Share

2. Ikut Pulang

"Siapa kalian? Kalian mau apa?" teriak Bianca, yang langsung memposisikan diri di depan Bea untuk melindungi bocah itu. 

Dia begitu takut, jika para lelaki itu adalah komplotan penculik yang ingin menculik anak kecil. Mau bagaimana pun, Bianca tidak tahu siapa dan bagaimana bentuk orang tua Bea. Dia hanya ingin melindungi bocah itu, sampai seseorang yang benar-benar bisa membuktikan jika mereka memang orang tua Bea, datang menjemput.

"Maaf, Nona, kami hanya ingin mengajak Nona kecil kami untuk pulang," jawab seorang lelaki yang terlihat seperti pemimpin kelompok, berbicara begitu sopan dengan Bianca. 

Dahi Bianca berkerut dalam, masih merasa curiga dan tak mempercayai mereka. "Memangnya siapa Nona kecil kalian?" tanya Bianca ketus. 

Lelaki yang berdiri di hadapan Bianca itu tak menjawab, hanya mengangkat dagu untuk menunjuk bocah yang ada di belakang Bianca. 

Tak mendengar jawaban, membuat tatapan Bianca memicing. "Siapa nama Nona kecil kalian?" tanyanya lagi. 

"Bealize Caethleen Stefanna." Lelaki itu menjawab tegas, penuh percaya diri. 

Hal ini membuat Bianca menoleh, melihat Bea terlihat murung, membuat Bianca menjadi heran. Wanita itu menarik Bea ke sudut ruangan, dan hal ini membuat orang-orang berpakaian rapi itu mengikuti. 

"Berhenti, jangan mendekat. Aku perlu bicara dengan bocah ini!" bentak Bianca menatap para lelaki itu dengan tajam. 

Menganggap jika mereka semua mengerti, Bianca melanjutkan niatnya. Dia membawa Bea ke meja paling ujung, mendudukkan bocah itu lalu dirinya berjongkok menyamai tinggi. "Bea sayang," panggilnya lembut. "Apa yang diucapkan lelaki itu benar jika itu nama lengkapmu?" tanyanya lembut. 

Bea mengangguk kecil, tapi dengan bibir berkerut. "Meleka bukan olang jahat, Mama. Meleka olang suluhan Papa untuk menjaga Bea." 

Bianca memejamkan mata sesaat, saat Bea masih saja memanggilnya Mama. Hal ini membuat menghela napas panjang begitu frustasi. 

Mendengar penuturan Bea, membuat Bianca menoleh dan menatap para lelaki yang terlihat dingin itu. Matanya memicing, masih tak mempercayainya. Maka dari itu, dia berdiri dan mendekati mereka. 

"Apa buktinya jika bocah itu adalah Nona kecil kalian?" tanya Bianca tetap ketus. 

Lelaki yang berbicara dengan Bianca tadi, mengeluarkan telepon. Lalu menunjukkan foto-foto Bea. 

Bianca mengerucutkan bibir, sepertinya dia harus pasrah dan percaya menerima jika mereka memang mengenal Bea. 

"Kami ingin mengajak Nona kecil pulang, karena Tuan muda sudah menunggunya di rumah," kata lelaki itu tegas pada Bianca. Lalu melirik ke belakang, seolah memberikan kode pada teman-temannya. 

Setelah itu, Bianca bisa melihat jika orang-orang tadi mendekati Bea, lalu menggendong paksa Bea. 

Bea tentu saja berontak, bocah kecil itu berteriak kencang berusaha melepaskan diri. Bahkan bocah kecil itu tak segan menggigit penjaganya, yang membuat penjaga itu kesakitan dan melepaskan dirinya. Bea langsung melarikan diri ke arah Bianca, dan memeluk kaki Bianca erat. 

"Boo didak amu puyang!" teriak Bea kencang. 

"Anda harus pulang, Nona Kecil. Papa Anda baru saja kembali dari luar kota, dan beliau sudah menunggu Anda di rumah," kata lelaki pemimpin kelompok, membujuk Bea. 

Bea terlihat cemberut, dan matanya kembali berair. Bianca yang melihat ini merasa tidak tega, lalu menggendong bocah kecil itu penuh sayang. "Bea pulang dulu, ya. Papamu pasti sedang merindukan dan mengkhawatirkan mu, Nak." 

Bea menggeleng lemah. "Boo nggak amu." 

"Bea, kan akan pintar. Gak boleh begitu, ya," kata Bianca dengan lembut. 

Bea menunduk dengan sedih, lalu menatap para pengawalnya dengan mata berair. "Boo amu puyang, kalau Mama Boo ikut." 

