Share

Bab 7

"Bang, Saya minta izin untuk berbicara secara pribadi berdua saja dengan Bang Dewa, boleh?"

Embun memindai Revan mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya Revan marah. Tetapi dia memang harus menjelaskan tentang status hubungannya dengan Revan pada Anak Dewa. Sekaligus juga memperbaiki hubungan dengan status baru di antara dirinya dan Anak Dewa sekarang.

"Anda ini seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan saja. Ingatlah, Bung. Jangan menggenggam sesuatu terlalu erat. Karena takutnya ia nya malah mati atau hancur, karena tidak diberi celah sama sekali untuk bernafas.

Lagi pula jodoh, maut dan rezeki itu urusan Allah. Bisa saja orang yang hari ini segar bugar sehat walafiat, tapi besok pagi telah terbujur kaku di bawah tanah. Maka berbuat baiklah agar sedikit mempunyai tabungan amal ibadah."

Anak Dewa menyindir seolah-olah tengah menasehati. Padahal maksud hatinya adalah menyumpahi. Embun melirik Anak Dewa melalui ujung mata. Kepalanya memang tidak bergerak, hanya matanya saja yang bergerilya. Embun kasihan melihat wajah babak belur Anak Dewa dan beberapa luka dipelipis dan sudut bibirnya. Embun bemaksud mengobati luka-lukanya. Bagaimanapun, Anak Dewa itu berstatus kakaknya. Tepat pada saat itu Anak Dewa juga melirik ke arahnya. Tatapan mereka saling bertabrakan di udara pada satu titik. Saling menatap penuh kerinduan. Sebelum akhirnya Embun yang pertama sekali memalingkan wajahnya. Ia tidak enak saat mendapati mata suaminya terlihat mengeluarkan percik api. Entah marah karena dicurangi atau cemburu. Embun masih tidak bisa menerjemahkan isi hati suaminya. Sifat suaminya sama sekali tidak diketahuinya. Bersama Revan ia merasa seperti orang buta. Selalu saja menebak-nebak dan terus meraba-raba. Bagi Embun Revan itu ibarat Teka Teki Silang. Satu jawaban dia tahu, tapi jawaban lainnya selalu menunggu untuk dilengkapi lagi.

Revan menatap interaksi spontan dua arah antara istrinya dan mantan pacarnya itu dengan geram. Rasa-rasanya dia tidak rela untuk membiarkan Embun berduaan saja dengan Anak Dewa. Di depan matanya saja mereka berdua masih berusaha saling curi-curi pandang. Apa kabar jika mereka saling berduaan saja? Bisa-bisa mereka berdua bukan hanya sekedar mencuri-curi pandang lagi. Tetapi langsung mencuri-curi ciuman. Bukankah sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu sensasinya luar biasa sekali? Sepertinya dia tidak boleh meluluskan permintaan istri primitifnya itu. Bisa rugi bandar dia!

"Tidak bo-"

"Revan. Jangan egois. Biarkan Embun menyelesaikan semua persoalan di antara mereka berdua secara dewasa. Jangan bersikap seperti anak kecil."

Gilang memotong ucapan Revan, yang sebelumnya ingin melarang Embun berbicara berdua secara pribadi dengan Anak Dewa.

"Kalian bisa berbicara di ruang meeting saja. Di sana tempatnya lebih private. Kalian berdua sudah sama-sama dewasa. Saya harap kalian berdua bisa menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin dan bijaksana. Ayo saya akan mengantar kalian menuju ruang meeting."

Gilang berjalan terlebih dahulu, dikuti Embun, Revan serta Anak Dewa. Wajah Revan dan Anak Dewa masih sama-sama penuh luka. Embun berencana untuk mengobatinya setelah pembicaraannya dengan Anak Dewa selesai. Gilang menghentikan langkahnya setelah tiba di ruangan meeting. Tiga orang yang mengekor di belakangnya juga ikut menghentikan langkah.

"Nah. Kalian berdua berbicaralah secara leluasa di sini. Ayah tinggal dulu." Gilang menoleh pada Revan sambil berkata," ayo Revan. Kita biarkan istrimu dan Anak Dewa menyelesaikan urusan mereka masing-masing."

