Share

Chapter 4

Embun yang sedang menyusun bantal dan guling bingung harus menjawab apa. Lagi pula mengapa pria ini bisa tiba-tiba masuk kedalam kamar? Pesanan Revan? Memangnya Revan memesan apa coba?

"Emang selera si Revan oke punya ya? Abege kinyis kinyis lugu. Mana masih memakai pakaian daerah lagi. Kamu berasal dari mana sih Cantik?" Bara tidak tahan untuk tidak mengelus pipi mulus Embun yang tidak tersentuh make up sedikit pun. Embun refleks memalingkan wajah seraya meletakkan bantal dan guling di kepala ranjang. Walaupun ia takut, tetapi ia menjawab juga pertanyaan pria asing ini.

"Saya berasal dari Bukit Dua belas Jambi." Embun menjawab pelan sambil mundur mundur. Ia menghindari tangan Bara yang nakal.

"Sebelum kita bertempur, kenalan dulu dong, Cantik. Saya Bara Bramasta."

Bara mengulurkan tangannya pada Embun. Mengajak bersalaman. Ragu-ragu Embun akhirnya mengulurkan tangannya juga untuk bersalaman.

"E-Embun Pagi Nauljam."

Bertempur itu perang kan?

Memangnya mereka mau perang di mana? Musuhnya siapa? Dunia modern ada perang antar suku juga ya rupanya? Embun bingung sendiri.

Demi kesopanan, Embun menjabat pelan tangan besar Bara dan cepat-cepat berusaha menarik kembali tangannya. Bara yang sudah memperhitungkan hal itu malah dengan sengaja makin menahan genggaman tangannya pada Embun. Matanya tampak berkabut oleh nafsu birahi.

"Nama yang sangat cantik dan unik. Saya tidak menyangka kalau Revan ternyata sampai survey ke daerah-daerah hanya demi untuk mendapatkan barang-barang yang masih segar seperti kamu ini, Cantik."

Bara mendekatkan wajahnya pada wajah Embun. Selugu-lugunnya Embun, dia tahu kalau laki-laki ini berbahaya. Embun mulai mundur-mundur kembali, sampai punggungnya mentok membentur tembok kamar. Bara semakin maju dan mengurung sisi kanan dan kiri Embun dengan kedua lengan kekarnya. Embun terperangkap! Dia tidak bisa lari kemana-mana lagi.

========================

Sementara itu Revan tengah mempelajari jumlah dana yang harus di gelontorkan, untuk pembangunan apartemen baru oleh team budgeting. Dia berusaha memangkas habis pengeluaran yang tidak perlu.

Drttt... drttt... drttt...

"Van, kamu mau ibu masakin apa hari ini? Kebetulan ibu sekarang sedang berbelanja di supermaket di gedung yang sama dengan apartemen kamu. Ayam sambel cabe ijo atau ayam semur? Mumpung ibu masih di sini lho?

Ibunya ada di apartemen? Bagaimana dengan Bara? Astaga dia lupa untuk menelepon perempuan itu untuk Bara! Tapi herannya bajingan pecinta ONS itu sama sekali tidak mengomelinya. Tumben! Atau jangan-jangan Bara akan membawa pasangan yang dicarinya sendiri? Bisa perang Bratayuda ini kalau Bara ONS di apartemennya dan kepergok dengan ibunya. Ia harus segera melakukan sesuatu.

"I-ibu sudah sampai di apartemen? Ya sudah, Revan ke sana sekarang juga ya Bu? Revan mau malam di apartemen aja bersama dengan Ibu malam. Ini Revan juga udah mau pulang kantor kok. Revan jalan sekarang ini ya, Bu?"

"Oh ya sudah. Cepat ke sana ya? Embun sendirian di apartemen. Kasihan dia. Nggak ada temannya. Rajin sekali istri kamu itu Revan. Dari tadi tidak berhenti-berhenti membersihkan apartemen kamu. Ya sudah, ibu belanja dulu ya? Assalamualaikum."

