Kini langkah Gama sudah memasuki ke dalam paviliun. Paviliun itu tampak sepi. Karena semua orang yang tinggal di dalamnya sudah tertidur di kamar mereka masing-masing.
Tujuan Gama adalah kamar Hera. Entah iblis darimana yang menuntunnya untuk pergi ke kamar wanita itu. Tapi Hera adalah istrinya.
KLEK!
Tangan Gama membuka pintu kamar Hera secara perlahan. Dilihatnya wanita itu sedang terlelap di atas ranjang. Dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke pinggangnya.
Dalam cahaya remang lampu tidur, Hera tampak begitu cantik. Rambut indahnya terurai menutupi bantal. Dan Gama melangkah makin dekat, berdiri di samping ranjang sembari matanya menatap Hera dengan pandangan berkabut penuh gairah.
"Hhhhh.." Gama mendesah.
'Mengapa dia terlihat begitu cantik, terlebih saat sedang tidur dengan tenang seperti ini?' batin Gama.
Setahun menjadi suami Hera, baru kali ini Gama melihat istrinya itu tertidur pulas di depannya. Gama tidak pernah menemukan bidadari secantik Hera. Gama akui, bahkan kecantikan Hera melebihi Karin.
Sial! Memikirkan Karin membuat Gama mengepalkan tangannya kuat.
"Dia sudah tidak pantas untuk sekedar mampir dalam pikiranku!" bisik Gama mengetatkan rahangnya.
Pandangannya kembali tertuju pada Hera, wajah polos itu membuat darah dalam tubuh Gama berdesir hebat. Bibir ranum milik Hera yang berwarna pink natural berhasil membangkitkan sesuatu dalam tubuh Gama. Gairahnya sudah tak tertahankan lagi.
Maka Gama segera membuka kancing kemejanya dengan cepat. Ia menelanjangi tubuh bagian atasnya. Membuat otot-otot kekarnya tampak jelas sekarang.
Tangan Gama membelai rambut Hera, lantas mengusap bibirnya yang mungil. Sedetik kemudian, Gama langsung memagut bibir itu dengan bibirnya.
"Eenghh.." gerakannya membuat tidur Hera terganggu. Matanya terbuka perlahan saat merasa ada sesuatu yang berat dan menindihnya.
Seketika itu Hera terkejut melihat Gama yang sedang mencumbunya. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh Gama yang mabuk hingga jatuh ke sebelahnya.
"Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau datang ke kamarku, Gama! Aku minta pergi dari sini sekarang juga!" Heran turun dari ranjang, ia berdiri menatap Gama lalu mengarahkan telunjuknya ke pintu yang tertutup.
Meski sedang mabuk, tapi Gama masih sadar apa yang didengar dan dilakukannya. Ia mengangkat sebelah alisnya pada Hera.
"Apa hakmu mengusirku? Apa kau lupa kalau aku lah pemilik paviliun ini?" sindir Gama membuat bibir Hera terkatup rapat.
Gama benar. Paviliun ini memang miliknya. Tapi bukan Hera namanya jika ia kalah dengan ucapan lelaki itu.
"Aku tahu. Tapi bukan berarti kau bisa masuk ke kamar ini seenaknya dan menciumi wanita yang sedang tertidur?" geram Hera.
"Jadi kau mau aku menciummu dalam keadaan sadar? Begitu?" Gama malah semakin menantang Hera. Ia pun bangkit dari ranjang, membuat Hera memundurkan langkahnya dan menatap Gama dengan wajah waspada.
Seakan Gama adalah binatang buas yang bersiap untuk menerkamnya.
"Baik. Aku akan melakukannya, Hera. Aku akan melakukannya kalau itu maumu," kata Gama sebelum ia berhasil menarik tangan Hera hingga dada mereka saling bertabrakan. Tangan kekarnya mendekap punggung Hera begitu erat. Sementara Hera berusaha melepaskan diri dengan usahanya yang sia-sia. Apalah Hera dibanding Gama yang jelas-jelas memiliki postur yang lebih tinggi dan besar itu.
"Lepaskan aku! Apa yang kau inginkan?!" Hera berteriak panik.
"Kau pasti tahu apa yang kuinginkan. Apa kau tidak merasa milikku yang sudah bersiap untuk memasukimu?" bisik Gama di atas bibir Hera. Karena Gama menekan miliknya ke perut Hera. Membuat Hera menggeram kesal.
"Bajingan!" maki Hera bersungut-sungut. Ia masih berusaha melepaskan diri. Tapi Gama malah melempar tubuhnya ke atas ranjang.
Gama bahkan tak memberikan Hera kesempatan sedetikpun untuk bangkit dan melepaskan diri, karena setelahnya Gama menyusul menindih tubuhnya, lalu tangannya Hera ia tahan di kedua sisi kepala wanita itu.
"Lepaskan aku! Jangan berpikir untuk menyentuhku atau aku akan berteriak!" diambang ketakutannya, Hera mengancam.
