"Jangan ada satu orang pun yang berani memberinya makan malam ini! Jika ada yang melanggar, aku akan langsung memecatnya saat itu juga!" Hera masih bisa mendengar suara Gama yang memerintah pada para pelayan yang ada di luar sana.
Sementara Diar sudah memegang gagang pintu. Lagi-lagi ia menatap Hera dengan tatapan tidak enaknya.
"Maafkan saya, Nyonya.." ucap Diar dengan bibirnya yang bergerak tanpa suara. Mungkin Diar takut Gama akan mendengarnya.
Hera hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanda bahwa ia tak merasa keberatan jika Diar menguncinya malam ini.
Setelahnya pintu itu menutup dengan rapat, Hera lalu menatap nyalang ke depan dan ia menjatuhkan pantatnya di pinggir ranjang bersamaan dengan helaan napas berat yang sejak tadi ia tahan di dadanya.
"Ma.. Pa.. aku merindukan kalian berdua," desah Hera teringat akan kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Suara perutnya yang mengerucuk membuat Hera menelan ludah. Gama sudah memerintah pada seluruh pelayannya untuk tidak memberi Hera makan semalaman ini. Jadi mau tak mau Hera harus menahan lapar hingga pagi.
***
Membuka pintu kamarnya, Gama masuk sembari melepaskan jass yang ia kenakan lalu melemparnya ke sembarang tempat. Tungkainya yang panjang itu berjalan menuju kaca lebar yang menghadap ke samping halaman rumahnya.
Sambil sebelah tangannya menggenggam segelas minuman beralkohol. Gama meneguknya penuh amarah. Matanya merah dan menatap lurus ke depan sana. Dimana dari ketinggian tiga lantai ini, pemandangan kota jakarta tampak indah di malam hari.
"Karin.." nama itu yang selalu keluar dari mulut Gama. Tatapannya menyiratkan kerinduan. Gama sangat merindukan sosok wanita yang ia cintai itu.
"Kenapa kau pergi begitu cepat? Seharusnya kau membawaku juga dalam kecelakaan itu. Jadi aku tidak merasa kesepian seperti ini," gumam Gama sembari mendesah penuh sesak dalam hatinya.
Karin adalah istri pertamanya. Ia meninggal karena kecelakaan mobil yang terjadi lima tahun lalu.
Gama sangat mencintai Karin. Tapi kedua orang tua Gama tidak menyetujui pernikahannya karena mereka melihat gelagat tidak baik dari Karin. Namun Gama memaksa menikahi wanita itu dan membawanya ke rumah.
Tanpa Gama tahu, setiap kali Gama bekerja, Karin akan membawa selingkuhannya ke rumah. Bahkan Karin tak segan menunjukan kebusukannya di depan kedua orang tua Gama karena Karin tahu kalau Gama pasti akan mudah ia pengaruhi.
Karin selalu menghasut Gama hingga membuat hubungan lelaki itu dengan kedua orang tuanya merenggang. Bahkan hingga Karin meninggal pun, Gama masih belum mengetahui kebusukan istrinya itu.
"Sekarang aku sudah menikah lagi dengan seorang gadis yang sama sekali tidak aku cintai. Namanya Hera. Kelihatannya dia memang polos. Tapi dia cukup pemberani." Gama tersenyum sinis setelah mengatakan itu. Ia membayangkan bagaimana cara Hera saat berbicara padanya.
Hera tidak tahu kalau tidak ada satu orang pun selain Darma yang berani mendebatnya.
"Kamu tenang saja, Karin. Dia tidak akan pernah bisa menggantikanmu. Tidak akan pernah! Selamanya dia berusaha, sedikitpun dia tidak akan pernah bisa membuatku jatuh cinta," ucap Gama dengan penuh keyakinan dalam hatinya.
Gama lupa, bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa mengatur takdirnya sendiri. Tak terkecuali dengan dirinya.
***
Satu tahun sudah mereka menjalani pernikahan ini, dan sikap Gama masih tetap sama. Lelaki itu bahkan jarang mengajak Hera bicara. Mereka tidak duduk di satu meja makan yang sama. Hera tetap berada di paviliunnya.
Hanya saja, mengingat statusnya yang telah menjadi seorang istri, Hera tetap melayani Gama dengan menyiapkan makanan untuknya. Semenjak urusan dapur diambil alih oleh Hera, Gama menjadi betah makan di rumah dan selalu makan dengan lahap. Hera senang mendengarnya meskipun Gama tidak pernah tahu jika ialah yang selalu memasak makanan itu.
Seperti saat ini, diam-diam Hera ke dapur. Mengenakan celemeknya dan mulai berkutat dengan penggorengan.
Namun saat ia sedang memotong sayuran, tiba-tiba saja suara Gama membuatnya terkejut hingga tak sengaja mengiris jarinya dengan pisau.
"Oh. Jadi kau yang memasak makanan untukku selama ini?"
