Seorang wanita cantik berdiri tak jauh dari tempatnya. Wanita itu pun berjalan semakin mendekat ke arahnya.
"Syukurlah saya bisa bertemu Pak Alex di sini," ujarnya dengan sebuah senyuman manis."Bu Vera? Sedang apa Ibu ke sini?" balas Alex dengan pertanyaan."Emmm. Saya ... saya baru saja pulang, Pak. Dan nggak sengaja lihat Pak Alex sedang membeli es di sini," jawabnya. Vera tengah berbohong.Sebenarnya wanita itu memang sedang mencari keberadaan salah satu rekan kerjanya. Dia yang baru saja pulang dari kampus, melihat Alex yang sedang membeli di sebuah kedai minuman seorang diri. Segera saja Vera menghentikan kendaraannya dan menghampiri pria itu."Oh.""Pak Alex. Ada yang mau saya bicarakan sama Pak Alex," tuturnya.Alex menatap heran pada ketua jurusannya. "Soal?"Vera tampak gelisah. "Emmm. Ini soal pengunduran diri Pak Alex," jawabnya."Oh. Itu karena saya memang ingin mengundurkan diri saja."Vera menatap wajah tegas di hadapannya. SungAlex memberikan tatapan tajam kepada Vera. "Ya. Aku ayahnya. Orang tua nggak bertanggung jawab yang ninggalin putri kecilnya untuk membelikan boba," ucap pria itu dengan wajah kesal.Vera berdiri mematung di tempatnya. Wanita itu malu tak terkira."Emmm. Maaf, Pak Alex. Saya nggak bermaksud buat anak Bapak nangis," ujarnya."Meski jika dia bukan anakku pun, seharusnya Bu Vera nggak memperlakukan anak kecil sekasar itu. Jika Ibu membenci anak kecil, bagaimana nantinya jika Ibu menikah dan memiliki anak?" Alex bertanya dengan sinisnya. Pria itu sudah tak menggunakan lagi bahasa formal seperti biasanya.Vera terdiam sejenak. Wanita itu kemudian menatap anak kecil yang kini sudah berada di gendongan ayahnya."Maaf, Pak Alex ...." cicitnya.Alex hanya diam dengan wajah garang seperti saat dia mengajar. Tanpa kata lagi, pria itu memilih pergi meninggalkan Vera, sang ketua jurusan yang berwatak angkuh pada orang lain. Kedua kaki jenjangnya pun melangkah mantap menin
Kedua mata beriris gelap itu bergerak membaca satu per satu huruf yang tersusun. Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Kini air matanya menggenang pada kedua pelupuk matanya.[Jika kamu sudah membaca surat ini, itu berarti sudah beberapa hari kita tidak bertemu, Dini. Sekarang kamu pasti tengah duduk di balkon kamarku.]Pembukaan surat itu membuat Dini kesal. Seolah Alex memang sengaja melakukan hal tersebut. Pergi menghilang tanpa kabar.[Maaf jika kepergianku mendadak. Aku tahu kamu akan marah jika tahu hal ini. Makanya aku melakukannya supaya kamu tidak menagisi kepergianku.]"Aku udah nangis, Mas," gumam Dini sembari menghapus air matanya yang terjatuh membasahi pipi.[Maaf jika sebagai kekasih aku belum bisa membahagiakan kamu, Dini. Tapi aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Aku tahu hubungan kita tidak direstui oleh kedua orang tuamu. Akan tetapi rasa ini tak akan hilang begitu saja. Meski kita berada di tempat yang berbeda, aku harap kamu selalu tersenyum
Sang dosen wanita kembali mengangguk setuju dengan ucapan Dini."Ya. Kamu benar. Ibu juga sudah mengenal Pak Alex. Beliau itu tipe orang yang dingin dan acuh tak acuh apa lagi pada wanita. Jadi kalau misalnya memang salah satu mahasiswi di sini yang jadi pacar Pak Alex berarti gadis itu adalah orang yang spesial."Dini senang mendengarnya. Dia adalah orang yang spesial bagi Alex, pikirnya. Setelah mengobrol, Dini segera berpamitan. Setidaknya kini dia tahu alasan Alex meninggalkan rumah dan kampus. Pria itu tengah berada dalam kesulitan karena hubungan mereka.'Baiklah. Di sini aku juga harus berjuang. Setidaknya aku harus lulus dengan prestasi supaya Mas Alex juga bangga. Dan akan kubuktikan pada Bapak dan Ibu bahwa cinta tak menghalangi seseorang untuk berprestasi.' Gadis itu meyakinkan dirinya sendiri dengan semangat yang berkobar di dalam dadanya.'Tapi sebenarnya siapa yang menyebarkan berita bohong itu? Kenapa tega memfitnah Mas Alex?' pikirnya lagi.Kini D