Embun di apartemen, sementara Bara tidak komplain soal tidak adanya lawan main nya. Astaga jangan-jangan? Tanpa merapikan meja kerjanya, Revan meraih kunci mobil dan ponselnya di meja kantor. Ia bahkan meninggalkan laptop dan tas kerjanya begitu saja seraya berlari kencang ke parkiran. Revan memutar remote mobil. Menstarter dan segera saja menekan pedal gasnya dalam-dalam, bertarung dengan waktu demi untuk menyelamatkan harga diri dan kehormatan istrinya. Astaga, tanpa dia sengaja, dia telah mengumpankan istrinya sendiri pada lelaki hidung belang nafsuan seperti Bara. Bisa hancur lebur tidak bersisa kalau istri primitifnya itu sempat dikerjai Bara!

Semoga saja belum sempat terjadi apa-apa terhadap istri lugunya itu. Ya Tuhan, tolong lindungi kehormatan istriku. Revan semakin ketakutan saat dia berkali-kali menelepon Bara dan sahabat keparatnya itu sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya.

===================

"Abang mau apa? Ja-jangan dekat-dekat!" Embun yang ketakutan berusaha mendorong wajah Bara, yang kini bahkan mulai mencoba untuk mencium-cium gemas pipi mulusnya. Embun sama sekali tidak bisa bergerak, karena Bara mengunci sisi kanan dan kiri tubuhnya, dengan kedua lengannya yang menempel di tembok belakang tubuhnya.

"Kenapa pertanyaan kamu aneh sekali sih, Cantik? Kamu tanya saya mau apa? Ya mau kamu lah. Revan mengatakan bahwa dia sudah memberikan kamu sepenuhnya untuk saya nikmati hari ini. Apa kamu masih mengharapkan Revan hmm? Revan tadi bilang kalau dia sudah tidak nafsu lagi padamu. Bodoh banget dia, barang bagus kualitas premium plus plus seperti ini dia sia -siakan." Bara menggeleng-gelengkan kepalanya.

Embun sekarang mengerti. Kalau Revan ternyata bukan hanya seorang suami yang kasar, tetapi juga seorang suami yang jahat luar biasa. Dia sampai hati memberikan istrinya untuk dinikmati oleh temannya. Betapa kejam dan tidak bermoralnya dia sebagai seorang suami.

"Tolong lepaskan saya Bang Bara! Bang Revan tidak berhak memperlakukan saya seperti ini. Saya ini manusia, bukan barang. Saya tidak bisa diberikan kepada siapa saja yang dia kehendaki."

Suara Embun yang ketakutan sudah mulai bercampur dengan tangis dan rasa sakit hati. Seperti ini katanya kehidupan manusia yang berbudaya dan bertata krama. Ironis sekali.

"Maaf ya, sayang. Sudah tidak bisa lagi. Laju asmara saya sudah mencapai titik kulminasinya. Saya sudah tidak dapat mengontrol diri saya sendiri lagi, maaf."

Bara mengangkat tubuh mungil Embun dengan gerakan cepat dan membaringkannya diranjang yang baru saja di tata rapi tadi oleh Embun. Embun yang marah memukuli wajah Bara yang kini telah berada di atas nya dan terus saja menciumi selebar wajahnya. Bara gemas karena tidak bisa  menjangkau bibir merah Embun karena kepalanya yang terus saja bergerak kekiri dan ke kanan.

"Jangan bergerak-gerak terus dong, Cantik. Nikmati saja semuanya. Saya berjanji akan memuaskan kamu. Tapi sekarang buka dulu mulutmu, sayang. Saya ingin mencoba rasa mu."

BRAKKKK!

"Bajingan lo, Bar!"

BUGHHHH!!! BUGHHH!!!

Revan Aditama Perkasa, si biang onar tukang tawuran sejak zaman SMA di sekolah Bina Bangsa, telah kembali pada wujud aslinya yang ganas dan gahar. Hilang sudah semua sikap rasional dan persuasif yang biasanya amat sangat melekat dengan pribadi nya sebagai negosiator ulung dalam setiap laga tender diperusahaannya.

