Share

Chapter 3

What the hell? Apa yang kamu lakukan, country girl? Kamu mau membakar rumah saya hah? Kamu pikir ini hutan? 

Uhukk uhukkk uhukkk...

Revan tersedak oleh asap tebal ciptaan Embun, yang berasal dari tungku pemanggang ikan ciptaannya. Melihat kedatangan Revan, Embun yang sedang berjongkok sambil mengipasi ikan panggangnya buru-buru berdiri. Ia juga dengan segera meletakkan kipas koran serba gunanya dan menghampiri Revan.

"Tadi sebelum ibu dan ayah pergi, mereka berpesan agar saya memasak ikan yang ada di dalam kotak pendingin eh lemari es. Makanya jadi sa—saya masak ikan ini pakai api." 

Embun berusaha menjelaskan dengan kepala yang terus tertunduk. Ia juga merasa semakin ketakutan dengan suara-suara keras dan bentakan Revan yang terus saja memaki-makinya. Penampilan baru bangun tidur Revan dengan rambut berantakan dan bertelanjang dada terasa semakin mengintimidasinya. 

"Kan ada kompor gas, ada pemanggang elektrik juga. Dasar orang hutan! Makanya kalau nggak tahu itu, ya nanya! Itu punya mulut buat apa juga hah?" 

Revan semakin merasa emosi saja terhadap gadis primitif yang seperti berasal dari zaman batu ini. Dia berencana untuk segera balik ke apartemennya secepatnya. Bisa gila dia lama-lama kalau terus saja menghadapi tingkah absurd gadis udik ini. Biar saja istri primitifnya ini tinggal di rumah ini bersama dengan kedua orang tuanya. Toh yang memaksanya menikah mereka juga. Biar mereka saja yang merasakan betapa sialnya punya menantu primitif dari suku pedalaman pula. 

"Ta—tadi Abang kan tidur. Jadi sa—saya nggak berani membangunkan Abang. Nanti Abang marah lagi." 

Embun menjawab pelan sambil tetap menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia sungguh-sungguh tidak betah tinggal di rumah ini. Dia merasa serba salah. Kalau dia diam saja tidak melakukan apa-apa, dia takut dianggap pemalas. Tapi kalau dia bekerja ya begini inilah jadinya. Bersalahan semuanya. Embun bingung dia harus bagaimana lagi agar Revan tidak terus-terusan memarahinya. 

"Kamu diam dibsitu. Saya akan segera mengambil air dan akan mencoba untuk memadamkan apinya." Selagi Revan akan mengambil air untuk memadamkan api, Embun buru-buru mengambil piring yang memang telah ia siapkan sebagai wadah untuk menaruh ikan yang sudah matang. Ia berinisiatif untuk menyelamatkan ikan-ikan yang sudah susah payah dipanggangnya itu sebelum disiram air oleh Revan.

Revan yang tengah berjalan kearah kamar mandi dan bermaksud untuk mengambil seember air, kembali memaki kesal saat melihat apa yang telah dilakukan oleh istri primitifnya itu di kamar mandi. Embun merendam seluruh baju kotor mereka kedalam bath tub! Embun menjadikan bath tub kamar mandinya sebagai ember untuk merendam pakaian kotor! Oh nooo!

"Embun!" Lolongan suara Revan nyaris membuat tangan Embun terpanggang api saking kagetnya.

Apa lagi lah salah awak kali ini? Tak da jeda pun seharian ini kena marah. Embun membathin.

"Iya Bang, sebentar." Embun buru-buru mematikan tungku perapiannya dengan cara menggosok-gosokkan bara pada tumpukan abu bakar hingga padam. Barulah dia berdiri dan bergegas menghampiri Revan yang sedang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah sehitam tungku perapiannya tadi. Satu, dua, tiga!

"Kamu ini memang bodohnya tidak terbatas ya? Itu bath tub buat berendam dan merelaksasi tubuh yang lelah. Bukan untuk merendam cucian kotor. Paham kamu?" Revan meremas rambutnya sendiri saking gusarnya. Ia sudah kehabisan perbendaharaan kata untuk memarahi Embun.

"Memang benarlah kalau Albert Einstein mengatakan kalau kebodohan itu tidak terbatas! Saya bahkan sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa agar kamu bisa bersikap sedikit lebih manusiawi dan beretika." 