Mau tidak mau Revan  mengikhlaskan istrinya untuk berduaan saja bersama mantan pacarnya. Ayahnya kalau sudah berbicara, sulit untuk dibantah.

"Buka pintunya lebar-lebar, Embun. Kalau ada apa-apa langsung teriak saja. Abang menunggu di depan pintu," dengkus Revan ketus. Ia kemudian mengekori langkah ayahnya yang sudah terlebih dulu berjalan keluar.

Kini di ruangan luas yang biasanya dipakai khusus untuk meeting para petinggi-pertinggi perusahaan terasa hening. Embun tahu, ayah mertuanya sengaja meminjamkan ruangan ini karena sepertinya mereka butuh waktu yang agak lama untuk saling berusaha

meluruskan benang kusut ini.

"Apakah Adek bahagia selama menjadi istri lelaki itu, my morning dew?"

Anak Dewa menatap lekat-lekat wajah wanita yang dulu diyakininya sebagai tulang rusuknya yang hilang itu.

Embun terdiam. Dia sungguh-sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Karena dia tahu jawaban apapun yang akan diucapkannya, tetap akan menyakiti hati Anak Dewa.

Akhirnya Embun membuat satu keputusan. Dia akan mencoba bersikap husnuzon daripada suuzon terhadap Revan. Bagaimanapun Revan ini sekarang sudah menjadi suaminya. Tidak baik apabila dia menyebarkan tentang masalah rumah tangga mereka. Karena sebaik-baiknya istri adalah dia yang mampu menjaga lisannya terhadap rahasia rumah tangganya, dan tidak menyebarkannya kepada orang lain, siapapun itu. Bismillahirrahmanirrahim!

"Adek bahagia, Bang. Sejauh ini semua baik-baik saja. Insya allah ke depannya Adek juga berharap semuanya tetap dalam keadaan baik-baik saja. Adek mohon doanya ya, Bang?"

Embun memindai Anak Dewa mulai meremas-remas rambutnya. Itu adalah salah satu ciri khasnya jikalau ia sedang berpikir atau sedang memendam rasa. Sepertinya Anak Dewa tidak puas dengan jawabannya.

"Adek bisa berbahagia walaupun dengan laki-laki yang bukan Abang? Adek sudah bisa membuang rasa terhadap Abang begitu saja setelah semua hal yang kita lalui bersama? Adek bersungguh cakap? Janganlah telunjuk lurus, kelingking bekait."

Anak Dewa masih saja berusaha mencari kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan oleh Embun. Dia mengenal Embun seperti halnya dia mengenal dirinya sendiri. Embun bukan orang yang gampang mendua hati. Bagaimana mungkin dia bisa hidup berbahagia dengan orang yang tidak dia cintai sama sekali.

"Bang, Adek tahu bagaimana perasaan Abang saat ini. Perasaan Adek pun kurang lebih sama. Tetapi pernahkan Abang coba berpikir mengapa semua ini bisa terjadi? Mungkin ini semua memang sudah menjadi kehendak Allah. Kita manusia hanya bisa merencanakan bukan? Karena yang menentukan semuanya tetaplah Allah subhana wa'ataala.

Pasti ada sesuatu maksud dan tujuannya maka akhir kisah kita menjadi seperti ini. Kemarin-kemarin Adek juga marah, kecewa dan tidak terima kenapa semua bisa menjadi seperti ini. Adek bahkan sampai menyalahkan bepak dan juga Tuhan. Hingga akhirnya adek menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tidak adek ketahui. Pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat Adek tidak berani memprotes Allah atas permasalahan yang silih berganti datang.

Adek mencoba terus untuk tidak suuzon dengan takdir yang digariskan. Karna Allah sudah menakar diri setiap hambaNya. Mulai hari ini Abang mengganggap Adek sebagai seorang adik saja dan bukan lagi sebagai seorang kekasih, boleh?"

Embun menatap wajah kecewa Anak Dewa dengan hati remuk redam. Tetapi dia tahu ini adalah yang terbaik bagi mereka semua. Dia sudah menjadi milik orang. Anak Dewa harus belajar untuk melepaskan dan mengikhlaskan.