Namun Gama membalasnya dengan dengkusan pelan dan senyum mengejek. "Teriak saja sampai suaramu serak dan habis. Tidak akan ada satu orangpun yang menolongmu. Yang ada kau malah akan ditertawakan karena tidak ada yang namanya suami memerkosa istrinya sendiri." jawaban Gama sangat tepat. Membuat Hera menelan ludahnya kasar.
Tidak akan ada yang membantunya. Semua pelayan di sini pun tahu jika Hera adalah istri sah dari Tuan mereka. Kalaupun Gama datang ke kamar Hera dan memaksa menyentuhnya, siapa yang berani mengatakan itu sebagai pemerkosaan?
Senang melihat Hera tercenung dengan ucapannya, Gama mengangkat sebelah ujung bibirnya. Selanjutnya ia menarik gaun tidur yang Hera kenakan hingga terdengar suara robekan kain.
SREETTT!
"Tidak! Gama! Jangan lakukan ini. Kau tidak bisa melakukannya!"
"Kenapa tidak bisa? Aku suamimu, bukan? Ini 'kan yang kau inginkan? Kau dan wanita itu sama saja. Sekarang diam dan lakukan tugasmu sebagai istri!" bentak Gama. Lalu menyumpal teriakan Hera dengan bibirnya. Memagutnya tanpa ampun.
Hera menangis. Ia berusaha memberontak dengan tenaganya yang kian melemah. Tetapi semua itu tak membuat Gama menghentikan aksinya. Ia malah menggerakkan tangannya, bermain dengan bagian atas tubuh Hera.
Gama menulikan telinga ketika Hera menjerit memintanya berhenti. Gama sedang berada di puncak kekesalannya pada mantan istrinya, tapi ia malah datang pada Hera dan melampiaskannya pada wanita itu.
"Tidaaak! Jangan!" Hera memekik ketika milik Gama mulai memasukinya, terasa sakit. Membuat tubuhnya serasa akan dibelah.
Gerakan lelaki itu sempat terhenti sejenak saat ia merasakan dinding kewanitaan Hera yang sempit. Hera masih perawan. Tapi selanjutnya Gama kembali menggeram, ia tetap mendorong miliknya masuk dan membuat kepala Hera mendongkak dengan air mata yang membasahi kedua pelipisnya.
Hera merasa terhina. Sebenarnya jika Gama datang dan memintanya baik-baik. Hera pasti akan memberikannya karena ia sadar dengan kewajibannya sebagai istri.
Tapi Gama datang dengan paksaan dan perlakuannya yang membuat Hera sakit hati. Sakit di fisiknya tak seberapa dibanding yang dirasakan oleh hatinya saat ini. Hera membenci Gama. Ia tidak menyangka akan jatuh cinta pada lelaki yang telah menghinanya sampai serendah ini.
Gama kembali menggeram memejamkan mata ketika ia sampai pada pelepasannya. Setelah beberapa saat, Gama kemudian menjatuhkan diri di samping Hera dan ia pun jatuh tertidur.
Hera bisa mencium aroma alkohol dari mulut Gama. Lelaki itu dalam keadaan mabuk berat.
Dengan susah payah, Hera beringsut duduk dan menangis. Menahan sakit pada area kewanitaannya. Ia menatap benci pada Gama yang sudah terlelap dengan wajah puas.
"Hari ini aku menyesal telah mencintaimu. Hari ini aku menyesal karena sudah menuruti permintaan terakhir ayahku untuk menikah dengan lelaki sekejam dirimu, Gama. Aku membencimu!" isak Hera, lalu mengusap air mata yang jatuh ke pipinya.
Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya."Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu."Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya.Setengah jam berlalu, Her
“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.Jessy juga mena
Riak wajah Darma yang tadi merah padam karena kemarahannya pada Gama, kini rona itu sudah menghilang. Darma hanya menatap putranya dengan raut lelah. Sementara tangannya kembali menepuk pundak Gama, bedanya kali ini mereka sudah berdiri saling berhadapan.“Cari Hera sampai ketemu. Kau harus menemukannya. Bagaimanapun dia istrimu. Meskipun sebenarnya Papa sangat kecewa padamu, Gama. Tapi semuanya sudah terjadi. Mungkin ini salah Papa karena sudah memaksamu menikah dengan Hera padahal kau tidak mencintainya. Jika nanti Hera ketemu, Papa pasrah kalaupun nantinya kalian akan memilih berpisah. Mungkin pernikahan kalian memang tidak bisa dipertahankan meski sebenarnya Papa sangat menyayangi Hera dan merasa tidak enak dengan ayahnya yang sudah tiada.”Darma berusaha berpikir bijak. Ia tidak lagi berapi-api memarahi ataupun menampar Gama. Darma pikir sedikit banyak ia juga berperan dalam hal ini.Karena Darma lah yang sudah memaksa Gama untuk menikahi Hera.
