Dini kembali kuliah di kampusnya. Gadis itu sangat bersemangat karena hendak bertemu dengan tetangga baru sebelah rumahnya yang meresahkan di kampus sebagai dosen. Penampilan Alex memang sangat berwibawa saat mengenakan kemeja dan celana panjang. Dini sangat suka dengan sosok dewasa yang seperti itu.
Gadis itu pun memperbaiki penampilannya. Kali ini Dini mengenakan dress biru muda sepanjang betis. Tak lupa gadis itu menyisir rambutnya yang panjang sebahu lalu mengenakan jepit rambut. Ia dengan sengaja tak mengikat rambutnya kali ini.
Polesan bedak halus menutupi wajah cantiknya. Tak lupa lip tint merah muda dia tambahkan pada bibirnya yang ranum dan tipis. Penampilan Dini begitu sempurna hanya dengan dua benda itu. Segera setelahnya, ia langsung berangkat ke kampus.
Saat melewati rumah Alex, ia sudah tak melihat mobil milik pria itu. Menandakan bahwa sang duda meresahkan sudah berangkat lebih dahulu.
Kini Dini sudah berada di gedung fakultasnya. Ia kembali bertemu dengan Sinta yang masih terus memberikan nasihat mengenai hubungan Dini dan sang dosen yang mustahil.
“Pokoknya kamu harus sadar diri. Apa lagi usia kalian itu jauh berbeda, Din,” ujar Sinta saat mereka berdua berjalan berdampingan.
Dini tak mengindahkan nasihat dari sahabatnya. Gadis itu memilih mengerucutkan bibirnya karena malas. Kemudian, mereka melihat orang yang dibicarakan tengah menunggu di depan lift. Kedua mata Dini langsung melebar karena saking senangnya.
“Sin, Sin. Pak Alex, Sin!” seru Dini sembari menampar-nampar pundak sahabatnya tanpa menatap Sinta.
“Iya aku juga lihat,” sungut Sinta sembari menepis tamparan dari Dini yang menyakitkan.
“Ya udah ayo kita barengan sama Pak Alex!” ajaknya dengan semangat.
Dini menarik lengan Sinta. Namun, sahabatnya itu memilih menepisnya. Dini pun menoleh dengan tatapan penuh tanya. “Kenapa?”
“Ogah. Aku nggak mau barengan sama Pak Alex. Kan udah kubilang dia itu dosen killer. Tuh lihat! Bahkan para kakak tingkat pun menyingkir,” ucap Sinta sembari menunjuk ke beberapa mahasiswa lainnya yang hendak menggunakan lift.
Dini mendengus. Saat itu juga pintu lift terbuka. “Ya udah. Aku aja yang bareng,” ucapnya.
Dengan segera gadis itu berlari meninggalkan Sinta yang menatap tak percaya denga tindakannya. Dini kini sudah mengilang di balik pintu lift yang tertutup.
“Ya Allah. Tuh anak ya ....” gumam Sinta sembari menepuk dahinya.
Dini berlari tepat waktu. Pintu lift langung tertutup saat dia sudah berhasil masuk. Alex sangat terkejut mendapati salah satu mahasiswinya berada dalam satu lift yang sama. Pasalnya selama dia mengajar, tak ada satu orang mahasiswa yang mau bersama dia naik lift.
“Pagi, Pak Alex,” sapa Dini dengan senyuman cerahnya yang khas.
“Hm,” balas Alex dingin.
Dini seolah tak peduli dengan balasan dingin dari dosen pembimbingnyan itu. Gadis itu pun segera berdiri menghadap pintu lift. Dengan sengaja ia berdiri tepat di sebelah Alex. Padahal masih ada ruang yang cukup luas. Akan tetapi Dini memilih memepetkan dosen tampan itu pada salah satu sisi lift.
Alex kesal dengan tingkah Dini. Bahkan pria itu tak peduli dengan penampilan cantik salah satu mahasiswinya. Di dalam ruangan sempit itu, Alex dapat mencium aroma wangi manis yang menguar dari gadis yang berdiri tepat di sampingnya. Untuk beberapa detik mereka pun saling diam.
“Pak Alex ngajar apa sih?” tanya Dini penasaran. Tak henti-hentinya gadis itu tersenyum.
Alex malas meladeni tetangga sekaligus mahasiswinya yang absurd itu.
“Kalau aku di fakultas Pendidikan Bahasa Inggris, tentunya mengajar dengan yang ada hubungannya sama Bahasa Inggris,” balasnya ketus.
