Share

Pergi karena Luka

Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.

Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya. 

"Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu." 

Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya. 

Setengah jam berlalu, Hera keluar dan sambil memegang erat handuknya yang membalut tubuh, Hera berdiri menatap tubuh besar dan jangkung lelaki itu yang tampak pulas tertidur. Tatapan itu penuh kebencian.

Lantas Hera membuka lemari. Ia membulatkan tekadnya kali ini. Hera merasa bahwa ia tidak bisa bertahan lagi.

"Ayah! Maafkan aku. Aku mohon jangan marah atau membenciku karena aku tidak tahan lagi menjalani pernikahan dengan lelaki yang tak berperasaan seperti Gama. Aku akan pergi. Setidaknya aku pernah menjalankan wasiat yang Ayah minta," desah Hera. 

Ia tidak terima mendapat penghinaan dari suaminya sendiri. Gama sudah keterlaluan. Menyentuh Hera dengan cara yang paling menyakiti hati wanita. Seakan Gama menganggap Hera adalah wanita malam yang bisa diperlakukannya sesuka hati.

Tidak! Jangan harap Hera akan mau bertahan dengan lelaki arogan itu. Saat ini juga ia akan pergi. Kemanapun asal jauh dari Gama.

Hera sudah mengenakan pakaiannya, ia pun sudah mengisi koper dengan baju-baju serta barang-barang penting miliknya. Lantas tangannya mengambil sebuah buku, merobek selembar kertas di dalamnya, lalu menuliskan sesuatu yang kemudian ia taruh di atas nakas.

"Selamat tinggal, Gama," bisik Hera menatap wajah pulas Gama. Sebelum akhirnya ia meraih koper dan menyeretnya keluar dari kamar itu. 

*** 

Gama terbangun saat matanya merasa silau. Perlahan kelopak matanya terbuka, dan mencoba menajamkan penglihatannya.

"Eeemhhh.." posisi tubuhnya yang tertelungkup, Gama meregangkan tangannya. Namun saat menyadari jika ia tidak tidur di kamarnya, Gama segera mengubah posisinya menjadi duduk.

"Mengapa aku bisa ada di sini? Ini bukan kamarku," bingung Gama lalu memendarkan pandangannya ke sekeliling. Seketika Gama merengutkan wajahnya saat ingat jika kamar yang ditempatinya saat ini adalah kamarnya Hera. 

Jadi semalam Gama berada di paviliun?!

"Hera?" Gama tercenung membuka mulutnya. Matanya melihat ada noda merah yang mengotori sprei berwarna putih itu. Itu darah! 

Pelan tapi pasti Gama mulai mengingat dengan jelas apa yang sudah ia lakukan semalam pada Hera. Gama masuk ke dalam kamar Hera dalam keadaan mabuk, lalu menyentuhnya dengan paksa. Bahkan Gama masih ingat dengan jerit dan teriakan Hera yang memenuhi gendang telinganya.

Pakaian milik gadis itu sudah berserakan dengan keadaan terkoyak di lantai. Sedangkan tubuh Gama sendiri tampak polos seperti bayi. Menguatkan keyakinannya jika semalam ia memang telah benar-benar melakukan itu.

"Sial! Sialan kau Gama!" maki Gama pada dirinya sendiri setelah ia mengenakan kembali semua pakaiannya. Gama memukul pahanya dengan kepalan tangan.

"Aku menyakiti Hera. Aku sudah menyakitinya semalam. Tidak seharusnya aku melampiaskan amarahku pada Hera. Padahal aku mabuk berat karena marah menerima kenyataan tentang perselingkuhan Karin. Hera pasti marah padaku. Di mana dia saat ini?" Gama mengetuk pintu kamar mandi. Mengira Hera ada di sana.

Tapi tak sedikitpun terdengar suara gemercik air, Gama membuka pintunya dan ternyata memang kosong. Tidak ada siapapun di sana selain hanya selimut tebal yang teronggok begitu saja di lantainya.

"Hera? Kau di mana? Hera?" Gama memanggil Hera, tapi tak ada sahutan. 

Melihat ke arah ranjang, matanya menemukan secarik kertas yang terletak di atas nakas. Tangan Gama meraihnya, lalu ia membaca tulisan yang tertera di sana.

'Terimakasih untuk penghinaanmu tadi malam. Aku meminta cerai darimu. Aku pergi. Jangan mencariku!' 

Begitulah isi tulisan di kertasi itu. Membuat hati Gama berdenyut. 

"Hera pergi?" dan itu karena ulahnya.

Segera saja Gama membuka lemari, memeriksa isi di dalamnya. Dan seketika itu bahunya turun seiring dengan helaan napas pelan yang lolos dari bibirnya. Sebab yang Gama lihat lemari itu kosong. Tidak ada pakaian milik Hera selain hanya bekas baju tidur wanita itu yang sudah robek dan berserakan di atas lantai.

"Jadi dia benar-benar pergi meninggalkan rumah ini. Dia melarikan diri!" dada Gama naik-turun. Mukanya memerah menahan marah.

Kini langkahnya yang tegas berjalan keluar dari kamar Hera, Gama menghampiri satpamnya yang biasa menjaga pintu gerbang.

"Pak Sardi!" suara baritone itu terdengar menggelegar, membuat Pak Sardi yang sedang duduk dan minum kopi di pos jaga, terlonjak kaget dan terburu-buru mendekati Gama.

Ada apa dengan tuannya itu? Gama tidak pernah berteriak memanggil pekerjanya dengan suara sekeras itu.

"Iya, Tuan? Tuan Gama memanggil saya?" tanyanya dengan kepala menunduk ke bawah. Menatap pada sepatunya sendiri.

"Apa saja yang kau lakukan semalam? Hah? Sampai-sampai Hera bisa kabur dari rumah ini?!" sentak Gama. Membuat Pak Sardi melebarkan matanya.

"Nyonya Hera kabur, Tuan?" 

"Jangan bertanya seperti orang bodoh! Kau tahu kalau aku bisa saja memecatmu saat ini juga! Hera melarikan diri. Dan hanya kau yang memegang kunci gerbangnya! Bagaimana mungkin kau bisa kecolongan seperti ini? Aku membayarmu dengan upah yang banyak. Tapi kerjamu tidak becus!" ketus Gama melemparkan tatapan menusuknya pada Pak Sardi.

Pak Sardi yang menunduk, menelan ludahnya kasar saat melihat kedua tangan tuannya itu mengepal dengan erat. Hingga jemarinya memutih. 

Dalam hati Pak Sardi memohon, semoga saja kemarahan Gama tidak akan membuat tinjuannya melayang ke arah wajahnya. Bisa babak belur Pak Sardi yang sudah paruh baya itu jika dipukul oleh tangan yang sebesar dan selebar milik Gama.

"Maaf, Tuan Gama. Tadi pagi, kunci gerbang itu tiba-tiba saja sudah tergantung di dalam gembok. Seperti ada yang membukanya, padahal biasanya saya selalu menyimpan kuncinya di dalam saku baju," papar Pak Sardi dengan wajah takut. Kedua tangannya bergetar di depan tubuh. Kepala itu masih setia menunduk, mana berani satpam itu menatap mata Gama yang sedang berapi-api. 

Gama mengetatkan rahangnya. Ia menarik kesimpulan jika Hera melarikan diri dengan diam-diam mencuri kunci gerbang dari saku baju Pak Sardi yang sedang tertidur. 

'Ke mana kau, Hera..' desah Gama dalam hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status