Steve tersenyum.“Kalau begitu, aku ucapkan selamat bergabung dengan Butik Anderson. Semoga kau bisa bekerja dengan baik,” ucap Steve sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya dan mengedarkan pandangan pada para karyawan yang berdiri menyambutnya.“Setelah ini kalian semua bisa kembali bekerja. Terimakasih untuk sambutan kalian,” tutup Steve lalu ia melanjutkan langkahnya memasuki butik yang sangat ia rindukan.Setelahnya Steve masuk, semua karyawan wanita langsung menjerit tertahan dan mengepalkan tangan mereka dengan gemas. Menatap punggung lebar lelaki itu yang masuk ke dalam lift. Ruangan boss memang berada di lantai tujuh. Sementara butik ini memiliki tujuh lantai.“Tuan Steve semakin tampan!”“Style rambutnya berubah, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun!”“Ya Tuhan! Terimakasih sudah menciptakan lelaki setampan Tuan Steve di dunia ini.”Hera meringis
Tiba di dalam toilet wanita, Hera segera memuntahkan cairan dari perutnya. Meskipun mulutnya sudah tidak memuntahkan apapun, anehnya ia tetap merasa mual.“Tuan Steve?” desah Hera lemas menatap pada kaca, dimana pantulan tubuh jangkung Steve ada di sana.“Apa kau masih ingin muntah?” tanya Steve. Rupanya tadi ia mengikuti Hera hingga ke toilet wanita.Tidak ada yang akan berani menegur Steve meski ia masuk ke toilet khusus wanita karena Steve adalah pemilik butik ini.Hera mengangguk lemah. Lalu kembali menunduk di atas wastafel. Sedangkan Steve membantu memijit tengkungnya.Sampai akhirnya rasa mual itu mereda, Hera membasuh mulutnya dan ia berbalik menatap Steve.“Hera, sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit. Aku tahu keadaanmu sedang tidak sehat,” usul Steve. Ia menatap cemas pada Hera yang betul-betul mengkhawatirkan.Sebenarnya bukan hari ini saja Hera muntah-muntah
“Selamat pagi, Tuan Steve!” sapa Velia yang melihat Steve baru saja memasuki butik dan berjalan melewatinya.Hera yang sedang melayani pelanggan yang memesan rancangannya, melarikan bola matanya ke arah Steve yang ternyata juga sedang menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Sampai membuat Hera merasa heran.‘Mengapa Tuan Steve menatapku seperti itu? Apa aku sudah melakukan salah padanya?’ gumam Hera bertanya-tanya.Sementara itu, pandangan Steve turun perlahan dan tertumbuk pada perut Hera yang masih datar.‘Hera sedang hamil. Kupikir dia masih gadis,’ desah Steve dalam hati.Steve menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta pada wanita yang telah menikah dan akan memiliki anak. Ia memang tidak mengetahui jika sebenarnya Hera melarikan diri dari suaminya.Melihat Steve yang pergi begitu saja setelah menghentikan langkahnya sebentar di hadapan Velia dan Hera, membuat kedua wanita itu saling bersit
“Apa?! Jadi sebenarnya Hera tidak tinggal dengan suaminya di Singapura? Orang tua Hera sudah meninggal? Lalu, apa suaminya tahu kalau Hera hamil?” Steve melebarkan mata setelah mendengar ucapan Velia.Ya! Karena merasa penasaran, maka Steve mencari informasi tentang Hera pada Velia. Yang ia tahu, Velia lah yang paling dekat dengan Hera di sini.Velia menggeleng pelan. Ia duduk di depan Steve yang duduk di seberangnya. Steve sengaja mengajak Velia makan di restoran siang ini demi bertanya banyak hal mengenai Hera.“Hera sering bercerita padaku kalau ia kabur dari suaminya. Katanya, mereka sudah menikah selama satu tahun. Tapi pernikahan mereka tidak berjalan lancar seperti suami-istri kebanyakan. Hera menikah dengan lelaki yang masih mencintai mantan istrinya yang sudah meninggal. Dia bahkan disuruh tinggal di paviliun. Tidak satu atap dengan suaminya. Bayangkan, Tuan! Bagaimana perasaan Hera. Aku heran, ada suami sekejam itu di dunia ini,
Hera hanya mengangguk. Lalu membalasnya dengan senyum tipis. Sebelum ia kembali mengarahkan pandangan pada Mentari yang masih asyik dengan kedua bonekanya. Boneka pemberian dari Steve!“Mama!” rupanya bocah perempuan itu baru menyadari jika Hera berdiri tak jauh darinya, memerhatikannya.“Lihat kucing! Kelinci! Mamaku sudah datang. Mama baru saja membereskan bajuku ke dalam koper. Nanti aku akan ajak kalian naik pesawat terbang. Hore!” seru Mentari bertepuk riang.Hera dan Steve saling menoleh lalu tersenyum. Tak ingin terlalu lama membuat Mentari bermain sendirian, Hera pun menghampirinya dan duduk di depan Mentari.“Memangnya, kau mau mengajak mereka juga naik pesawat, sayang?” tanya Hera menatap wajah lucu Mentari.Bocah itu mengangguk semangat. Membuat kuncir rambutnya bergerak-gerak.“Iya, Ma. Si kucing dan kelinciku harus dibawa. Katanya mereka juga mau melihat pesawat seperti aku.