“Ya iya lah. Masa iya ngajar otomotif. Kan nggak nyambung,” kelakar Dini namun hanya berakhir dengan kerenyahan.
Dini semakin menggeser tubuhnya mendekati Alex. Pria itu begitu terganggu dengan tindakannya. Dengan segera Alex pindah ke sisi yang lain. Mengapa pria itu harus bertemu mahasiswi semacam ini?
“Kamu nggak usah mepet-mepet kenapa, sih? Nggak sopan! Di situ kan masih ada ruang!” hardik Alex mulai kesal.
Dini terkekeh. “Hehe. Kan biar bisa lebih dekat sama Pak Alex.”
“Nggak penting!”
“Ih. Kok gitu sih, Pak. Mbok ya jangan galak-galak. Nanti gantengnya luntur loh,” ucap Dini dengan beraninya.
Wajah Alex sudah merah padam menahan amarah. Namun, pria itu segera menghela napasnya supaya tenang.
‘Sabar, Alex. Ini masih pagi ....’ ucapnya dalam hati.
“Emmm. Sini deh, Pak. Tasnya saya bawain,” tawar Dini sembari menyodorkan kedua tangannya yang bebas.
Alex menautkan kedua alisnya. “Nggak butuh!” hardiknya.
Dini pun mengerucutkan bibirnya. “Padahal saya niatnya baik mau bantuin Bapak.”
“Modus!”
“Nggak modus doang sih, Pak. Tapi saya tulus mau bantuin Bapak,” ucap Dini.
Gadis itu membuat ekspresi wajah merajuk dengan keimutan yang dibuat-buat.
“Sudahlah. Ini di kampus. Kamu jangan macam-macam!” Alex memberi peringatan dengan kesal.
“Nggak macam-macam, Bapak Alex yang ganteng. Oh iya, Pak Alex nggak sadar ada yang beda dari saya?” tanya Dini kemudian.
“Nggak peduli.”
“Ih. Padahal saya juga niat dandan cuma buat Pak Alex,” sungut Dini sembari mengibaskan rambut hitamnya.
Alex hanya memutar kedua bola matanya malas. “Untuk apa kau melakukan itu? Aku kan ngga nyuruh.”
“Untuk dapetin hati Pak Alex,” jawab Dini dengan raut wajah serius.
Sebelum Alex sempat menghardik mahasiswinya, pintu lift sudah terbuka. Pria itu pun langsung keluar meninggalkan Dini. Beberapa mahasiswa yang masih berdiri di depan kelas menatap kaget pada kemunculan sang dosen killer dan seorang mahasiswi yang memasang wajah kesal.
“Pak Alex,” panggil Dini. Alex pun menoleh tanpa menjawab panggilannya.
Wajah Dini kembali ceria. Gadis itu pun tersenyum manis dan membuat para mahasiswa laki-laki terpesona pada senyumannya yang cantik.
“Selamat mengajar,” sambungnya sembari melambaikan tangan.
Alex mendengus pelan dan langsung mengabaikan gadis itu. Para mahasiswa yang berada di lantai yang sama dan baru saja menyaksikan kejadian mustahil barusan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
“Gila tuh cewek. Kenapa bisa seberani itu nyapa Pak Alex,” bisik seorang mahasiswi pada temannya.
“Mungkin belum tahu gimana Pak Alex yang sebenarnya,” balas mahasiswi yang lainnya.
“Tapi dia cantik banget. Sayang banget kalau harus sakit hati gegara si Dosen Killer.”
“Dini!” Sebuah panggilan membuat gadis cantik itu menoleh. Sinta tengah mengatur napasnya yang terengah-engah. Gadis berjilbab hitam itu baru saja menaiki tangga.
“Sinta.”
“Ya Allah, Dini. Kamu baik-baik saja, kan? Nggak dimarahin sama Pak Alex?” tanya Sinta dengan tatapan khawatir.
“Ngapain aku dimarahi sama Pak Alex? Yang ada Pak Alex senang karena bisa barengan sama aku,” balas Dini dengan rasa percaya diri tingkat dewanya.
“Hahhh. Nyesel aku nyusul lewat tangga. Udah capek-capek malah kamunya begini,” sungut Sinta kesal.
“Salah sendiri tadi diajak barengan sama Pak Alex nggak mau. Padahal tadi di dalem aku bisa nyium aroma parfum Pak Alex dengan puas. Tapi makasih, ya. Aku jadi bisa berduaan sama Pak Alex,” balas Dini yang menambah kekesalan di hati Sinta sehingg gadis itu mencubit lengan sahabatnya.
