"Mampus!" umpat Guna untuk yang kesekian kalinya. Dia sangat puas melihat manusia yang mengusik keluarganya akhir-akhir ini berhasil ditumbangkan. Ini bukan lagi tentang bisnis, melainkan nyawa adiknya, Haryadi Atmadjiwo. "Hukuman mati bisa, kan?" ucapnya lagi pada Radit, pengacara keluarga. "Untuk yang satu itu masih sulit karena berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, tapi untuk penjara seumur hidup akan saya usahakan," jawab Radit. "Untuk keluarganya?" tanya Ndaru yang masih fokus pada televisi. "Pihak berwajib akan menyelidiki semuanya, Pak. Seperti keinginan kalian, sedikit apapun keterlibatan keluarga Hasan, baik keluarga jauh atau dekat, pasti akan mendapatkan hukuman juga." "Jangan puas dulu. Nurdin masih punya banyak orang penting di belakangnya." Harris mengusap dagunya. Di tengah kemenangan yang perlahan mereka raih, dia berusaha berpikir realistis dengan gebrakan apa lagi yang akan Nurdin lalukan. Biar bagaimana pun, Nurdin memiliki banyak orang kuat yang ber
Rasa canggung memang sudah tidak ada. Namun rasanya tetap berbeda. Shana sedang tidak tinggal di rumahnya, yang artinya terbatas juga pergerakannya. Namun tak apa, semua ini demi keamanannya. Hari berlalu begitu cepat. Malam juga sudah dekat. Namun lagi-lagi tak bisa membuat mata Shana tertutup rapat. Dia malah berkerliaran ke beberapa tempat, yang berakhir bertemu seseorang yang akhir-akhir ini belum sempat ia lihat. Di taman belakang rumah, Shana mengeratkan kardigannya. Dia melangkah mendekat, menghampiri wanita yang tengah duduk sendirian di bangku taman. Tampak melamun dengan sesekali menarik napas dalam. "Nggak bisa tidur?" Shana berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu tidak menoleh. Dia kembali menarik napas dalam sebelum berbicara. "Memang kamu bisa tidur?" Shana menggeleng dan memilih untuk duduk di samping wanita itu. "Kita berdua terjebak di sini." Putri, wanita itu lagi-lagi menghela napas. "Apa ada tempat yang lebih aman dari rumah ini?" "Kenapa kamu men
"Jadi gimana kemarin? Kenapa kamu bisa tiba-tiba di rumah?" Guna mulai bertanya. Dia penasaran dengan apa yang Shana lalui. Shana mengedikan bahunya dan menghela napas pelan. "Setelah berita tentang Nurdin ramai, Mas Nendra minta aku pergi sebelum ayahnya datang." "Jadi selama ini Nendra juga di sana?" Yanti menggelengkan kepala tidak percaya. Shana mengangguk membenarkan. "Mereka siksa kamu?" tanya Guna tiba-tiba. Berhasil membuat Ndaru mendelik padanya. Pemilihan kata yang buruk. "Apa?" tanya Guna polos. "Kalau Shana terluka, bisa buat hukuman mereka semakin berat." "Mas!" Yanti mencubit lengan Guna. "Sepertinya kamu baik-baik saja." Harris mulai berbicara, dia menatap keadaan Shana yang tak ada luka maupun goresan. "Sudah pasti Nendra melindungi kamu di sana. Dia kan suka kamu." "Pa?" tegur Ndaru jengah. Ndaru meminta Shana sarapan bersama bukan untuk hal ini. "Oke. Dengarkan Papa." Harris meletakkan sendoknya. "Selama Nurdin dan Darma belum tertangkap.
Seperti hari sebelumnya, rumah Harris Atmadjiwo tampak ramai akhir-akhir ini. Selain para cucu yang berlarian, anak-menantu juga ikut merapatkan barisan. Semua itu dilakukan demi keamanan. Harris tidak bisa menjamin keluarganya akan baik-baik saja jika di luar sana. Selama Nurdin dan Darma masih belum ditemukan, Harris akan menjaga keluarganya dengan ketat. Bersatu di bawah atap yang sama sudah menjadi keputusan bulat. "Sarapan dulu, jangan lari-larian!" Yanti tampak kerepotan mengurus dua bocah yang tengah bermain. Juna dan Satria, keduanya tampak tertawa bahagia memutari meja makan. "Mas Juna, Mas Satria, makan dulu." Guna ikut bersuara. "Mala! Bantu Mama kamu, jangan main HP terus." Mala memajukan bibirnya kesal. "Kasih ke Suster aja. Semalem aku nggak bisa tidur gara-gara Juna sama Satria nggak tidur-tidur." Di balik kerusuhan itu, Harris malah tersenyum lebar. Dia bahagia melihat pemandangan di hadapannya. Jarang-jarang keluarganya berkumpul menjadi satu seperti ini.
"Pak Ndaru belum tidur?" tanyanya. "Kenapa?" Shana mengusap keningnya pelan. "Saya mau pinjem pengering rambut, Pak." Ndaru menatap rambut Shana sebentar dan membuka pintu kamarnya lebar. Bermaksud meminta wanita itu untuk masuk. Melihat respon Ndaru, Shana sempat kebingungan. Namun saat pria itu hanya diam di samping pintu membuat Shana mulai melangkah pelan. Awalnya dia ragu, tetapi dia menenangkan diri sampai akhirnya pintu di belakangnya tertutup. "Sepertinya ada di kamar mandi." Ndaru berjalan lebih dahulu dan Shana mengikutinya dari belakang. Tidak ada waktu untuk memperhatikan kamar Ndaru. Shana bergerak cepat untuk membantu mencari alat pengering rambut itu. Senyumnya merekah saat menemukan barang yang ia butuhkan di salah satu laci. "Pak, ketemu!" seru Shana. "Saya pinjam dulu, ya, Pak." "Mau saya bantu?" tanya Ndaru tiba-tiba. "Hah?" Ndaru tak menjawab. Pria itu mengambil pengering rambut dari tangan Shana dan mulai menyalakannya. "Hadap sana."
Ternyata masalah belum selesai begitu saja. Gonjang-ganjing tanah air masih sangat terasa. Menghilangnya Nurdin Hasan dan Darma Baktiar menjadi alasan utama. Membuat masyarakat semakin curiga atas kebenaran berita. Kembalinya Shana juga bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari sana, Ndaru dibuat semakin waspada. Tanpa banyak tanya dia langsung menambah banyak penjaga. Karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dilakukan Nurdin Hasan selanjutnya. Yang jelas, dendam pasti sangat ia rasa. "Kita ke sini?" Shana menatap rumah megah di hadapannya dengan ragu. Di tengah malam, Ndaru tiba-tiba mengajaknya pergi. Membawa beberapa pakaian dan perlengkapan yang ia butuhkan. Shana tidak tahu pria itu akan membawanya ke mana. Namun setelah berkendara kurang lebih 45 menit, mobil berhenti di sebuah rumah. Rumah mewah yang jarang Shana kunjungi. Bahkan bisa dihitung dengan jari. "Penjagaan lebih ketat di sini." Shana menatap Ndaru cepat. "Semua sudah selesai, kan, Pak?" "Sebelum N