/ Rumah Tangga / Duda Pilihan Ayah / Dua Puluh Sembilan

공유

Dua Puluh Sembilan

작가: Rose
last update 최신 업데이트: 2024-05-04 06:52:14

Kesepian? mungkin awal-awal pernikahan Naya selalu merasakan kesepian, apalagi setelah menikah Naya tidak di perbolehkan bekerja oleh Dewa dan menjadi pengangguran sukses.

Dan makin kesini Naya sudah terbiasa dengan sifat Dewa yang dingin dan kaku itu. Kalau Dewa diam artinya Naya harus berisik, bukankah pasangan harus saling melengkapi?

“Nggak kok, buk. Naya sudah terbiasa sekarang dan sudah bisa memaklumi sifat Mas Dewa yang sedikit irit kalau bicara itu.” ujar Naya terkekeh.

“Iya, ibu aja sering kesal, Nay. Kalau ngomong sama suami kamu jawabannya cuma ham hem doang,” ujar Aida dengan wajah kesalnya.

Ternyata sifat Dewa yang dingin, kaku dan irit bicara tidak tidak hanya kepadanya namun kepada semua orang bahkan dengan ibunya sendiri pun begitu.

Aida menatap menantunya kemudian mengelus wajah Naya dengan sayang.”Ternyata pilihan Dewa memang tidak salah,”

“Maksud ibu?” tanya Naya terkejut.

Ibu mertuanya menarik nafas, sepertinya ragu untuk menceritakannya. Namun jiwa kepo Naya meng
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

최신 챕터

  • Duda Pilihan Ayah   150 :D

    Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. “Di usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,” batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. “Sejak sudah memaafkan kakek.” Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. “Mungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani

  • Duda Pilihan Ayah   149

    “Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.“Mas…” suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.“Rian, Kakek… silakan masuk,” ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. “Apa maksud kamu, Kanaya?”Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Mas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.”Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.“Mas, kita bicara di dal

  • Duda Pilihan Ayah   148

    Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.“Aunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!” serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.“Aunty, Kai nggak bisa napas…” gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.“Maaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,” ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.“Wah, sekarang udah pake se

  • Duda Pilihan Ayah   147

    Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.“Nay.”Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.“Ketemu lagi, kita,” ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. “Ngapain lo di sini?”Rian menunjuk ke seberang jalan. “Kebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.”Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.“Sejak kapan lo buka tempat itu?” tanyanya, masih dengan nada datar.“Baru semingguan, sih,” jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. “Caffè latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.”Kanaya menatap cup itu dengan ali

  • Duda Pilihan Ayah   146

    Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. “Ya?” gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu

  • Duda Pilihan Ayah   145

    Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.“Andai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,” lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.“Maafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,” ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.“Kek…” panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status