***
“Duh. Tumben anak Ibu cantik banget,” puji Minarti pada putrinya.Dini mengerucutkan bibirnya. “Biasanya Dini juga cantik, Bu,” sungutnya.“Eh. Gimana menurut Ibu sama lipmate yang baru Dini beli?” tanya gadis itu kemudian sembari tersenyum manis.Minarti mengamati warna lipmate yang sudah menempel sempurna pada bibir ranum putrinya. Wanita itu mengangguk-angguk. “Cakep kok. Nanti Ibu minta, ya?” ujarnya.“Boleh-boleh.”“Ibu nggak usah ikutan pakai,” celetuk suami Narti, Budi.“Kok nggak usah, Pak?”Budi menghentikan aktivitas sarapannya. Sedangkan Dini baru saja mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya. Budi menatap wajah istrinya.“Ibu udah cantik walau pun nggak pakai lipstik begituan,” ujar pria paruh baya itu. Dini tersedak karena mendengarkan gombalan sang ayah. Namun nampaknya kedua orang tua Dini tidak peduli.
Kini Dini mendapatkan julukan baru dari sang duda ganteng. Gadis itu tak merasa keberatan saat dirinya dipanggil cewek ganjen oleh sang dosen. Karena baginya panggilan dari Alex merupakan panggilan sayang untuknya.Pagi itu pun Dini kembali mengganggu sang dosen yang hendak berangkat kerja dari kamarnya. “Selamat pagi, Pak Alex,” sapanya sembari tersenyum manis dengan rambut yang masih basah.Alex mendongak ke atas untuk melihat penampakan dari tetangganya itu. Wajah pria itu datar saat menatap wajah ceria Dini. Tanpa memberikan jawaban, Alex langsung membopong putri kecilnya ke dalam mobil. Saat itu juga, Xena menjulurkan lidahnya untuk meledek Dini.“Selamat pagi, Xena yang cantik dan manis!” seru Dini lagi. Kali ini anak kecil seusia taman kanak-kanak yang menjadi sasarannya.Xena kembali mendongak pada sang tetangga. Wajahnya bersemu malu-malu. Dini pun tersenyum karena tahu apa yang membuat gadis kecil itu senang.Matah
Pagi itu hari Sabtu. Dini dan Alex libur dengan kegiatan perkuliahan mereka. Namun, kedua orang tua Dini tetap masuk kerja sesuai dengan peraturan di daerah mereka dan instansi mereka.Gadis itu pun mendapat mandat dari sang ibu untuk mengepel lantai seperti biasanya. Dengan rasa malas Dini melaksanakan tugasnya. Gadis itu mengambil peralatan pelnya dan segera mengepel dari teras.Saat dia sudah sampai ke ruang tengah dan pintu sampingnya terbuka, Dini melihat Alex yang tengah memotong rumput. Gadis itu langsung bersemangat ingin menggoda sang duda ganteng meresahkan itu lagi. Apa lagi sekarang Alex mengenakan kaos berwarna putih polos yang digulung kedua lengannya dan celana training. Dini dapat dengan jelas melihat otot-otot lengan sang tetangga.“Pagi, Pak Alex. Lagi motong rumput, nih?” tanya Dini basa-basi sembari keluar membawa ember dan pel. Gadis itu hendak mengepel teras di samping rumah sambil bercengkerama dengan sang duda.“U
Dini kembali mendesah saat tangan besar Alex memijit kaki kanannya. Pria itu pun segera melepaskan kaki Dini dan beranjak dari duduknya. Tak biasanya pria dingin itu merasa gugup. Pasalnya ini kali pertamanya menyentuh seorang perempuan setelah sekian lama selain anak dan ibunya.“Nanti harus tetap minta diurut sama tukang pijit biar nggak parah,” ujar pria itu. “Sudah ya. Saya mau pulang.”“Makasih, Pak.” Dini membalas dengan tersenyum manis. Gadis itu benar-benar senang saat sang dosen idolanya memijit kakinya yang cidera.“Ya udah. Saya pamit,” ucap Alex sembari berbalik.“Aw, aw, aw!” seru Dini yang mampu menghentikan langkah sang duda tampan itu.Alex menoleh dan kembali menghampiri Dini. Pria itu merasa cemas. “Ada apa?”Gadis itu pun menatap pria tampan di hadapannya sembari menaikkan kaki kanannya yang sebenarnya sudah tak terlalu sakit. “Ini ... masih saki