Revan berjalan menghampiri bath tub, mengambil sebagian baju kotor yang ada dalam rendaman dan melemparkannya begitu saja ke wajah Embun. Wajah dan sebagian pakaian Embun pun menjadi basah seketika. 

"Saya tidak mau tahu. Kembalikan keadaan kamar mandi saya seperti sedia kala. Satu hal lagi, mulai detik ini kamu tidak usah lagi menyentuh apalagi mencuci pakaian-pakaian saya. Biar Bik Popon saja yang mencucinya seperti biasanya. Mengerti? Sekarang bereskan semua kekacauan yang sudah kamu ciptakan ini!" Revan segera berlalu dari hadapan Embun setelah meneriakkan beberapa perintah.

Embun memejamkan mata melihat kemarahan Revan yang seperti sudah mencapai ubun-ubunnya. Tanpa banyak bicara lagi Embun pun segera mengerjakan semua perintah Revan dalam diam. 

Bepak, Embun ingin pulang ke kampung saja. Embun sungguh tidak betah di sini. Kata bepak orang kota itu lebih beretika dan manusiawi. Tidak seperti kita yang primitif. Tetapi yang Embun lihat, mereka bahkan tidak bisa memanusiawikan seorang manusia dengan benar. Embun ingin kembali ke kampung bukit 12 saja. 

===================

"Wahhh... ternyata kalau ikan di panggang alami begini enak sekali ya, Yah? Manis, gurih dan masih ada bau asap-asapnya juga. Enak banget lho  Mbun. Kamu jago masak rupanya ya, Nak?" 

Gayatri mengelus sayang puncak kepala menantunya. Saat ini mereka sekeluarga sedang makan malam hasil masakan Embun. Dia memang sengaja memuji-muji Embun separuh bangga karena memang masakannya enak, dan separuhnya lagi sebagai upaya untuk menghibur menantu lugunya itu akibat ledakan kemarahan Revan. 

Sewaktu pulang dari berbelanja bulanan tadi, mereka mendapati Embun dimaki-maki oleh Revan yang sepertinya terpeleset karena Embun mengepel dengan air yang sangat banyak. Sebagian kaus putih Revan basah dan berbercak karena air kotor bekas mengepel lantai. Keadaan menantunya malah lebih parah lagi. Wajah, rambut dan pakaiannya basah semua. Sewaktu Gayatri menanyakannya, Embun hanya mengatakan kalau ia terpeleset di kamar mandi, makanya sebagian pakaiannya basah semua. Menantunya itu tampak sangat sedih dan tertekan. Makanya sekarang Gayatri dan Gilang berusaha untuk membuatnya sedikit gembira dengan cara menghargai kerja kerasnya.

"Tapi ingat, lain kali kalau mau memanggang atau memasak apapun pakai kompor gas aja ya, sayang? Tadi sudah bisa menggunakannya kan? Terus kalau butuh apa-apa minta tolong pada Bik Iyem atau Bik Popon aja ya, Nak?" 

Gayatri kembali memberi nasehat secara halus kepada Embun. Embun mengangguk sambil berdiri dan mengisi air minum Revan yang telah kosong. Sebenarnya Embun ini gadis yang baik dan berbakti sekali. Sedari tadi dia sibuk melayani Revan sampai makanannya sendiri saja sendiri masih penuh. Mengambilkan nasi, lauk pauk dan juga mengisi gelas dengan air putih yang telah habis. Gadis ini walau berasal dari daerah primitif, tapi tindak tanduknya sangat sopan dan berbudaya. Revan yang tadi habis memaki-maki Embun yang dituduhnya mau membakar rumah, malah memakan ikan yang di panggang oleh Embun tadi paling banyak.

"Embun, ada yang ingin Ayah tanyakan padamu. Tetapi Ayah harap kamu menjawab dengan jujur ya?" 

Gilang menatap mata menantunya lurus-lurus. Ia Berharap mendapat jawaban yang jujur. Saat ini mereka telah selesai makan malam dan piring-piring kotor telah dibawa ke dapur oleh Bik Asih dan Bik Popon. Gilang memang sengaja menahan Embun sebentar di meja makan untuk sedikit bertanya tentang masalah pribadinya. Walaupun tampak bingung, tetapi Embun mengangguk juga.

"Anak Dewa itu siapa?"

Tubuh Embun langsung kaku seketika. Tiga orang yang sedang duduk di meja makan itu seketika tahu bahwa nama yang disebutkan Gilang tadi pasti sangat berpengaruh dalam hidupnya.