Sosok iblis ganas yang sudah lama tertidur, kembali bangun dan meraung ganas saat melihat miliknya tergeletak tidak berdaya dibawah tindihan tubuh besar Bara yang terus saja berusaha mereguk kenikmatan dari tubuh istrinya di ranjangnya sendiri.

Tangis memilukan dan ketakutan istrinya yang meronta-ronta dan memukul kesembarang arah serasa meremas-remas hatinya. Matanya menyipit ganas dan kembali menghajar Bara tanpa ampun.

"Astaghfirullahaladzim. Ada apa ini Revan, Bara? Lho Embun kamu kenapa, Nak? Ini semuanya ada apa sih?"

Gayatri yang baru saja tiba di apartemen dengan tangan yang penuh dengan barang belanjaan, histeris dan kebingungan melihat anaknya memukuli sahabatnya sendiri hingga babak belur. Sementara menantunya nyaris tidak berpakaian lagi dan tampak begitu trauma dalam keadaan duduk memeluk sendiri di ranjang yang sudah begitu acak-acakan. Tubuhnya gemetaran hebat dengan pandangan horor dan ketakutan. Kedua tangannya saling memeluk dirinya sendiri sambil menggoyang-goyang kan tubuhnya ke depan dan belakang dalam gerakan konstan.

"Van, udahhh! Lihat itu istri kamu. Embun, masyaallah, Jangan nekad, Nak!"

Gayatri menjerit kaget saat melihat Embun yang tiba-tiba saja berdiri dari ranjang dan meraih pisau buah yang terletak di samping nakas. Ia kemudian membuat gerakan seolah ingin menggorok lehernya sendiri.

Revan yang sedang merenggut kerah baju Bara refleks menoleh kearah Embun saat mendengar ibunya menjerit ngeri. Mata Revan membelalak ngeri saat melihat gerakan sadis Embun yang ingin menggorok lehernya sendiri. Revan melompat dan menerjang ke arah Embun sambil berusaha merebut pisaunya.

Revan memeluk kuat tubuh Embun dari belakang dan langsung membuang pisau dapur itu ke sudut kamar. Dalam pandangan horrornya Revan  mengguncang-guncang kedua bahu telanjang Embun seperti sebuah boneka rusak.

"Kamu mau mati hah? Kamu mau merampas hak Tuhan dalam urusan nyawa? Yang salah itu saya tapi malah kamu yang mau bunuh diri. Idiot macam apa kamu ini?"

Revan memegang kedua belah pipi Embun dengan tangan gemetar. Dia ketakutan.

Terima kasih ya Allah, ternyata Kau masih melindungi kesucian dan kehormatan istri hamba.

"I-istri? Gadis ini istri lo, Van? Tapi-tapi lo bilang lo bakal nelepon temen ONS lo yang nggak jadi lo pake? Lagian lo kapan nikahnya Van?"

Bara yang terduduk di lantai dalam keadaan bersimbah darah, kebingungan mendengar bahwa Revan telah beristri dan wanita yang tadi nyaris digagahi nya adalah istri sahabatnya sendiri. Demi Tuhan!!!

PLAK! PLAK!

Dari kata-kata Bara barusan, Gayatri telah bisa menarik kesimpulan tentang apa yang sedang sedang terjadi. Revan terdiam dengan pipi panas antara rasa bersalah dan malu terhadap Embun dan juga ibunya. Apalagi saat ia melihat air mata yang meleleh membasahi kedua pipi ibunya. Revan tahu ia telah membuat ibunya begitu kecewa.

"Revan minta maaf, Bu."