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaruh," sapa Alex kepada para mahasiswanya.Salam itu pun dijawab secara serentak. Namun, hanya Dini lah yang tampak paling semangat. Dini sangat senang karena akhirnya dia akan menyaksikan bagaimana sang dosen idaman mengajar. Meski mendapatkan gelar sebagai dosen killer, akan tetapi hal itu tak meruntuhkan niat Dini untuk mendapatkan hati sang dosen.Seratus menit berlalu. Meski Dini selalu mengganggu dan menggoda Alex, gadis itu tetap mau memperhatikan penjelasan sang dosen hingga akhir jam kuliah di pagi itu."Oke. Any question?" tanya pria itu tanpa senyuman. Wajahnya hanya menampakkan ketegasan yang dingin.Para mahasiswa tidak ada yang berani mengangkat tangan. Bagi mereka, lebih baik bertanya ke dukun dari pada harus menanyakan materi yang tak mereka pahami pada sang dosen. Dini hanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat teman-temannya.Alex menghela napasnya pelan. "Baiklah kala
"Minggir!" tutur Alex dingin.Dini tersenyum manis. Tatapannya masih lurus ke arah iris keabuan Alex. Pria itu pun diam sejenak karena merasa terhipnotis oleh iris gelap gadis yang masih berada di dalam dekapannya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Alex segera sadar dan langsung melepaskan tangan kanannya yang memeluk Dini tanpa sengaja."Kau ini cari-cari kesempatan saja! Saya ini dosenku, nggak bisakah kamu sopan dan menghargai saya sedikit?" sungut Alex yang mengungkapkan kekesalannya.Dini memundurkan tubuhnya. Kakinya masih terasa kesemutan. Beruntung tidak terkilir lagi seperti beberapa waktu yang lalu. Dia lalu menenangkan jantungnya yang berpacu."Maaf, Pak ...." cicitnya pelan. Alex masih menatapnya dengan wajah kesal. Bahkan kacamatanya sampai melorot."Saya benar-benar heran sama kamu. Mau kamu sebenarnya apa? Kenapa kamu selalu mengganggu?" tanya Alex lagi. Kali ini pria itu mengalihkan pandangannya dan memilih membereskan peralatan
Tak terasa waktu sudah berlalu begitu saja. Alex pun sudah terbiasa dengan tingkah Dini yang selalu mengejarnya. Untungnya gadis itu masih mau menjaga diri saat di kampus. Namun ketika di rumah, dirinya kembali menjadi gadis pengganggu untuk sang duda tampan beranak satu. Bahkan kini Dini melancarkan aksinya untuk melumpuhkan musuh kecilnya."Mbak Dini kenapa sih kesini telus? Aku kan nggak suka sama Mbak," cetus Xena sembari mengerucutkan bibirnya.Dini menatap gadis kecil itu dengan tatapan gemas. Ia ingin mencubit pipi tembamnya itu jika sang nenek tidak ada."Xena kenapa bilang gitu ke Mbak Dini?" tanya Nining pada cucu kesayangannya."Habisnya Mbak Dini pelnah nakalin Xena, Nek," jawab gadis kecil itu merajuk.Nining hanya menggeleng pelan."Nggak papa, Bu. Namanya juga anak kecil. Emmm. Sebenarnya Mbak kesini mau kasih ini ke Xena," tutur Dini sembari mengulurkan sebuah kotak makan pada gadis kecil itu.Xena melihat kotak makan
Dini mengendarai motornya menuju ke sebuah toko kue untuk membeli bahan-bahan pembuatan es krim. Dia sudah berjanji pada Xena untuk mengajaknya membuat es krim.Keduanya pun telah berhenti di depan sebuah toko kue. Dini segera memasuki toko tersebut diikuti Ridho. Segera saja gadis itu mencari bahan-bahan yang dibutuhkan."Memangnya kamu mau buat apa, sih?" tanya Ridho penasaran. Pria berwajah tampan nan mulus itu menjadi pusat perhatian saat memasuki toko."Aku mau buat es krim," jawab Dini sembari mengecek catatan belanjaan."Oh. Ikut buat dong!" ujar laki-laki itu."Kamu buat sendiri di rumah kamu.""Yah. Pelit!"Dini menatap Ridho dengan berkacak pinggang. "Denger, ya, Dho. Aku buat es krim ini sama anak kecil tetanggaku. Jadi kalau ada kamu nanti malah ganggu," jelasnya."Ya udah deh kalau nggak boleh.""Ya maaf, Dho."Ridho tersenyum lembut membalas tatapan bersalah Dini. "Iya. Nggak papa. Lagian aku juga ad