Anak Dewa terdiam lama. Kini dia berusaha menerjemahkan cinta kearah yang berbeda. Cinta yang mendahulukan kebahagiaan orang yang dikasihi, bukan cinta yang semata ingin memiliki. Sekalipun untuk itu, dia harus membayarnya dengan kesepian dan rasa kehilangan sepanjang hidupnya.

Mencintai angin harus menjadi siut...

Mencintai air harus menjadi ricik...

Mencintai gunung harus menjadi terjal...

Mencintai api harus menjadi jilat...

Mencintai cakrawala harus menebas jarak...

Mencintaimu harus menjadi aku.

"Asal Adek bahagia, Abang rela melakukan apa saja. Termasuk membunuh cinta Abang dan mencampakkankannya ke semak belukar. Semoga saja kelak dia bisa kembali tumbuh di hati yang lain. Walaupun Abang merasa, itu adalah hal yang hampir benar-benar mustahil."

===================

"Kita mau ke mana sih ini Mbak Retha, Mbak Clarita? Saya belum pernah pergi ke tempat yang seperti ini?"

Embun kebingungan saat Margaretha dan Clarita tiba-tiba datang ke rumah mertuanya. Mereka meminta izin untuk membawanya ke sebuah mall terkenal di ibukota. Sebenarnya Embun sama sekali tidak mau ikut pergi berjalan-jalan dengan mereka berdua. Tetapi dia tidak enak karena mereka berdua yang terus saja membujuknya. Clarita bahkan berjanji pada ibu mertuanya, untuk membantunya beradaptasi dengan dunia modern. Salah satunya tentu saja dengan cara pergi berbelanja.

Apalagi minggu depan dirinya sudah mulai kuliah. Bapak mertuanya telah mendaftarkannya pada salah satu universitas ternama negri ini. Pemiliknya adalah Radja Girsang. Sahabat lama ayah mertuanya dalam dunia bisnis. UPH dulunya adalah kepunyaan Firman Girsang, ayah Radja Girsang. Tetapi setelah Pak Firman akan segera pensiun karena usia, maka universitas itu pun menjadi tanggung jawab Radja sepenuhnya. Menurut Pak Gilang, ia sengaja menempatkannya di sana agar Radja sedikit banyak bisa memahami latar belakangnya yang belum begitu terbiasa dengan dunia modern. Dengan adanya Pak Radja di sana, setidaknya bisa membantunya dalam mengawasi segala tindak tanduknya.

Setiba di mall, Embun bingung. Ia tidak pernah ke gedung setinggi itu. Apalagi saat melihat tangga yang berjalan sendiri. Ia ngeri melihatnya.

"Mbak, sa-saya takut naik tangga berjalan itu. Sa-saya tidak pernah naik benda yang seperti itu. Bagaimana cara naiknya, Mbak? Lho... lho... Mbak, kenapa saya ditinggal? Saya takut ini Mbak?"

Embun pucat pasi melihat Retha dan Cla langsung menaiki eskalator tanpa membimbingnya sama sekali. Embun ketinggalan di bawah sana. Karena takut ditinggal, Embun pun mulai mencoba-coba menyentuhkan kakinya pada eskalator yang langsung saja naik ke atas.

Embun menjerit kaget dan ketakutan saat tubuhnya oleng dan nyaris saja jatuh ke lantai. Retha dan Cla menertawainya dari lantai atas hingga terbungkuk-bungkuk melihat keudikannya. Mereka berdua tertawa berurai air mata. Sepertinya mereka berdua puas karena berhasil mengerjainya.

Saat Embun hampir saja terpelanting, sesosok tubuh tinggi besar langsung menahan tubuhnya. Embun yang tadinya telah memejamkan matan, karena merasa antara akan jatuh atau terjepit di tangga berjalan, pelan-pelan mulai membuka matanya. Tatapannya kemudian bertemu dengan sepasang mata coklat madu yang balas menatapnya hangat.

"Jangan takut. Ayo pegang ini. Dan tapakkan kakimu dengan mantap. Berdirilah dengan tegak. Rileks 'kan tubuhmu. Nah, seru kan? Tangganya bisa berjalan sendiri. Dan ini disebut dengan eskalator. Sekarang langkahkan kami kamu selangkah lebih lebar. Nah kamu sudah sampai di atas. Mudah kan, gadis kecil?"

