Share

Chapter 2

"Hei country girl, kamu ini jalannya lambat sekali seperti keong. Cepat sedikit atau kamu mau ketinggalan pesawat hah?"

Revan meneriaki istri primitifnya yang kini sudah mendapat seorang kenalan baru. Memang bener-bener kebangetan ini orang. Baru ditinggal sebentar saja sudah kegenitan. Wait... wait... sepertinya dia familiar dengan sosok yang sedang berbicara dengan Embun itu.

Sial! Itu kan Sergio Brata Kesuma. Kakak Luna Brata Kesuma, mantan tunangannya? Sepertinya Sergio juga akan pulang ke Jakarta. Karena ia menenteng sebuah koper kecil di tangan kanannya, seperti juga dirinya. Revan menarik nafas panjang. Bisa disindir habis- habisan dia oleh Sergio kalau setelah meninggalkan adiknya yang model papan atas, malah dapatnya gadis primitif no educated seperti Embun ini.

"Lho Pak Gilang dan Revan. Apa kabar? Wah kebetulan sekali ya kita bisa bertemu di sini. Sedang meninjau perkebunan teh atau sawit ini?" Sergio memindahkan kopernya ke sisi sebelah kiri agar tidak menghalangi perbincangannya. Ia juga menyalami Gilang dan Revan sambil berkata," Kalau boleh tahu, adik manis ini siapa ya?"

Sergio Brata Kesuma tersenyum macho seraya menunjuk Embun dengan dagunya. Keingintahuan tampak nyata dalam netra gelapnya.

"Oh Embun ini adalah i—"

"Asisten rumah tangga kami yang baru. Kebetulan saat meninjau perkebunan teh kemarin, bocah ini minta dicarikan pekerjaan. Jadi ya kami bawa saja pulang ke rumah. Sekalian ibu juga sedang butuh asisten rumah tangga tambahan."

Revan langsung saja memotong kata-kata ayahnya yang hampir saja menjatuhkan pasarannya. Harga dirinya bisa langsung terjun bebas saat Sergio tahu kalau istrinya adalah seorang gadis anak kepala Suku Anak Dalam alias orang rimba. Suku yang paling terkebelakang di Indonesia. Bahkan Revan yakin, membaca dan menulis pun istri primitifnya ini tidak bisa.

"Oh Asisten Rumah Tangga? Wah nggak salah nih Van, cakep-cakep begini dijadiin ART?"

Sergio sekali lagi memandangi penampilan Embun menyeluruh dari kepala sampai ke ujung kakinya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Cantik kalau primitif dan no educated untuk apa juga kan? Nggak worth it sama sekali. Orang cantik but no brain or no behavior nggak akan pernah terlihat menarik di mata gue."

Revan menjawab datar. Gilang Aditama Perkasa menarik nafas panjang. Kasihan melihat menantunya dihina dengan kata-kata sekejam itu oleh anak laki-lakinya sendiri. Gilang tahu, andai saja Embun mengerti kalimat yang sengaja diucapkan oleh Revan dalam bahasa inggris itu, pasti Embun akan menjadi sangat sedih. Sikap putranya ini memang sungguh kelewatan. Tetapi mau bagaimana lagi, dia sendiri juga bersalah karena memaksa putranya untuk menikahi orang yang bahkan belum pernah di lihatnya.

"Lo emang nggak berubah ya? Selalu memandang orang berdasarkan pendidikannya. Setelah melepas adek gue dan Ibell malah dikawinin Arkan, itu mulut tambah tajem aja. Hahahaaha..."

Revan tertawa saat mengingat bahwa Revan sebenarnya melepaskan Luna demi untuk mengejar Ibell. Namun apa daya, Ibell malah memilih si sangar Arkan. Embun menyimak percakapan mereka berdua dalam diam. Suaminya ini petualang cinta rupanya. Sambil berdiri dan menunggu Revan kembali berbincang-bincang ringan dengan Sergio sebelum mereka naik pesawat, Embun memandang sekeliling bandara dengan takjub. Dia belum pernah kevtempat yang seramai ini seumur hidupnya. Disaat ia sedang memandang kesibukan aktifitas bandara sebuah suara maskulin menyapanya.

"Hello, excuse me. I am Michael. Do you speak English, Miss?"

Tiba-tiba saja seorang pria tinggi besar berkebangsaan asing, bertanya dalam bahasa inggris pada Embun. Melihat pakaian tradisional yang dikenakan oleh Embun, mungkin membuatnya mengira bahwa Embun adalah seorang guide yang sedang menjemput turis asing di bandara.

"Yes, I do. I'm Embun Pagi Nauljam. What can I do for you, Sir?"