Dini terpaku di tempatnya. Gadis itu diam sejenak sebelum menoleh. Masih terkejut dengan pertanyaan Vera. Dia ragu untuk sekedar mengaku. Karena gadis itu yakin kepergian Alex juga karena ingin melindunginya.Dini kemudian menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan. Lalu dia menoleh untuk menghadap sang ketua jurusan lagi. Mulutnya terbuka namun belum ada kata yang terucap. Gadis itu kembali diperingatkan dengan siapa yang menyebarkan berita bohong tentang kekasihnya."Maaf, Miss. Saya juga kurang tahu." Gadis itu terpaksa berdusta. Dia tak ingin pengorbanan Alex menjadi sia-sia. Setidaknya sebelum dia bertemu siapa yang menyebarkan dan melaporkan hubungan mereka."Baiklah kalau begitu. Ya sudah, kamu boleh pergi," balas Vera."Makasih, Miss." Dini segera membuka pintu dan keluar meninggalkan ruangan sang ketua jurusan. Gadis itu pun kembali masuk ke kelasnya bersama Sinta."Jadi kenapa kamu lama dari ruangannya Miss Vera, Din?" tanya sang sahabat saat mer
Dini terdiam mendengar ucapan dari Ridho. Memang benar bahwa Alex pergi tanpa pamit bahkan hanya meninggalkan sebuah surat saja. Kini sebagai mahasiswa di semester akhir yang sebentar lagi harus mengurus skripsi, Dini dihadapkan dengan beban kerinduan pada kekasih yang merupakan dosennya sendiri.Gadis itu menunduk setelah mendengar penuturan sang sahabat. Ridho yang baru saja berdebat dengan Sinta pun berhenti berargumen dan beralih menatap Dini."Din ...." panggil Sinta. Gadis itu memberikan tatapan tajam pada laki-laki di sebelahnya. Seolah memberi tahu bahwa dialah yang salah. Sedangkan Ridho membalas dengan tak kalah tajam."Sorry, Din. Bukan maksudku mau nyakitin kamu, tapi ini karena aku juga sayang sama kamu," timpal laki-laki itu mencoba menenangkan Dini yang sedih.Gadis di hadapan mereka berdua menggeleng cepat. "Nggak, kok. Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah, kamu bener, Dho. Memang Mas Alex pergi tanpa pamit dulu. Tapi ... setidaknya dia menin
Sontak saja Ridho dan Sinta saling berpandangan. Keduanya dapat melihat wajah masing-masing yang memerah. Terutama Ridho yang memiliki kulit putih bersih bak idol Korea. Sinta pun secara tiba-tiba merasakan degupan jantung yang tak seperti biasanya."Gimana? Katanya yang penting aku bahagia," ucap Dini lagi dengan entengnya."Ya nggak jadian juga kali, Din," protes Ridho kembali menatap wajah Dini. Samar-samar tampak kekecewaan di wajah Sinta."A-aku sih juga nggak mau jadian apa pacaran sama Ridho. Bapak kan melarangku buat pacaran," cicit Sinta membela dirinya agar tidak kalah dengan laki-laki yang duduk bersamanya."Maksudmu langsung nikah, Sin?" tanya Ridho kembali menatap Sinta. Dini yang hendak menanyakan hal yang sama pun memilih diam."Iya. Kenapa? Udah deh, ah! Dini juga mintanya aneh-aneh. Ogah aku sama oppa-oppa gadungan ini," ejek Sinta lagi sembari menjulurkan lidahnya."Gadungan-gadungan. Ngomong sama orang sinting memang nggak pernah nyambung,"
Dini menoleh dengan wajah terkejutnya. Gadis itu membalas tatapan sang ibu yang lurus mengarah kepadanya. Susah payah dia menelan ludah."Ngapain kamu di situ? Ya Allah ... Lewat mana lagi? Cepat balik!" seru Minarti sembari berkacak pinggang di balkon kamar Dini.'Haduh. Kenapa Ibu sampai masuk ke kamar segala, sih? Mana tadi aku lupa ngunci pintu lagi,' batin Dini."Cepat balik!" perintah sang ibu dengan wajah marahnya."I-iya, Bu." Dini hanya bisa bercicit membalasnya.Gadis itu segera membereskan laptop serta buku-bukunya. Memasukkan benda-benda tersebut ke dalam ransel. Lalu setelah dirasa sudah masuk semua yang diperlukan, Dini menggeser baik meja maupun selimut ke pojokan. Segera saja gadis itu mengambil ancang-ancang."Heh. Cepat turun!" ucap sang ibu masih dengan wajah kesal."Ibu minggir dulu," balas Dini sembari memberikan isyarat dengan tangannya."Kenapa Ibu mesti minggir?" Minarti kembali bertanya."Ibu minggir aja, ya. Bentar. Ke te
Alex tersadar dari lamunannya. Pria itu pun tersenyum."Papi kenapa diem?" tanya Xena keheranan."Nggak. Papi nggak papa. Memangnya kenapa kalau sekolah di sini saja?" tanya Alex."Nggak mau, ah. Xena mau SD-nya di rumah kita yang dulu. Di sana aku bisa main sama Mami Dini. Papi kan juga udah janji mau menikah sama Mami Dini," tuntut anak kecil itu sembari melipat kedua tangannya. Bibirnya pun mengerut dengan kedua alis yang saling bertaut.Alex menghela napas berat. Pria itu menatap sang ibu dan Nining hanya menaikkan kedua alisnya."Xena. Dengarkan Papi," tutur pria itu pada putri kecilnya."Kalau kamu mau Mami Dini menjadi mamimu, maka kamu harus bersabar dulu. Sekarang belajarlah dan berlatihlah untuk kelulusan kamu," imbuhnya dengan nada lembut.Xena menatap wajah ayahnya yang tampak lelah. "Apa nanti Mami Dini akan datang di acara wisuda TK?" tanya gadis kecil itu penuh harap."Entahlah. Yang pasti, kamu tetap harus belajar dengan giat," hibur Alex semb