta Gama dengan suaranya yang khas sembari menarik kursi dan mendudukan dirinya di sana.

"Baik, Tuan Gama. Mohon ditunggu sepuluh menit!" ucap pelayan café itu sebelum berbalik meninggalkan Gama sendirian di mejanya.

Pagi ini Gama memang belum sempat sarapan. Jadi sebelum ke kantornya, Gama mendatangi sebuah café untuk mengisi perutnya. Sebenarnya Gama terbayang dengan enaknya masakan yang Hera buat. 

Ia sendiri merasa terkejut jika ternyata Hera sangat pandai memasak.

'Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya kalau selama ini dialah yang selalu memasak dan menyiapkan makanan untukku. Bukan para pelayan yang sudah kutugaskan di bagian dapur,' batin Gama.

Gama terus berkutat dengan pikirannya sampai ia tak sadar jika pelayan yang tadi kini sudah kembali menghampirinya dengan membawa sebuah nampan.

"Selamat menikmati, Tuan Gama!" 

Gama hanya menjawab dengan anggukan kepalanya. Ia menikmati sarapannya dengan tidak bernapsu.Gama akui jika makanan buatan Hera adalah yang terbaik dari semua makanan yang pernah masuk ke dalam mulutnya.

Tetapi kemudian Gama teringat lagi dengan Karin dan ia segera mengenyahkan tentang Hera dari pikirannya.

Sampai suara dua orang lelaki yang sedang berbincang di meja yang tak jauh darinya, terdengar ke telinga Gama. Membuat Gama menghentikan gerakan mengunyahnya saat mendengar nama Karin Ardelia yang disebut-sebut.

"Maksudmu.. Karin Ardelia model terkenal yang sudah meninggal lima tahun yang lalu itu? Jadi dia pernah menjadi selingkuhanmu juga?"

"Aku yang pernah menjadi selingkuhannya. Nama suaminya Gama Dirgantara. Setiap kali Gama pergi ke kantor, aku dan Karin selalu menghabiskan waktu bersama. Apa kau tahu? Ada satu hal yang paling kurindukan dari Karin. Yaitu goyangannya yang membuatku merasa ketagihan. Hanya saja.. sayang sekali dia sudah tidak ada. Padahal aku sangat merindukannya."

Tangan kanan Gama yang memegangi gelasnya sudah mengeras. Giginya mengeletuk seiring dengan amarahnya yang memuncak. 

Rasanya Gama ingin sekali melempar gelas di tangannya ke kepala lelaki itu yang kini sedang tertawa-tawa bersama dengan temannya. Tetapi Gama menahannya. Ia adalah seorang pebisnis ternama. Gama tidak mau mengotori tangannya dengan membuat pemberitaan tentang dirinya yang melakukan kekerasan pada lelaki pengecut itu.

*** 

"Bas! Kau yakin tidak akan langsung pulang ke rumah?" 

"Aku yakin. Kau pulanglah lebih dulu. Ada seorang wanita yang sedang menungguku," jawab lelaki itu yang tadi menyebut dirinya sebagai mantan selingkuhan Karin.

Ia dan temannya melangkah keluar dari café. 

"Ah, pasti wanita baru lagi," kata temannya sambil memutar bola mata. Lelaki itu tertawa dan meninju pelan lengan temannya.

"Tebakanmu tepat sekali. Kau memang sangat mengerti diriku."

Setelah berpamitan, lelaki yang bernama Bastian itu memasuki mobilnya yang terparkir di pelataran café. Namun baru saja Bastian menghempaskan dirinya di balik kemudi, tiba-tiba seorang lelaki masuk dan menodong Bastian dengan sebuah pistol.

"Hey! Ada apa ini?!" teriak Bastian panik.

"Jangan banyak bertanya! Jalankan saja mobilnya ke arah yang kutunjukkan jika kau ingin selamat," suruh lelaki yang mengenakan topeng itu pada Bastian.

"B-baik." dengan ketakutan setengah mati melihat pelatuk pistol yang terus mengarah ke kepalanya, Bastian segera melajukan mobilnya dan menjalankannya mengikuti arahan dari si lelaki bertopeng itu.

Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah gedung kosong yang terbengkalai. Bastian ditarik memasuki gedung itu dan ia didudukan di sebuah kursi kayu lalu kedua tangannya diikat ke belakang oleh si lelaki bertopeng.

"Kenapa kau mengikat tanganku?! Hah? Lepaskan aku! Atau aku akan berteriak!" panik Bastian mencoba memberontak agar ikatan di tangannya terlepas.

"Silakan saja berteriak! Tidak akan ada satuorang pun yang akan mendengarnya." bukan si lelaki bertopeng itu yang bersuara. Melainkan Gama.

Bastian menoleh dan ia terkejut setengah mati saat melihat tubuh tegap Gama melangkah lebar ke arahnya. Seketika rasa takut menyergap perasaan Bastian. Melihat tatapan amarah yang terpancar dari kedua bola mata Gama. Bastian meneguk ludahnya kasar.

"Gama Dirgantara!" bisik Bastian dengan suara yang bergetar saat langkah Gama terhenti di depannya.

"Baguslah kau sudah tahu nama lengkapku. Itu artinya kau juga pasti tahu seberapa berpengaruhnya diriku untuk menghancurkan karirmu!" desis Gama mengarahkan telunjuknya pada wajah Bastian. Membuat Bastian gelagapan dan menggeleng cepat.

Dari raut wajahnya, tampak Bastian sangat ketakutan. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Lelaki dalam Hidupku   Bersatu Kembali! TAMAT

    Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe

  • Dua Lelaki dalam Hidupku   Sesal Sudah Membohongi Mentari

    “Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve

  • Dua Lelaki dalam Hidupku   Harus Pergi

    Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan

  • Dua Lelaki dalam Hidupku   Cemburu Membakar Hati Gama

    “Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga

  • Dua Lelaki dalam Hidupku   Kenapa Papa dan Mamaku Berbeda?

    Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m

  • Dua Lelaki dalam Hidupku   Nekat Demi Cinta

    Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status