Revan melepaskan Embun dan kemudian ia memakaikan jasnya pada tubuh Embun yang pakaiannya sudah compang camping tidak karuan. Ia lalu bersujud di hadapan ibunya. Perbuatannya kali ini memang sungguh fatal. Ibunya sampai menangis tanpa suara akibat perbuatan brengseknya. Dia ingat akan perkataan salah satu guru agamanya sewaktu kecil. Bahwa sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. Dia tahu tangisan ibunya lebih kepada perasaan kecewa daripada kemarahannya. Revan sungguh amat sangat menyesal karena telah melukai perasaan orang yang paling mencintainya di dunia ini.

"Ketahuilah, Nak. Bahwa kebanyakan jeritan para penghuni neraka itu adalah penyesalan karena menunda taubat mereka. Ibu sama sekali tidak menyangka kalau kehidupan kamu ternyata semengerikan ini. Kamu terus saja memupuk dosa dan melakukan hal maksiat bahkan di saat kamu telah beristri. Ibu sangat kecewa kepada dirimu, Revan. Ibu telah gagal menjadi seorang ibu. Ibu gagal, Revan." Gayatri berkali-kali menyeka air matanya.

Ia kemudian menghampiri menantunya yang tampak mulai sedikit bisa menguasai dirinya. Embun mengambil buntalan pakaiannya dan berjalan dengan gontai menuju ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia telah sudah mengenakan kembali baju tradisionalnya yang lain. Kehidupan di kampungnya yang bersifat nomaden telah membiasakannya untuk membawa pakaian berlebih di tasnya. Dalam diam ia kemudian meletakkan jas Revan di tempat tidur.

"Ayo kita pulang, Nak." Gayatri menghela lengan kurus menantunya. Ia membiarkan putranya yang masih dalam posisi bersujud.

"Bu, biar nanti Revan yang mengantar Embun pulang. Ada yang ingin Revan bicarakan pada Embun. Lo juga pulang sekarang, Bar!" bentak Revan. Bara mencoba berdiri dari posisinya yang terduduk di lantai dengan susah payah. Revan telah menghajarnya habis-habisan.

"Saya minta maaf ya, Embun? Saya sama sekali tidak tahu kalau kamu sebenarnya adalah istri Revan. Satu hal yang saya ingin saya tekankan di sini adalah saya siap menerima segala konsekuensi atas semua perbuatan buruk saya dalam bentuk apapun. Termasuk kesedian saya untuk mengambil alih tanggung jawab Revan atas kamu bila terjadi hal-hal buruk di antara kalian berdua atas perbuatan saya. Sekali la-"

"Nggak perlu, Bar. Gue bisa mengurus istri gue sendiri! Lo nggak usah repot-repot ngambil alih tanggung jawab gue. Sekarang gue minta lo keluarrr!" raung Revan lagi.

"Oke. Gue akan keluar. Tetapi kata-kata gue tadi tetap bisa lo jadiin bahan pertimbangan. Gue sungguh-sungguh dan gue serius." Itu lah kata-kata terakhir Bara sebelum meninggalkan apartemen sahabatnya.

Mata Embun tampak ketakutan saat ibu mertuanya akan pulang, dan meninggalkannya berduaan dengan Revan di apartemen yang penuh dengan kemaksiatan ini. Dia bergegas ikut berdiri di samping yang ibu mertua dengan pandangan mata nyalang dan masih ketakutan.

"Bu, sa--saya ikut Ibu pulang saja ya? Sa--saya tak-tidak nyaman di sini." Embun langsung merubah kata-kata takut menjadi tidak nyaman. Bagaimana pun dia tidak ingin mempermalukan suaminya dengan mengatakan bahwa dia takut berduaan saja dengan suaminya. Itu seperti kalimat menghina suaminya. Embun tahu kalau menghina seorang suami itu dosa.

"Tapi ibu rasa, Embun memang perlu waktu untuk berbicara dari hati ke hati dengan suamimu, Nak. Dengar sayang, apapun hasil pembicaraan kalian nanti  ibu akan menerimanya dengan lapang dada. Kalian berdua sudah dewasa. Bertindak dan bersikaplah sesuai dengan usia ya, Sayang? Ibu pulang dulu." Gayatri meraih tasnya dan meninggalkan barang belanjaannya di dapur begitu saja. Dia masih begitu kecewa terhadap putranya.