Tubuh Hera menegang. Sambil menjepit jarinya agar tidak mengeluarkan darah, Hera membalikan badannya menatap Gama yang kini berdiri di depannya dengan tubuh yang menjulang tinggi. Tatapan lelaki itu lurus dengan wajahnya yang dingin.
Gama hendak membuka suara kembali memarahi Hera, tetapi kalimatnya tertelan di tenggorokan saat bola mata Gama melihat jemari tangan Hera yang mengucurkan darah yang lumayan banyak.
Terbesit rasa panik di hati lelaki itu.
"Dasar ceroboh! Apa yang kau lakukan di dapurku? Kau ingin memasak dengan tangan yang terluka? Jika darahmu ini sampai mengotori barang-barang milikku, aku tidak akan mengampunimu, Hera!" Gama mendekat. Ia menarik tangan Hera menuju wastafel lalu membasuhnya.
Hera tidak memberontak. Ia bingung menatap pada Gama yang justru fokus membasuh luka di tangan Hera yang berdarah itu dengan air keran.
'Apa yang terjadi denganku? Mengapa jantungku selalu berdegup secepat ini setiap kali berada di dekat Gama? Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya 'kan? Tidak mungkin aku mencintai monster ini,' tanya Hera dalam hati.
Saat itu Gama pun menggeser matanya hingga bertemu dengan mata Hera yang menatapnya. Hera terhenyak lalu segera mengalihkan pandangannya ke bawah. Dimana air keran itu baru saja dimatikan oleh Gama.
"Ikut aku!" perintah Gama. Menarik tangan Hera untuk mengikutinya.
Hera sedikit memberontak. "Kau tidak perlu menarik tanganku begini. Aku tidak akan lari!"
Ya! Lagipula kemana Hera akan lari? Ia sudah tidak memiliki keluarga. Paviliun milik Gama sudah menjadi rumahnya. Meskipun sebenarnya Hera masih memiliki rumah peninggalan kedua orang tuanya. Namun Hera tidak bisa tinggal di sana. Sebab rumah itu masih lekat dengan kenangan kedua orang tuanya.
Gama mengambil sebuah kotak dan ia mendudukan Hera di kursi yang berhadapan dengannya. Awalnya Hera merasa bingung dengan apa yang hendak Gama lakukan. Tapi ketika melihat Gama mengeluarkan obat merah, Hera pun mengerti.
Jadi monster di hadapannya ini akan mengobati lukanya. Benarkah seperti itu? Entah ada angin dari mana sampai Gama mau peduli padanya.
'Sejak kapan dia mulai peduli pada orang lain?' Hera kembali bertanya dalam hatinya. Matanya menatap kepala Gama yang menunduk membalut luka di jarinya dengan plester.
"Mulai sekarang aku minta kau tidak usah memasak untukku! Karena aku tidak membutuhkan pelayanan apapun darimu!" tegas Gama menaikan pandangannya menatap Hera. Tatapannya sedingin es. Membekukan tubuh Hera.
"Sekeras apapun kau berusaha menarik simpati dariku, aku tidak akan pernah peduli!" lanjut Gama melepaskan tangan Hera dari genggamannya, lantas lelaki tampan itu mendorong kursi hingga berderit dan berjalan meninggalkan Hera yang menatap punggungnya dengan bibir yang terkatup rapat.
Namun langkahnya belum sampai melewati pintu, Hera kembali bersuara."Jangan terlalu percaya diri, Gama. Jika bukan karena kau suamiku, aku tidak akan mau bersusah payah memasak untuk lelaki yang tak tahu berterimakasih sepertimu. Aku melakukannya bukan demi dirimu, tapi demi kedua orang tuaku yang selalu berpesan agar aku melayani suamiku dengan baik. Tapi sayangnya mereka tidak tahu jika lelaki yang kunikahi adalah manusia yang tak berperasaan!" teriak Hera menatap punggung Gama yang tegap dan lebar.Gama berbalik menatap Hera dengan alis yang terangkat."Terserah. Kalau begitu lakukan saja apa yang kau mau. Dan aku tidak akan peduli!" balas Gama melayangkan tatapannya yang menusuk ke arah Hera, sebelum ia melengos pergi dan tubuhnya menghilang di balik pintu itu.Hera mematung. Lalu ia menjatuhkan dirinya di kursi yang tadi ia duduki. Hatinya mencelos mendengar ucapan Gama. Hera tersenyum miris menertawakan kebodohannya sendiri.Hera memegangi d
"Jangan! Jangan! Aku mohon jangan ganggu karirku. Pekerjaanku hanya sebagai model saja. Jika aku sampai diblacklist dari semua agency model, darimana aku mencari uang?" mohon Bastian. Yang kemudian dibalas oleh Gama dengan dengkusan masam seraya mengedikkan bahunya tak peduli."Itu bukan urusanku!" tegas Gama melayangkan tatapannya yang setajam elang. Tatapannya itu mampu menembus hingga ke jantung Bastian. Membuat tubuh lelaki itu membeku di tempat duduknya.Bastian tidak menyangka jika si lelaki bertopeng tadi adalah orang suruhan Gama. Bisa jadi dia salah satu dari sekian banyak bodyguard yang Gama miliki. Dan sialnya, Bastian seperti mati kutu. Ia tidak berdaya di hadapan Gama yang tentu saja memiliki kekuasaan dibanding dirinya."Kau telah salah memilih musuh. Seharusnya sebelum bertindak, kau harus mencari tahu dulu tentang siapa musuhmu sebenarnya," geram Gama sambil menarik rahang Bastian hingga mendongkak menatapnya."A-apa maksudmu?" Basti