Embun menjawab dalam bahasa inggris yang fasih dengan aksen british yang lembut mengalun. Tiga kepala menoleh kaget. Tidak disangka gadis primitif ini bisa berbahasa inggris dengan aksen yang halus pula. Aksen British dan bukan aksen American yang kasar dan pasaran.

"I am sorry for interrupt you. I am a tourist from Birmingham. I want to go around and I think I need a partner. Do you want to be my guide?"

"Yes, of course. I know this place very well. There's no problem if I accompany you while explaining many things of this beautiful place. But—"

"But she has to go now!"

Tanpa banyak bicara lagi Revan langsung saja menarik tangan Embun kasar dan menjauhi si Bule yang terlihat kebingungan mendengar jawaban bertolak belakang antara Embun dan Revan. Akhirnya si Bule memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua yang dianggapnya sebagai sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Sementara Revan dengan setengah menyeret Embun membawa sang gadis ke sudut ruangan ke dekat tolitet. Revan memindai ayahnya dan Sergio juga mengekori langkah mereka, sambil menyeret koper masing-masing. Namun jarak mereka sedikit jauh di belakang. Sepertinya mereka sengaja untuk memberikan mereka privacy.

"Kamu ini sudah gila ya mau menjadi guide sementara orang asing tadi? Sementara lima belas menit lagi kita akan take off  eh terbang maksud saya?"

Revan merasa lama-lama dia bisa terkena tekanan darah tinggi menghadapi tingkah abege labil ini. Jika dulu Ibell adalah abege yang lembut dan penurut, abege primitif yang satu ini pembangkang dan bermulut tajam. Desibel suaranya memang selalu pelan. Tetapi matanya tampak begitu menantang. Sial sekali nasibnya harus beristrikan seorang gadis aneh bin ajaib seperti ini.

"Saya memutuskan untuk tidak jadi mencari pekerjaan di tempat Abang. Saya takut keadaan saya yang seperti ini tidak sesuai dengan kualifikasi ibu Abang terhadap seorang ART. Jadi saya kembalikan saja kertas boleh terbang ini dan—"

"Tutup mulut besar kamu dan sekarang ikut saya!"

Revan kini separuh menarik dan separuh menyeret Embun di tangan kanan, dan koper ditangan kiri, menunju ke check in desk. Dari sudut mata Revan melihat ayahnya dan Sergio juga mengikuti langkahnya untuk melakukan check in.

Di tengah antrian check in Revan berpikir, sepertinya hidupnya akan rumit bila membawa istri primitifnya ini pulang ke apartemennya. Soalnya para wanita ONS nya kadang suka mendatanginya dan bersenang-senang di sana.  Dia harus sesegera mungkin mencarikan tempat tinggal lain untuk istri dadakannya itu.

Setelah melewati proses check in, mereka semua berjalan menuju gate 6 dan kembali duduk menunggu pengumuman untuk take off. Sepertinya Sergio juga satu pesawat dengan mereka. Tidak lama kemudian, suara merdu petugas bandara mengintruksikan agar mereka segera masuk ke dalam pesawat. Embun kembali mengekori Revan dan Gilang untuk naik ke atas menunggu giliran naik ke dalam pesawat. Setelah pramugari memeriksa boarding pas dan merobek separuh tiketnya, Embun masuk ke dalam pesawat dan memeriksa kursi sesuai nomor tempat duduknya seperti yang sudah diajarkan oleh Revan. Embun juga menaruh buntalan kainnya di atas kepalanya, yaitu di laci-laci pesawat seperti yang di lakukan oleh penumpang-penumpang yang lainnya.

Selama di dalam pesawat Embun saling meremas tangannya sendiri. Dia sering melihat di televisinya pak kepala desa, orang-orang yang naik pesawat terbang tampak biasa-biasa saja. Tetapi dia yang pertama sekali naik pesawat begini, jantungnya malah jedag jedug tidak karuan, seperti ingin melompat keluar saja.

Apalagi saat ia tadi merasakan bahwa pesawatnya mulai menungkik naik dan rumah-rumah serta semua yang menyertainya terlihat semakin mengecil di bawahnya.

Embun takut sekali. Dia kemudian memejamkan matanya rapat-rapat dan tidak berani melihat ke arah jendela pesawat. Untung saja ada Sergio yang entah mengapa bisa duduk di sisi kirinya setelah berbisik-bisik sebentar dengan bapak yang tadi duduk di sampingnya. Sergio tiba-tiba menyelipkan tangan besarnya. Dia terus menggenggam tangannya selama Embun gelisah dan tidak tenang. Lambat laun rasa hangat yang berasal tangan besarnya bisa sedikit meredakan ketegangannya. Embun pun perlahan-lahan mulai merasa rileks. Ia bisa menikmati perjalanannya sekarang.