"Kalau ditanya orang tua itu, jawab. Tapi yang jujur jawabnya. Mertua kan bisa dikategorikan sebagai pengganti orang tua kamu juga. Mengerti?"

Revan kembali menyerang Embun. Gilang dan Gayatri saling bertukar tatap. Mereka tahu, dibalik kata-kata pedas Revan sebenarnya tersirat keingintahuan yang kental di sana. Putranya sebenarnya sedang penasaran setengah mati dengan jawaban menantu polosnya. 

"Anak Dewa itu kekasih saya."

Tiga orang menatap kaget pada kata-kata lugas Embun. Mereka termangu saat mendengar jawaban selugas dan sejujur itu. Menantunya memang beda. Berani mengakui kekasihnya di hadapan suami dan kedua mertuanya. Luar biasa.

"Kamu sudah punya suami bagaimana mungkin masih berani mengakui mempunyai seorang kekasih?" 

Revan mendelik. Kesal akan jawaban yang diterimanya. Bayangkan, istinya mengakui punya seorang kekasih di hadapannya. Suami sahnya! Istri macam apa itu coba? 

"Abang saja tadi memperkenalkan saya sebagai seorang Asisten Rumah Tangga pada Pak Sergio. Suami macam apa itu?" 

Embun menjawab pelan, tetapi sanggup membuat suasana senyap seketika sebelum ibu mertuanya mengeluarkan tanduknya.

"Apa ibu pernah mengajarimu untuk merendahkan, menghina apalagi tidak mengakui bagian dari keluargamu sendiri Revan Aditama Perkasa? Ibu malu melihat sikap kamu yang seperti ini. Ibu merasa sudah gagal menjadi seorang ibu!"

Gayatri menatap Revan dengan mata membara. Putranya ini memang sudah benar-benar kelewatan.

"Revan minta maaf, Bu."

"Kenapa kamu minta maafnya sama Ibu? Minta maafnya sama istri kamu dong?!!"

"Maaf." Dengan setengah hati Revan meminta maaf pada Embun dari seberang meja. Embun cuma menganggukkan kepalanya saja.

"Keberatan tidak kalau Embun menceritakan bagaimana asal muasal  hubungan antara Embun dengan Anak Dewa ini? Karena setelah mendengar cerita versi Embun nanti, barulah Ayah akan mengambil sikap." 

Gilang mulai melakukan interogasi persuasif pada menantunya. Embun terdiam sejenak. Ia seperti mulai berusaha mengumpulkan ingatannya sebelum akhirnya bersuara.

"Anak Dewa adalah anak kandung bepak dan induk," sahut Embun pelan.

"Kamu menyebut ibumu sendiri dengan sebutan induk? Memangnya ibumu itu hewan?" Revan memandang Embun dengan ngeri.

"Anak rimba seperti kami memang menyebut induk pada ibu dan bepak pada ayah. Itu adalah panggilan kebiasaan bukan suatu penghinaan," pungkas Embun. Ia sekarang saling menjalin jemari sebelum kembali melanjutkan pembicaraan.

"Anak Dewa itu anak kemuten. Yang artinya anak rimba yang modern. Setamat SMU, Anak Dewa kuliah di Jambi untuk melanjutkan pendidikannya. Anak Dewa bekerja paruh waktu di kota untuk membiayai kuliahnya sendiri. Setelah Anak Dewa sukses dan mempunyai kebun sawit sendiri, dia mengatakan akan melamar saya kalau usia saya sudah cukup dewasa. Pada waktu itu saya masih berusia empat belas tahun dan Anak Dewa dua puluh empat tahun.

Karena kekerabatan Orang Rimba adalah bersifat matrilinear yang sama dengan sistem kekerabatan Minangkabau yang uxorilokal, maka Orang Rimba menganggap hubungan endogami atau keluarga inti yang di dalamnya mencakup saudara seperut atau saudara kandung, anak angkat atau hubungan dengan orang lain yang satu darah itu dianggap tabu atau incest. 

Maka walaupun saya dan Anak Dewa jelas tidak mempunyai pertalian darah sedikit pun, tetap saja hubungan kami dianggap tabu dan melanggar adat.