"Diar. Apa Gama belum pulang?"Diar sedikit terkejut mendengar pertanyaan Hera. Namun senyum kecil tertahan di bibir pelayan itu. Rupanya, Gama lah yang sedang Hera pikirkan.Ini memang sudah pukul dua belas malam. Seharusnya di jam seperti ini, semua orang di paviliun sudah tidur. Tapi Hera malah menyibukan diri memikirkan suaminya.Diar menggeleng pelan. "Belum, Nyonya Hera. Tuan Gama belum pulang." jawaban itu membuat Hera mendesah kecewa.Diar tersenyum lagi saat melihat raut khawatir tampak di wajah Hera. Gurat kecemasan itulah yang membuat Hera sulit untuk tidur.'Di mana Gama? Ini sudah mau tengah malam tapi dia belum pulang juga. Bahkan sekarang hujan deras. Sial! Kenapa aku jadi mencemaskannya seperti ini.' Hera mengutuk dirinya sendiri dalam hati.Jika mengingat sikap Gama yang tidak ada manis-manisnya, seharusnya Hera tak perlu mengacuhkan lelaki itu meskipun ia diterkam serigala, atau ditelan ikan paus sek
Kini langkah Gama sudah memasuki ke dalam paviliun. Paviliun itu tampak sepi. Karena semua orang yang tinggal di dalamnya sudah tertidur di kamar mereka masing-masing.Tujuan Gama adalah kamar Hera. Entah iblis darimana yang menuntunnya untuk pergi ke kamar wanita itu. Tapi Hera adalah istrinya.KLEK!Tangan Gama membuka pintu kamar Hera secara perlahan. Dilihatnya wanita itu sedang terlelap di atas ranjang. Dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke pinggangnya.Dalam cahaya remang lampu tidur, Hera tampak begitu cantik. Rambut indahnya terurai menutupi bantal. Dan Gama melangkah makin dekat, berdiri di samping ranjang sembari matanya menatap Hera dengan pandangan berkabut penuh gairah."Hhhhh.." Gama mendesah.'Mengapa dia terlihat begitu cantik, terlebih saat sedang tidur dengan tenang seperti ini?' batin Gama.Setahun menjadi suami Hera, baru kali ini Gama melihat istrinya itu tertidur pulas di depannya. Gama t
Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya."Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu."Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya.Setengah jam berlalu, Her
“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.Jessy juga mena
Riak wajah Darma yang tadi merah padam karena kemarahannya pada Gama, kini rona itu sudah menghilang. Darma hanya menatap putranya dengan raut lelah. Sementara tangannya kembali menepuk pundak Gama, bedanya kali ini mereka sudah berdiri saling berhadapan.“Cari Hera sampai ketemu. Kau harus menemukannya. Bagaimanapun dia istrimu. Meskipun sebenarnya Papa sangat kecewa padamu, Gama. Tapi semuanya sudah terjadi. Mungkin ini salah Papa karena sudah memaksamu menikah dengan Hera padahal kau tidak mencintainya. Jika nanti Hera ketemu, Papa pasrah kalaupun nantinya kalian akan memilih berpisah. Mungkin pernikahan kalian memang tidak bisa dipertahankan meski sebenarnya Papa sangat menyayangi Hera dan merasa tidak enak dengan ayahnya yang sudah tiada.”Darma berusaha berpikir bijak. Ia tidak lagi berapi-api memarahi ataupun menampar Gama. Darma pikir sedikit banyak ia juga berperan dalam hal ini.Karena Darma lah yang sudah memaksa Gama untuk menikahi Hera.
Steve tersenyum.“Kalau begitu, aku ucapkan selamat bergabung dengan Butik Anderson. Semoga kau bisa bekerja dengan baik,” ucap Steve sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya dan mengedarkan pandangan pada para karyawan yang berdiri menyambutnya.“Setelah ini kalian semua bisa kembali bekerja. Terimakasih untuk sambutan kalian,” tutup Steve lalu ia melanjutkan langkahnya memasuki butik yang sangat ia rindukan.Setelahnya Steve masuk, semua karyawan wanita langsung menjerit tertahan dan mengepalkan tangan mereka dengan gemas. Menatap punggung lebar lelaki itu yang masuk ke dalam lift. Ruangan boss memang berada di lantai tujuh. Sementara butik ini memiliki tujuh lantai.“Tuan Steve semakin tampan!”“Style rambutnya berubah, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun!”“Ya Tuhan! Terimakasih sudah menciptakan lelaki setampan Tuan Steve di dunia ini.”Hera meringis