Share

Bab 5. Zea membantah

Sekarang Zea sudah berada di ruangan Agam.

"Pak Agam manggil saya?" tanya Zea basa basi.

Agam menatap Zea sekilas.

"Duduk," perintah Agam.

Zea menurut dan duduk di kursi hadapan Agam.

Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang, padahal Agam belum berbicara apa-apa. Pikiran buruk menghampirinya, dia takut jika akan dipecat gara-gara menemukan dompet Oma Rini tadi.

'Aduh, masa sih nemu dompet terus dikembaliin aja mau dipecat,' batin Zea.

Kaki Zea bergetar, tangannya terasa dingin, pikiran Zea juga kalut. Antara takut dan bingung, padahal waktu dia menampar pengunjung tidak setakut ini.

Agam yang masih fokus pada layar ponselnya, dia segera menyimpan ponselnya. Ditatapnya Zea dengan intens yang membuat kaki Zea semakin bergetar.

"Mulai besok kamu jadi karyawan di ruangan VVIP," ucap Agam yang membuat Zea mematung.

Zea tidak bekedip sama sekali, bahkan detak jantungnya berhenti sejenak.

Agam berdehem karena melihat Zea diam saja.

"Ehem," dehem Agam.

Zea tersadar kembali, lalu menatap Agam dengan lekat guna mencari kebohongan disana. Namun, bukan kebohongan yang dia dapat tapi sorot mata tajam.

"Ba-bapak serius? Ini saya tidak lagi di prank, kan?" tanya Zea memastikan.

"Jika kamu tidak mau terserah!" cetus Agam.

"Saya mau, Pak, sangat mau. Terimakasih banyak, Pak. Ya Allah alhamdulillah," ucap Zea dnegan begitu senang.

Zea memegangi dadanya, dia masih belum menyangka akan naik jabatan secepat ini. Dalam waktu datu bulan, bahkan gajinya pertamanya saja belum keterima tapi sekarang dia sudah naik jabatan.

"Tidak ada yang mau dibicarakan lagi kan, Pak? Saya boleh permisi?" tanya Zea.

Agam tidak menjawab tapi dia menggerakan kepalanya menyuruh Zea pergi.

Tanpa berlama-lama lagi Zea segera pergi meninghalkan ruangan Agam dengan perasaan yang begitu senang.

Ketika Zea berhasil menutup pintu, Zea bertemu Amira disana.

"Ck, aku cari-cari gak ada ternhata abis disini," decak Amira.

"Ada apa kamu nyari Aku, Ra?" tanya Zea.

Amira menyerahkan amplop coklat berisi uang kepada Zea.

"Apa ini?" tanya Zea masih belum mengerti.

Amira menghela nafas karena Zea masih belum ngerti.

"Hah, ini gaji pertama kamu, Ze. Atau kamu gak mau?" canda Amira.

Dengan cepat Zea mengambil amplop tersebut dari tangan Amira.

Mungkin tadinya Zea senang mendapatkan gaji pertama, tapi sekarang ada yang lebih membahagiakan lagi daripada menerima gaji.

Tanpa dilihat terlebih dahulu, Zea langsung mengantongi amplop tersebut yang membuat Amira begitu heran dengan sikap Zea.

Mata Amira memicing melihat wajah Zea yang berseri-seri sedari keluar dari ruangan Agam. Amira jadi merasa curiga dengan Zea.

"Ze, kamu gak seneng nerima gaji pertama?" tanya Amira sedikit basa-basi.

"Ada yang lebih senang daripada Aku menerima gaji pertama ini," jelas Zea antusias.

Zea memegang kedua telapak tangan Amira.

"Aku dipindahkan jadi kebagian VVIP, Ra!" pekik Zea tertahan.

"Serius?" tanya Amira sedikit kaget.

Zea menganggukkan kepala.

Mereka berdua berpelukan sambil badannya berputar-putar.

*****

Hari sudah sore, dan Zea sudah sampai di depan rumahnya. Badannya yang lelah terbayarkan oleh kabar gembira dari Agam.

Senyuman di wajah Zea tidak pernah surut. Bahkan ketika dia masuk kedalam rumah pun senyumannya masih terus terlihat.

Pak Haryanto—bapak tiri Zea memicing tajam melihat Zea tersenyum. Tapi, ketika mengingat ini adalah waktunya Zea menerima gaji, Pak Yanto langsung mendekat ke arah Zea.

"Hari ini kamu gajian, kan?" tanya Pak Yanto.

Zea menoleh dan mengernyitkan kening.

"Iya, kenapa emang?" jawab Zea.

"Bagi duit. Bapak mau beli rok*k sama kopi," ucap Pak Yanto.