Oleh karena itu saat Anak Dewa berkeras ingin menikahi saya, dia diusir dari kampung oleh para Temenggung, setelah terlebih dulu disidang oleh Menti. Yaitu orang yang bertugas untuk menyidang para pelanggar hukum adat, dan disetujui oleh Mangku atau orang yang menimbang keputusan dalam sidang adat.

Anak Dewa tidak diperbolehkan kembali lagi ke Bukit Dua Belas kecuali bepaknya atau ayah kami sudah melangun atau meninggal. 

Bulan lalu Anak Dewa sudah menghubungi kepala desa untuk membawa saya pulang ke rumah barunya. Anak Dewa berniat menikahi saya di sana walau tanpa persetujuan ayah kami. Karena menurut Anak Dewa saat ini saya sudah dewasa. Tetapi ya kejadian selanjutnya kan Ayah sudah tahu, sampai saya bisa berada di sini." 

Embun merasa plong setelah menjelaskan hal yang selama ini dia takutkan. Tanpa sepengetahuan bepaknya dan semua kerabat kesukuannya, diam-diam sebenarnya Embun tetap menjalin komunikasi melalui perantara bapak kepala desa yang selama ini menjadi kaki tangannya Anak Dewa. 

Embun yakin saat ini pasti Anak Dewa sedang kebingungan karena tidak mendapatinya di Bukit Dua Belas. Embun takut Anak Dewa akan mengamuk saat dia tahu kalau dia sekarang sudah menjadi istri orang. Dengan penuh rasa ingin tahu, Embun menanyakan hal yang sebenarnya sedari tadi sangat ingin ia tanyakan.

"Apakah Anak Dewa sudah kembali ke kampung dan mencari saya di sana, Pak?" 

Embun mulai menduga-duga, dari mana Pak Gilang bisa mengetahui tentang kisah Anak Dewa. Gilang menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Embun.

"Lebih dari itu, Nak. Kata kepala desa yang tadi menelepon ayah, Anak Dewa sudah mengacak acak bukit Dua Belas sampai ke bukit Tiga Puluh untuk mencarimu. Bapak kepala desa tidak berani mengatakan kalau kamu saat ini sudah menjadi istri Revan dan tinggal di sini. Kalau ayah boleh tahu siapa nama asli dari Anak Dewa, Embun?" 

Gilang merasa harus memastikan sesuatu. Gilang tahu bahwa tradisi suku anak dalam tidak boleh menyebutkan nama asli. Nama panggilan di rimba dan di luar rimba itu berbeda. Dia mencurigai sesuatu dan hanya ingin memastikannya.

"Rangkayo Depati."

"Ternyata memang dia orangnya. Apakah orang ini yang kamu sebut-sebut sebagai Anak Dewa, Embun?" 

Gilang menunjukkan sebuah photo. Embun kaget karena di photo itu Anak Dewa bahkan sedang memeluknya. Photo itu diambil dua bulan lalu oleh sahabat Anak Dewa, yaitu Macan Rimba. Embun pun mengangguk dengan gembira.

"Bang Revan. Pacar saya sudah datang. Ayo kita cerai saja. Abang bahagia, saya juga bahagia. Jadi tidak ada yang tersakiti di sini. Ayah kenal dengan Anak Dewa? Boleh Embun meminjam telepon kecil Ayah?" Embun begitu gembira saat mengetahui kalau pacarnya telah mencarinya. Akhirnya, ia bisa terlepas dari keluarga Aditama Perkasa juga. Alhamdullilah.

"Tidak ada telepon-teleponan. Sekarang masuk ke kamar. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu." 

Revan menarik tangan istri primitifnya yang sedang duduk dikursi ke arah kamar. Dia sangat malu karena Embun langsung meminta cerai padanya karena ingin bersama dengan mantan kekasihnya. Ya Mantan! Karena setelah mereka berdua menikah, itu artinya wanita atau pria di luar mereka berdua sudah harus disebut mantan bukan? Revan membuka pintu kamar dan mendudukan Embun di sudut ranjang.

"Dengar ya country girl, perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah. Bahkan Allah mengancamnya dengan tidak memberikan surga pada wanita yang meminta cerai pada suaminya. Ini selaras dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, seorang istri yang mudah meminta cerai kepada suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium bau surga. 

Ini berdasarkan HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Artinya, istri yang dengan mudah meminta cerai kepada suaminya dikhawatirkan tidak akan masuk surga bersama suaminya yang saleh. Kamu mengerti, Embun?"

