Share

Hera Pergi?

 “Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?” 

Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.

Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.

Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.

“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.

Jessy juga menatap Gama yang wajahnya terlihat tak bersemangat hari ini. “Iya, Gama. Ceritakan apa yang sudah terjadi? Mengapa Hera pergi?” tanya Jessy menatap lurus pada anak semata wayangnya. 

Bukannya menjawab, Gama mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari dalam saku kemejanya, lantas ia memberikannya pada Jessy yang langsung menerimanya.

Setelah membaca kertas itu, tangan Jessy bergetar pelan. Gurat cemas dan sedih bercampur di wajahnya, sementara Darma langsung melayangkan tatapan marah pada Gama. 

“Hera meminta cerai dariku. Semalam aku mabuk dan memasuki kamarnya, lalu menyentuhnya dengan paksa,” jujur Gama. Dengan wajah datar, namun Jessy masih bisa melihat raut sedih di sana.

“Jelaskan semuanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian. Jangan membuat kami bingung, Gama! Kau bilang kau memaksa menyentuh Hera? Mendatangi kamarnya? Bukannya kalian ini suami istri dan kamar kalian adalah milik bersama. Lalu mengapa Hera bisa pergi jika kamu hanya menyentuhnya? Itu adalah hakmu sebagai suami. Papa sungguh tidak mengerti!” Darma kembali mendesak. Ia ingin mendengar sedetil-detilnya dari mulut Gama.

Sebelum menjawab, Gama menyugar rambutnya lalu mengacaknya pelan. Tampak sekali jika ia sedang gusar saat ini. Setelah menelan ludahnya kasar, barulah Gama bicara.

“Sebenarnya… aku dan Hera tidak pernah tidur satu kamar selama setahun pernikahan kita. Karena Hera tinggal di paviliun dan aku tidak pernah menyentuh Hera sebelumnya. Tapi tadi malam, aku mabuk berat dan memaksanya dengan kasar. Lalu paginya aku melihat Hera sudah tidak ada. Pakaiannya di lemari sudah kosong. Dan dia meninggalkan sebuah surat di atas nakas,” papar Gama menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya yang tentu saja langsung terkejut.

Jessy membekap mulutnya tak percaya. Kepalanya menggeleng lemah. Sedangkan rahang Darma mengetat, lalu tanpa dapat ditahan, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Gama.

PLAK!

“Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan pada Hera, Gama! Kau menyakitinya. Menghancurkan perasaannya. Pantas saja dia sampai pergi dari rumah ini pasti karena dia tidak tahan memiliki suami yang tidak bertanggung jawab sepertimu!” sentak Darma dengan keras. Hingga urat-urat lehernya bertonjolan. Andai Jessy tidak memegangi lengannya, pasti saat ini Darma sudah melayangkan tinjuannya di wajah Gama yang hanya bisa diam.

“Papa menikahkanmu dengan Hera karena Papa berharap kau bisa membahagiakan dia. Hera wanita yang baik. Papa ingin kau berubah setelah kalian menikah. Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah menempatkan dia di paviliun. Itu tempat para pelayan. Bagaimana bisa kau berpikir untuk menyuruh Hera tinggal di sana? Di mana akal sehatmu, Gama?!” lanjut Darma dengan berapi-api.

Dadanya naik-turun selaras dengan emosinya yang nyaris tak tertahankan. 

Jessy memejamkan mata dan menaruh keningnya di pundak Darma, ia menangis mengingat apa yang terjadi pada Hera.

“Kasihan Hera… entah di mana dia sekarang. Apa dia kembali ke rumah peninggalan orang tuanya,” desah Jessy bertanya-tanya.

Gama menggeleng pelan. “Orang-orangku sudah mengecek rumah itu. Dan mereka bilang katanya Hera sudah menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya dua bulan yang lalu. Sekarang rumah itu sudah ditempati oleh orang lain.”

Mendengar itu, membuat Jessy semakin sedih. Kenapa Hera memilih pergi ke tempat lain? Jessy menyesali Hera yang seharusnya datang ke rumahnya dan meminta perlindungan darinya. Karena Jessy bukan hanya menganggap Hera sebagai menantu, tapi juga seperti putrinya sendiri.      

Darma mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, gurat wajahnya tampak bingung dan khawatir. Dalam hati Darma meminta maaf pada ayahnya Hera yang telah meninggal. Sebab ia tak bisa menjaga Hera dengan baik. 

Gama malah membuat Hera pergi meninggalkan rumah.