"Kamu sejak kapan bisa berbahasa inggris sebagus itu, Mbun?" Sergio yang merasa kalau Embun sudah bisa menikmati perjalanannya mulai mengajaknya berbincang-bincang ringan.

"Saya tidak tahu, Pak. Tidak ingat tepatnya. Hanya saja pada saat saya SD dulu, ada beberapa orang turis yang datang ke desa kami. Saat mereka berbicara, entah mengapa saya mengerti dan bahkan bisa menjawabnya. Sejak saat itu kalau ada turis yang datang, maka kepala desa selalu memanggil saya sebagai penerjemah."

"Kamu bisa berbahasa apa saja selain inggris?" tanya Sergio lagi.

"Jerman, Prancis dan Italia."

"Wow!"

"Wie heiβen Sie?" Sergio mengetest kemampuan bahasa jerman Embun.

"Ich heiβe Embun Pagi. Und Sie?" Embun tersenyum manis mengikuti permainan Sergio.

"Ich bin Sergio." Sergio pun dengan jenaka menyebutkan namanya. Seolah-olah mereka baru berkenalan untuk pertama kalinya.

"Vous habitez ou?"

Sergio kini mengetest dalam bahasa Prancis. Sergio menanyakan alamat rumahnya. Yang benar saja! Hahahaa...

"J'habite rue Bukit 12."  Tetapi Embun tetap menjawabnya. Rumahnya di hutan rimba di bukit 12 sana. Tidak ada nama jalan, gang atau nomor rumah di sana. Apalagi kode pos ahahahaha.

"Ciao signorina, buongiorno."

Tiba-tiba saja penumpang yang duduk di seberang Embun, menyapa dalam bahasa Italia. Sepertinya dia tadi ikut mendengarkan pembicaraan Embun dan Sergio. Makanya dia tahu bahwa Embun bisa berbahasa Italia.

"Ciao, buongiorno," balas Embun ramah. Senang sekali rasanya saat ada orang yang menyapa ramah setelah sepagian dia dicemberuti dan dibentak-bentak suami sendiri.

"Come ti chiami ?"

Orang asing itu menanyakan namanya.

"Mi chiamo Embun Pagi, e tu?"

Embun balas menanyakan nama laki-laki ramah yang kira-kira seusia dengan suaminya itu.

"Mi chiamo Paolo, da dove vieni ?"

Laki-laki yang bernama Paolo itu menanyakan darimana Embun berasal.

"Vengo da Indonesia. Quan—"

"Jangan suka pamer. Karena orang yang suka pamer itu biasanya justru adalah orang yang tidak punya apa-apa. Semakin seseorang suka pamer, sebenarnya semakin terlihatlah kalau dia itu sedang meminta pengakuan. Pengen dianggap ada dan hebat. Padahal cuma sebegitu saja kemampuannya. Peribahasanya adalah bagaikan katak di dalam tempurung."

Revan menyindir pedas Embun dari arah belakang kursi pesawatnya.

"Memotong pembicaraan orang lain itu juga tidak mencerminkan sikap seseorang yang mengaku educated dan beretika, Bang. Maaf kalau sikap saya yang menegur Abang ini terkesan rude dan tidak educated.

Kami menganut faham Dimano biawak terjun di situ anjing tertulung. Yang artinya di mana kita berbuat salah, di situ ada hukum adat yang dipakai. Harap dimaklumi karena saya ini berasal dari suku yang paling terkebelakang negeri ini, dan masih berpedoman pada seloko-seloko adat."

Embun menegur Revan dengan nada lembut-lembut nusuk. Embun tidak bisa marah secara frontal. Dia terbiasa mengalah, makanya Anak Dewa lah yang dulu selalu melindunginya dari kejahilan dan kenakalan teman-teman sepermainannya. Mengingat Anak Dewa membuat Embun jadi sedih. Kisah lama yang memilukan. Kasih tak sampai karena hubungan mereka yang terhalang oleh adat istiadat.

"Pribahasa yang tidak cocok lagi digunakan di masa kini. Hidup itu berjalan maju, bukan mundur. Itulah gunanya manusia belajar dan melakukan banyak inovasi-inovasi. Kamu malah berpedoman pada zaman batu. Country girl!"