Revan menatap wajah Embun yang seketika tampak pucat dan sedikit ketakutan. Takut masuk neraka juga istri primitif nya ini.

"Memangnya Abang suami yang saleh apa? Perasaan nggak kan? Malah Abang itu senang sangat menzholimi saya. Nengejek saya bahkan membuat saya bersedih. Yang mana bagian diri Abang yang saleh?" 

Embun tampak berusaha berpikir keras, namun tidak juga mendapat jawabannya. Revan yang sedari tadi berdiri sekarang ikut duduk di tepi pembaringan.

"Ya saleh menurut kamu pribadi dengan saleh menurut Allah beda versi tentunya. Sudah, kamu tidak usah kebanyakan mikir." Revan kemudian berdiri. Ia membuka sisi lemari dan mengelurkan satu kaus oblong berwarna hitam. Ia juga dengan santai mengganti kausnya begitu saja di depan Embun, yang seketika memalingkan wajahnya.

"Saya mau keluar dulu ada urusan. Kamu baik-baik dirumah ya, country girl? Jangan mulai membakar apapun lagi dan jangan ke mana-mana. Nanti nyasar. Ingat itu?"

===================

Revan masih sibuk menghitung-hitung cost untuk pembangunan apartemen yang baru saja ia menangkan tendernya  saat sahabat gokilnya Bara Bramasta menelepon.

"Van, gue minjem cewek ONS lo dong. Kepala gue lagi mumet ini gara-gara kalah tender sama perusahaan kompetitor gue. Makanya gue butuh pelampiasan. Gue minjem apartemen lo juga ya buat ena ena. Apartemen gue lagi dijajah sama nyokap gue."

"Eh sianying. Lo mau maksiat nyari hotel dong. Nggak modal amat ngotorin apartement gue. Lo mau cewek yang mana? Gue nggak pernah ONS dengan orang yang sama. Soalnya gue takut ntar mereka pada baperan."

"Si Clara yang bohay deh. Gue nggak tau nomor ponselnya. Lo tolongin atur supaya ntar satu jam lagi gue ke apartemen lo, and tuh cewek udah ada di sana."

"Gue nggak mau nelepon cewek yang udah pernah gue pake. Kalo lo mau nih ada yang mau gue pake tapi nggak jadi karena tetiba nggak napsu gue. Inget cuma sekali ini aja gue minjemin apartemen gue buat lo ya? Kampret bener berasa jadi germo lanang gue!

"Lo emang sahabat sejati gue. Satu jam lagi gue ke apartemen lo ya? Cipok dikit ah! Muachh. Hahaha

"Eh sianying. Jijik gue dengernya. Cuih! Puih!"

Revan menyumpah-nyumpah jijik karena mau dicipok Bara.

Tetapi akibat dari kesibukannya yang menumpuk, Revan lupa pada janjinya untuk menelepon cewek ONS untuk Bara. Dan Revan tidak tahu, akibat keteledorannya itu bencana besar akan melanda.

===================

"Embun, ibu mau belanja bahan-bahan makanan untuk ngisi kulkas Revan dulu ya, Nak. Tiga lantai di atas apartemen ini. Embun mau ikut?" 

Gayatri yang ditemani oleh Embun  tiba-tiba saja menyidak apartemen Revan pada hari Sabtu sore. Gayatri memang selalu menyidak apartemen putra tunggalnya untuk melihat stock makanan di lemari es putranya. Ia jugalah yang selalu mengisi makanan maupun buah-buahan yang sehat untuk putranya. Karena kalau mengharap Revan yang berbelanja, maka matahari pasti telah terbit dari barat dan tenggelam di timur. Alias tidak mungkin.

"Tidak usah, Bu. Embun melanjutkan mengganti kain alas tidur Bang Revan aja. Tanggung Bu," sahut Embun sambil terus membuka sarung bantal bermotif catur Revan.

"Kain alas tidur itu namanya sprei sayang. Diingat-ingat ya?" 

Gayatri menepuk pelan bahu menantu nya. Dengan penuh kesabaran ia selalu membimbing menantunya agar bisa semakin berbaur dengan dunia modern.

Sepeninggal ibu mertuanya, Embun masih terus saja berbenah ini dan itu, sehingga apartemen Revan tampak rapi dan bersih.

Ceklek!

"Halo cantik. Kamu ini pesanannya Revan ya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status