Mata Bianca melotot mendengar hal tersebut. Dia baru saja ingin memberi nasihat lagi untuk Bea, ketika lelaki di dekatnya mengulurkan sebuah telepon padanya. 

Dengan ragu, Bianca menerimanya. Lalu menempelkan benda tersebut ke telinganya.

"Aku sudah mendengar semuanya. Bisakah kau ikut sebentar agar Boo mau pulang?" 

Itu bukan seperti sebuah pertanyaan, melainkan sebuah permintaan tegas yang tidak membutuhkan penolakan. Bianca merasa bingung, dari mana orang yang menelpon itu bisa tahu. Dan jawabannya, ternyata semua lelaki di sana memakai earphone yang bisa tersambung ke seseorang yang menelponnya barusan. 

Bianca menghela napas panjang, ingin menjawab untuk menolak. Namun, ketika matanya berpapasan dengan mata Bea, dia tidak tega melihat bocah itu menjadi sedih. 

"Baiklah." Maka dari itu, dia menyanggupi permintaan orang yang berbicaranya di telepon tersebut. 

Setelah hal kecil itu terselesaikan, Bianca siap-siap untuk ikut orang-orang yang berpakaian rapi tersebut. Bea benar-benar tak melepaskan dirinya sama sekali. Bocah itu bahkan terus minta gendong darinya. 

Tepat ketika Bianca ingin keluar, langkahnya dihadang oleh Mary. Karyawannya itu menatapnya cemas dengan panik. 

"Bu, Ibu mau dibawa ke mana? Ibu gak akan diapa-apain, kan sama orang-orang ini?" tanya Mary khawatir. 

Bianca memaksakan senyum. "Santai saja, Mary. Lagi pula jika mereka macam-macam, aku akan menelepon polisi dengan cepat," candanya meyakinkan. 

"Tapi, Bu–" 

"Kita harus cepat, Tuan sudah menunggu!" 

Ucapan Mary harus terpotong, ketika lelaki pemimpin itu menyela. Dia menatap Bianca tajam dengan wajah tegasnya yang begitu dingin. 

Mau tak mau Bianca mengangguk. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia kembali melanjutkan langkah mengikuti lelaki itu. Dia hanya mengacungkan jempol pada karyawannya, dan berharap karyawannya itu tak terlalu mencemaskan dirinya. 

Mobil mulai melaju, dan suasana terasa begitu hening. Bea tak lagi banyak bicara seperti tadi, hanya memeluk Bianca erat dalam diamnya. Bianca pun sama, tak mengenal lelaki yang semobil dengannya itu membuatnya merasa canggung. Dia juga tak tahu harus membahas hal apa selama perjalanan. 

Untungnya, mereka sampai tak lama kemudian. Hanya membutuhkan waktu hampir empat puluh menit, ketika mobil yang ditumpangi Bianca memasuki sebuah rumah yang begitu elit.

Bianca turun dari mobil, dan lagi-lagi Bea minta gendong. Wanita itu terlihat mengagumi betapa mewahnya bangunan tinggi di depannya. Tanaman-tanaman hijau di depan rumah, benar-benar membuat suasana sekitar menjadi sejuk. Dan entah kenapa, Bianca merasa senang akan hal itu. 

Saking sibuknya melihat sekitar, Bianca sampai tak sadar saat langkahnya sudah berada di dalam rumah. Dia terkejut, saat tiba-tiba Bea berontak dalam pelukannya minta turun. 

"Papa ..." 

Saat itu juga, Bianca bisa melihat seorang lelaki yang duduk di ruang tamu. Sosoknya yang tegap, terlihat sangat tampan. Potongan rambutnya yang rapi, menambah nilai plus untuk wajahnya. Dan saat tersenyum membalas pelukan Bea, Bianca bisa melihat lesung pipit di salah satu lelaki itu. Entah kenapa, Bianca merasa terpesona. 

Wanita itu sedikit gelagapan, saat lelaki itu menatapnya tajam. Namun, entah kenapa dia merasa kecewa apalagi saat lelaki itu tak lagi menunjukkan senyuman. Dan kini, Bianca merasa gugup karena lelaki itu menatapnya tajam. 

"Kau bisa duduk!" 

Perintahnya begitu tegas, membuat Bianca reflek menggerakkan badan dan menurut. Wanita itu merasa bibirnya lengket, yang entah kenapa tak bisa dibuat untuk bicara sama sekali. Namun, meskipun lelaki itu terlihat dingin, entah kenapa jantung Bianca berdegup kencang dengan liar. Hati Bianca berdenyut nyeri, seolah merasakan tautan rindu yang selama ini tersimpan, dan ingin sekali dia menangis. Tetapi dia sendiri tidak tahu, perasaan apa yang sedang dia rasakan saat ini. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status