Setelah Bara keluar dan ibunya menyusul, akhirnya mereka pun kini hanya tinggal berdua saja. Embun yang masih dalam keadaan berdiri, perlahan di dudukkan Revan di atas sofa lembut kamarnya. Ia kemudian juga duduk menyusul di sebelahnya.

"Saya minta maaf ya, country girl. Saya lupa untuk menelepon seseorang untuk Bara. Saya bersumpah bahwa saya sama sekali tidak tahu kalau kamu ada disini. Makanya semuanya menjadi kacau balau seperti ini. Sekali lagi Saya minta maaf ya?" Revan meraih dagu Embun dan memandangi mata sendunya dalam-dalam.

Ini adalah kali pertamanya Revan memandang wajah Embun dalam jarak sedekat ini. Istri primitifnya ini ternyata cantik sekali. Bahkan dalam keadaan habis menangis saja kejelitaannya tidak berkurang, malah bertambah-tambah saja rasanya. Revan tahu dia sudah main rasa di sini.

Inilah hal yang paling dia takut kan selama ini. Dia sudah dua kali jatuh cinta dalam arti yang sebenarnya. Dan dia berakhir dengan dua kali patah hati yang sakitnya bahwa masih terasa hingga kini. Sehingga ia bersumpah untuk tidak akan mau untuk jatuh cinta lagi. Ia setuju dengan ungkapan yang mengatakan bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Untuk satu hal itu, dia amat sangat setuju!!

"Jika selama ini saya terlalu banyak melakukan kesalahan terhadap kamu, tolong maafkan saya ya? Saya ini adalah orang yang tidak pernah beruntung dalam cinta, Embun. Oleh karena itu hidup saya menjadi seperti ini. Saya takut untuk jatuh cinta lagi kalau akhirnya saya akan di tinggalkan juga. Oleh karena itulah selama ini saya selalu membeli cinta dan bukannya memberi cinta.

Tetapi selama beberapa hari ini, saya melihat ketulusan dan usaha kamu untuk mencoba menjalani peran sebagai istri yang baik dalam segala keterbatasan yang kamu miliki, dan itu membuat saya jadi ingin mencoba kembali peruntungan saya. Maukah  kamu mencoba untuk belajar mencintai saya dan membuang segala rasamu pada Anak Dewa?

Maukah kamu menjadi pelabuhan hati terakhir saya dan menjadikan saya satu-satunya lelakimu? Yang kamu tatap dan kamu puja dan kalau memungkinkan kamu cinta? Maukah kamu menjadi masa depan dan tujuan hidup saya? Maukah sa--sayang?"

Revan terbata-bata saat harus mengucapkan kata sayang. Mungkin bagi laki-laki lain ucapan sayang itu hanya berupa kata-kata gombalan tidak berguna. Tetapi bagi Revan, saat dia mengucapkan kata sayang untuk seorang perempuan, maka itu artinya dia meletakan seluruh hati, cinta dan jiwanya di sana. Pada seseorang yang telah berani dia panggil dengan sebutan Sayang.

Dalam bimbang Revan terdiam dan menatap penuh harap pada Embun. Saat yang empunya jawaban masih terdiam dalam mata seolah terlihat berperang penuh kebimbangan, Revan hanya bisa berdoa dalam hati, agar Embun kiranya bersedia memberinya kesempatan. Ia sudah sangat dewasa. Ia juga ingin mempunya keluarga.

"Akan saya coba, Bang. Tetapi saya tidak menjamin bagaimana akhir dari cerita kita."

"Terima kasih, sayang. Untuk permulaan itu sudah cukup sayang, sudah cukup." Dan untuk pertama kalinya Revan mencium kening istrinya dalam keadaan sadar dan... mungkin sayang. Entahlah. Yang pasti ia ingin memperbaiki dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status