"Gak ada, uangnya mau aku kasih ke Ibu buat kebutuhan dia," ujar Zea

Seketika wajah Pak Yanto berubah menjadi sangar. Tapi, hal tersebut tidak membuat Zea takut sama sekali. Zea sudah terbiasa melihat tatapan seperti itu dari kecil.

"Ibu kamu sudah banyak uang, gak perlu dikasih lagi. Yang perlu uang itu Bapak, jadi berikan gaji Kamu sama Bapak," sentak Pak Yanto.

Zea dengan berani menatap wajah Pak Yanto. Kali ini dia tidak mau dikendalikan lagi oleh bapak tirinya. Zea sudah capek diperlakukan tidak baik oleh Pak Yanto.

"Atas dasar apa Aku harus memberikan gaji Aku sama Bapak?" ucap Zea yang membuat Pak Yanto naik pitam.

"Sudah berani ya Kamu sekarang sama Bapak! Mentang-mentang udah bisa kerja punya duit sendiri jadi durhaka dan berani ngelawan sama orang tua!" bentak Pak Yanto.

Zea menghela nafas kasar. Bukan dia mau menjadi anak durhaka. Tapi, dia sudah capek setiap hari mendapat perlakuan dan kata-kata kasar dari Pak Yanto.

"Bukan seperti itu. Aku kerja buat memenuhi kebutuhan Ibu, kalau kebutuhan Bapak bukannya hasil kebun selalu Bapak yang pegang?" jelas Zea sedikit melunak.

"Apa gak sadar selama ini uang buat makan Kamu dan Ibu Kamu dari siapa? Kalau bukan dari uang hasil kebun itu, mungkin Kamu sudah kelaparan," ketus Pak Yanto.

Raut wajah Zea menunjukkan rasa heran, setahu Zea dia makan sehari-hari dari uang Bu Maryam. Dan setahu Zea juga Pak Yanto selalu menghabiskan uangnya untuk keperluan dia sendiri, bukan untuk makan Zea dan Bu Maryam.

Melihat anak tirinya diam dan tidak menjawab, diam-diam Pak Yanto menarik sudut bibirnya membentuk senyuman licik. Pak Yanto tidak akan pernah puas sebelum Zea memberikan uang hasil kerjanya kepada dia.

Selama ini Pak Yanto selalu berhasil membuat Zea takluk dan menurut kepada-nya. Dan sekarang juga Pak Yanto yakin bahwa Zea akan luluh dan memberikan semua gaji kepada dia.

"Setahu Aku, selama ini Aku makan dari uang Ibu—hasil kerja Ibu bukan dari uang Bapak," ucap Zea, membuat Pak Yanto membulatkan bola mata karena tidak menyangka bahwa Zea akan berani melawan perkataannya.

"Udah ya, Pak. Aku capek pengen mandi dan segera istirahat," sambung Zea berbalik meninggalkan Pak Yanto.

Namun, belum sempat Zea menjauh tangannya sudah dicekal erat oleh Pak Yanto.

"Berikan dulu uang sama Bapak baru kamu boleh istirahat!" tegas Pak Yanto.

Zea berusaha melepaskan tangannya dari Pak Yanto. Tapi sayangnya cengkraman itu bukan melonggar justru malah semakin kuat membuat Zea sedikit meringis.

"Aku gak bisa, Pak. Uang ini untuk Ibu, karena selama ini yang selalu menghidupi Aku hanya Ibu, bukan Bapak!" sungut Zea.

ucapan yang keluar dari mulut Zea barusan, mampu membuat Pak Yanto marah. Pak Yanto merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Zea.

Selama ini dia bisa memoroti uang Zea, tapi kenapa sekarang anak tirinya itu malah membangka dan berani melawan.

Dengan sorot mata yang tajam dan cengkraman semakin kuat, Pak Yanto memandangi Zea. Tapi yang dipandang malah menunjukan wajah biasa saja, tidak ada rasa takut sama sekali.

"Lepasin, Pak!" pinta Zea.

"Berikan dulu gaji Kamu, maka Bapak akan melepaskan Kamu!" tekan Pak Yanto.

"Sudah Aku bilang Aku gak akan memberikan uang ini! Jika selama ini Bapak yang ngasih uang jajan dan makan Aku, maka aku gak akan segan-segan ngasih uang ini," bentak Zea tersulut emosi.

"Jadi sekarang Kamu mau itung-itungan sama Bapak, iya? Bagus kalau gitu. Mulai sekarang Kamu harus mengganti seluruh uang yang Bapak keluarkan untuk menghidupi Kamu selama 21 tahun!" ucap Pak Yanto dengan sedikit berteriak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status