Sosok tinggi besar itu menatap Embun dengan senyum kecil. Dia tidak menertawainya seperti Retha dan Cla atau pengunjung mall yang lainnya. Om ini selain sangat tampan dan harum, juga sangat baik hati. Dia memakai baju pengusaha seperti Revan juga. Om ini tampak seperti pengusaha kaya yang sering ia lihat di televisi.

"Terima kasih ya, Om. Karena sudah mau menolong saya naik tangga berjalan. Nama saya Embun Pagi, Om. Nama Om siapa?"

"Tidak masalah gadis kecil. Mall ini kepunyaan saya. Sudah menjadi tugas saya untuk menjaga keselamatan para pengunjungnya. Oh ya kenalkan nama saya adalah Albert Tjandrawinata. Kamu berasal dari mana Embun?"

"Saya orang rimba yang berasal dari Bukit Dua Belas Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun. Om pernah mendengar tentang Suku Anak Dalam tidak? Saya adalah salah satu dari mereka, Om."

Embun menjawab ramah. Tidak sedikit pun dia malu pada asal muasalnya sebagai orang dari suku primitif negara ini.

"Oh kamu ini berasal dari komunitas Suku Anak Dalam ya?" Albert tersenyum. Pantas saja gadis kecil ini tampak seolah-olah tersesat di dalam mall. Rupanya memang lah dia tidak pernah masuk ke dalam mall sebelumnya.

"Terus dua orang itu siapa?" Albert menunjuk Retha dan Cla yang kini memandangi Embun dengan tatapan tidak suka saat melihatnya menolong gadis kecil itu.

"Mereka sepupu jauh suami saya dan teman lama keluarga. Mereka mengajak saya ke sini katanya ingin mengajari saya tentang kehidupan orang modern."

"Apakah mereka terlihat mau mengajari kamu? Saya malah cenderung melihat kalau mereka sebenarnya ingin mengerjai kamu. Ya sudah, Om pergi dulu. Hati-hati ya."

Embun mengangguk saat Om Albert berjalan cepat dan menjauh darinya. Embun masih terus saja memandanginya hingga sosok itu menghilang dan masuk ke dalam kotak berjalan. Embun menyukainya. Entah mengapa ada satu rasa yang tidak bisa dia jelaskan. Tetapi entah mengapa saat bersama om tadi, Embun merasa nyaman dan terlindungi. Sama seperti saat Embun bersama dengan bepaknya di kampung dulu.

"Hebat ya lo, diem-diem mainannya om-om. Emang ya, bakat alami susah untuk dihilangkan."

Retha mulai lagi menyerangnya. Kadang Embun heran dengan manusia yang seperti Retha ini. Saat di rumah tadi dia bersikap begitu manis terhadapnya. Sampai-sampai ibu mertuanya mengizinkannya untuk mengajaknya berbelanja. Tetapi begitu punggung ibu mertuanya tidak kelihatan, langsung saja sikapnya berubah sinis dan jahat lagi. Apa tidak capek ya bersikap muka dua seperti ini?

"Mbak kok bicaranya seperti itu? Om itu cuma nolongin saya, Mbak. Itu karena Mbak Retha dan Mbak Cla tidak mau mengajari saya naik tangga berjalan itu. Kalau tidak ada om tadi, mungkin saya sudah terjatuh tadi." Embun membela diri.

"Oh begitu. Sekarang lo nyalahin kami. Ya udah kalau begitu lo pulang aja sendiri. Kami mau pergi ke tempat lain saja. Ayo Cla." Retha kemudian mengajak Clarita untuk menuruni eskalator.

"Lho Mbak, kok saya ditinggal lagi? Saya nggak tahu jalan pulang sendiri, Mbak. Mbak tunggu saya, Mbak!" Embun berlari mengikuti Retha dan Clarita. Tetapi sampai di eskalator lagi-lagi Embun tidak berani menuruninya. Embun takut. Dia belum belajar cara menuruni tangga berjalan. Om Albert tadi cuma mengajarinya naik. Embun pun hanya bisa menatap nanar dua sosok cantik yang akhirnya menghilang dalam keramaian. Ya Allah bagaimana caranya ia pulang ke rumah? Embun bingung.