“Paa.. ayo cari Hera, Pa! Cari Hera! Kita harus segera menemukan dia. Dia pasti sedang sendirian saat ini. Mama khawatir pada Hera, Paa..” Jessy terisak, menarik-narik lengan kemeja Darma. 

Gama yang melihat ibunya menangis, hanya bisa mendesah pelan kemudian menelan ludah. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Enggan melihat air mata Jessy yang membuat ulu hatinya sakit.

Darma mengangguk, merangkul pundak kiri Jessy. “Iya, Ma. Kita pasti akan segera menemukan Hera. Pasti. Mama jangan khawatir. Papa yakin kalau Hera akan baik-baik saja. Tuhan akan melindunginya,” jawab Darma berusaha untuk menenangkan istrinya.

Darma mengerti bagaimana perasaan Jessy. Karena sejujurnya, ia pun merasakan kecemasan yang sama. Kepergian menantunya itu membuatnya khawatir.

“Paa… ayo cari Heraa,” desah Jessy sebelum kemudian gelap menelannya. Ia jatuh pingsan dan tubuhnya langsung ditahan oleh Darma juga Gama.

“Mama!” mereka memekik terkejut. Menepuk-nepuk pipi Jessy pelan, mencoba menyadarkan wanita paruh baya itu. “Ma! Sadar, Ma!” 

“Pa! Sebaiknya Mama dibawa ke kamar. Papa telpon dokter saja!” usul Gama. Meski masih kesal, tapi Darma langsung mengangguk sebab ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Jessy.

Dengan tenaganya yang kuat, Gama menggendong tubuh Jessy dan membawanya ke kamar yang biasa ditempati oleh kedua orang tuanya jika sedang menginap. Sementara Darma melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, yaitu menghubungi dokter.

*** 

“Heraaa..” Jessy bergumam pelan setelah ia kembali sadar. Darma yang sejak tadi duduk di samping Jessy yang berbaring, menggenggam tangan kanan istrinya dan menekannya ke dada.

Gama hanya berdiri seperti patung di samping tempat tidur, menyaksikan dalam diam. Meskipun Gama tidak bisa memungkiri jika sebenarnya ia pun merasa khawatir pada Hera.  

Entah dimana wanita itu berada saat ini. Orang-orang suruhannya belum memberi kabar sama sekali.

“Ma? Tenang dulu. Dokter berpesan, katanya Mama jangan terlalu stress,” katanya lembut. Sambil mengusap rambut Jessy. 

Apa yang Darma katakan memang benar. Tadi Dokter datang dan memeriksa Jessy lalu menyarankan agar Jessy jangan terlalu banyak berpikir yang berat-berat juga harus istirahat yang cukup.

“Kasihan Hera, Pa. Di mana dia?” Jessy kembali menangis dan Darma mencoba menenangkannya lagi.  

 Melihat itu, Gama mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu membuang napasnya pelan. Tak ingin melihat tangisan ibunya lagi, Gama memilih menarik diri dari sana dan melangkah keluar.

Langkahnya terhenti di pintu yang menghadap kolam renang yang cukup luas di depannya. Gama menyenderkan sebelah lengannya pada kusen, matanya menatap nanar pada kolam renang itu dengan pikiran yang melayang entah kemana.

“Aku tahu aku bersalah. Seharusnya kau tidak pergi, Hera. Aku lebih suka kau memarahiku ataupun menamparku sesukamu, bukan pergi dan meninggalkan kesedihan bagi banyak orang seperti sekarang,” gumam Gama. Rupanya ia sedang memikirkan Hera.

Bohong jika Gama tidak menyesal dan merasa bersalah. Bahkan saat ini Gama sangat mengutuk kebodohannya karena telah menyakiti Hera. Gama yakin, tadi malam Hera pasti merasa jika ia diperlakukan tak ubahnya seperti seorang pelacur. Padahal Gama tidak bermaksud begitu.

Karena kekesalannya pada Karin serta pengaruh alkohol, membuat Gama kehilangan akal sehatnya sampai ia melampiaskannya pada Hera yang akhirnya membuat Hera pergi. 

“Maafkan aku, Hera…”

Saat Gama sedang melamun dan menyelami pikirannya, Darma tiba-tiba menepuk pundak Gama dari belakang, membuat Gama terhenyak dan menoleh.

“Papa?!” Gama menegakan tubuh, ia tidak tahu sejak kapan Darma berdiri di belakangnya.

“Apa kau menyesali perbuatanmu?” tanya Darma. Dan Gamma menjawabnya dengan anggukan pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status