Revan kembali menyepelekan semua ajaran dan ujaran hidup yang telah didoktrinkan padanya sedari kecil oleh sang Temenggung. Embun diam. Revan tidak tahu bahwa di Bukit Dua belas itu terdapat 13 temenggung yang menanggung jawabi anggota masing-masing yang dilindungi nya. Ia memang dididik untuk patuh dan setia orang para temenggung-temenggung hebat itu.

Mereka memiliki tumenggung Ngamal, Meladang, Nyenong, Maritua, Melayau Tua, Girang, Celitai, Melimun, Tebo, Ngadap, Jelitai, Betaring dan Bepayung. Ayahnya adalah temenggung Ngadap yang artinya sudah lebih modern dan mengenal agama, tidak primitif lagi. Tetapi menjelaskan pada manusia yang mengaku modern seperti Revan ini, Embun malah merasa tidak ada gunanya. Seperti titian galling tenggung negeri, yang artinya tidak ke sana tidak ke mari, alias sia sia saja.

===================

"Lho kalian membawa siapa ini?" Bu Gayatri Aditama Perkasa kesenangan saat ada seorang gadis yang dibawa pulang oleh suami dan anaknya.

"Ini menantu kita, Bu. Embun pagi namanya."

"Hah? Menantu? Kok ibu tidak diberi tahu? Kalau Ibu tahu pasti Ibu akan menyusul ke Jambi sana. Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting sudah sah kan? Ayo masuk dulu, Nak. Astaga kita sekarang sudah punya mantu ya, Mas? Sebentar lagi pasti kita akan punya cucu. Duh ibu udah nggak sabar pengen gendong cucu!!"

Bu Gayatri senang sekali akhirnya anak laki-lakinya menikah juga. Dia sangat stress kalau melihat kelakuan anak tunggalnya yang doyan pacaran semalam alias ONS tapi tidak kunjung mau menikah. Kerjanya menumpuk dosa dan maksiat saja. Makanya Bu Gayatri sangat senang kalau Revan akhirnya menikah juga. Dia tidak pernah mempermasalahkan masalah babat, bibit, bebet dan bobot menantunya. Asalkan seiman dan baik akhlaknya, itu sudah cukup. Hal-hal yang lain bisa di pelajari kemudian.

"Selamat sore, Bu. Nama saya Embun Pagi Nauljam, menantu ibu. Mohon bimbingannya." Embun menyalami ibu mertuanya dengan takzim dan penuh hormat.

"Saya Gayatri, ibu mertuamu. Semoga kamu betah divsini ya, Embun?" Gayatri senang sekali karena akhirnya ia punya menantu juga. Mana cantik dan sopan lagi orangnya.

"Revan, bawa istrimu ke kamar. Biar Embun beristirahat dan membersihkan tubuh dulu. Kamu juga, kita semua sama-sama capek."

Gilang menatap Revan tajam yang Revan ketahui sebagai kata lain dari jangan membantah. Dengan apa boleh buat dan ogah-ogahan akhirnya Revan membawa orang asing masuk kedalam kamar sekaligus kehidupannya juga.

"Ayo Embun, kita istirahat dulu, country girl." Revan mengucapkan kata country girlnya dengan berbisik, sehingga kedua orang tuanya tidak mendengar julukan yang dia berikan pada istri primitifnya.

Dalam diam Embun berjalan kaku separuh takut di samping Revan. Selain dengan Anak Dewa dan Macan Rimba, Embun tidak pernah dekat apalagi berdua duaan dengan laki-laki lain lagi.

"Kamu mandi dulu sana. Jangan lama-lama. Saya juga butuh membersihkan diri. Lagian orang primitif macam kamu apa masih butuh mandi?"

Embun tidak menyahutinya. Dia hanya membongkar buntalan kainnya dan mengambil baju ganti, sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi. Revan membaringkan tubuhnya yang penat di ranjang empuknya. Setelah memejamkan matanya sejenak Revan pun ketiduran.

Revan terbangun saat hidungnya mencium bau asap yang cukup tebal. Heran, ditengah perumahan mewah seperti ini kenapa masih ada warga yang membakar sampah ya? Setahu Revan itu dilarang di kompleks perumahan mereka.

Mata Revan yang masih separuh terbuka langsung membelalak seketika saat melihat asap tebal itu ternyata berasal dari taman belakang rumahnya. Astaga! Ada kebakaran rupanya! Revan langsung berlari kencang menuju lokasi asap tebal itu berasal.

Revan ternganga hingga rahangnya nyaris lepas, seketika saat melihat darimana sumber asap tebal itu berasal. Di kebun bekakang rumahnya, istri primitifnya sedang memanggang ikan di tengah tumpukan dahan-dahan kering seolah-olah dia sedang berada di hutan belantara. Cobaan apalagi ini ya Tuhannnn!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status