Sudah satu jam Embun berkeliling di mall ini. Tetapi dia sama sekali tidak mempunyai ide untuk menuruni eskalator dan pulang ke rumah. Padahal sebentar lagi jam enam sore. Waktunya Revan pulang dari kantor. Pasti suaminya itu akan ngamuk-ngamuk kalau saat dia sampai di rumah, dirinya malah tidak ada. Dalam kebingungannya sebuah suara kembali menyapa ramah.

"Lho, Embun. Kamu masih di sini?" Embun langsung mengucapkan puji syukur saat melihat kehadiran Albert. Mudah-mudahan saja om baik hati ini mau mengantarkannya pulang.

"I-iya, Om. Saya tidak tahu lagi harus ke mana soalnya. Kedua teman saya meningggalkan saya sendirian di sini. Saya-Saya tidak berani menuruni tangga berjalan itu. Lagi pula saya juga tidak tahu jalan pulang."

Air mata Embun seketika luruh saat mengingat malangnya nasibnya. Bisa berakhir menjadi gelandangan ini dia bila tidak menemukan alamat rumah suaminya.

"Jahat sekali kedua teman kamu itu. Lain kali kalau mereka mengajak kamu ke mana-mana lagi, jangan mau ikut. Jangan mau jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali. Mengerti?" Embun menganggukkan kepalanya.

"Ayo sekarang pegang ini. Lihat arah gelombang eskalatornya. Nah itu sudah ada pijakannya. Sini pegang tangan saya. Ayo kita turun. Nah gampang kan?"

Albert mengelus sayang puncak kepala Embun. Dia bukanlah seorang yang baik hati dan sentimentil. Tetapi entah mengapa setiap dia melihat Embun selalu saja muncul rasa sayang dan perasaan ingin melindungi. Mungkin ini karena dia sudah terlalu lama sendiri, sementara teman-teman seumurannya rata-rata telah memiliki anak-anak yang besar-besar semuanya. Sedangkan dia malah baru saja menikah dengan Zahra. Seorang guru bidang studi bahasa indonesia di Yayasan Bina Bangsa Jaya. Senyumnya terbit tiba-tiba saat teringat istri sablengnya yang sangat hobby memandangi pria-pria tampan itu. Untung saja dia juga tampan sehingga istrinya tidak komplain saat kedua orang tua mereka menjodohkan mereka beberapa bulan lalu.

Dalam diam tiba-tiba saja terdengar suara dari dalam perut Embun. Astaga, Embun malu sekali. Dia memang sangat lapar. Dia belum makan siang sampai saat ini. Tentu saja cacing-cacing di perutnya pada demo untuk meminta jatah asupan makanan. Embun melihat Om Albert tersenyum.

"Kamu lapar, Embun? Sama, Om juga lapar. Ayo kita makan dulu. Kamu mau makan apa, gadis kecil?" Albert sengaja mengatakan kalau dia juga lapar. Padahal tadi baru saja dia makan bersama beberapa clientnya tadi. Dia tidak ingin Embun merasa malu dan sungkan.

"Makanan di sini pasti mahal-mahal semua. Embun tidak ingin membuat Om menghabiskan banyak uang."

Embun merasa tidak enak sekali menyusahkan Albert sampai harus membayarinya makan segala.

"Kamu salah. Kamu bisa makan apapun yang kamu mau tanpa harus membayar disini. Sebutkan saja kamu mau makan apa. Bahkan yang di luar mall ini pun kita bisa makan tanpa membayar sepeserpun. Kamu tenang saja, Mbun." Albert tersenyum jumawa demi untuk menenangkan perasaan Embun. Kasihan sekali gadis kecil ini.

"Lho kenapa bisa begitu Om?" Embun membulatkan matanya. Bingung mendengar jawaban Albert. Apakah om ini seorang preman sehingga bisa makan apa saja tanpa membayar? Biasa di televisi yang dia tonton kan memang begitu.

"Karena hampir 90% gerai makanan di kota ini sayalah pemiliknya. Om kamu ini rajanya mall dan kuliner Indonesia, gadis kecil."

Albert pun tertawa kencang saat melihat mata Embun semakin terbelalak lebar mendengar kata-katanya tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status