Share

4. Kedatangan Bea

"Mama, tolong." 

Suara teriakan anak kecil itu, seketika membuat Bianca menoleh. Dia yang sedang menyibukkan diri membuat resep baru, segera bangun dengan tergesa untuk mendatangi anak kecil yang sedang terjatuh itu. 

Namun, dia kalah cepat. Seorang wanita muda tiba-tiba datang menolong anak kecil tadi, menggendongnya lalu menenangkannya. 

Hal ini membuat tubuh Bianca kaku, dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang sedang dia lakukan saat ini? Tadi saat mendengar anak kecil menangis, dia mengira itu adalah suara Bea yang meminta tolong. 

‘Ada apa dengannya? Kenapa dia selalu memikirkan tentang Bea selama ini?’

Seminggu telah berlalu, sejak pertemuan pertama Bianca dan juga Bea. Seminggu sudah mereka berpisah, dan tak pernah lagi bertemu. Tetapi, entah kenapa Bianca merasa rindu pada bocah perempuan kecil tersebut. Terlebih lagi, bayangan sosok Papa Bea selalu menghantui benaknya setiap malam. 

Wanita itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala cepat berusaha sadar dalam angan-angan. Lalu kembali duduk, mengambil buku dan juga bolpoinnya. Bianca berusaha memikirkan kembali resep yang telah disusun tadi. Tapi dia seketika melupakannya dan sekarang dia menjadi tidak fokus. 

"Bagaimana bisa bocah dan Ayah bocah itu mengganggu pikiranku setiap harinya?" desah Bianca kesal. 

Menutup bukunya kasar, Bianca berdiri. Dia sudah tidak mood memikirkan resep baru. Dan dia merasa lebih baik jika dirinya kembali saja ke toko kuenya. 

"Mama." 

Namun, baru beberapa langkah, dia mendengar Bea memanggilnya. Hal ini membuat tubuhnya kaku, dan mendadak kepalanya menjadi pusing. 

‘Halusinasi macam apa ini?’ Pikirnya mendesah

Lagi-lagi, Bianca menggelengkan kepala cepat. Berusaha kembali sadar dengan keadaan sekitar. Dia merasa, mungkin saja salah mendengar karena terlalu merindukan bocah itu. Tanpa menoleh ke belakang, Bianca segera berjalan tergesa menuju toko kuenya yang ada di seberang jalan taman ini. 

"Hai, Bianca, bagaimana kabarmu?" 

Sebuah sambutan menyapa ketika dia baru saja membuka pintu. Dan Bianca hanya bisa mendesah pelan, melihat Maxim sudah berdiri di hadapannya. 

"Aku baik, Maxim, terima kasih," jawab Bianca seenaknya. Kali ini, tak ada senyuman sedikit pun yang menghiasi wajahnya. 

"Ada apa dengan wajahmu itu? Kenapa kau terlihat pucat hari ini?" tanya Maxim, lelaki yang selama ini pelanggan toko kue Bianca karena menyukai wanita itu. Dia berusaha datang setiap hari, hanya untuk bisa menjadi lebih dekat dengan Bianca. Lelaki itu mengekor di belakang Bianca, sampai wanita itu memilih tempat di paling ujung. Maxim tak segan untuk duduk di hadapan Bianca. 

"Mary." Mengabaikan pertanyaan Maxim, Bianca memanggil salah satu karyawannya. Dan ketika bawahannya itu menoleh, dia segera memesan, "buatkan aku coffe latte hangat." 

"Siap, Bu!" teriak Mary, dari arah seberang. 

Lagi-lagi, Bianca mengacuhkan Maxim. Wanita itu memilih membaringkan kepalanya di atas meja dengan lesu. 

Tentu saja hal ini menarik perhatian Maxim. "Apa kau sakit, Bianca?" 

"Tidak, aku hanya lelah saja. Beberapa hari ini aku kurang tidur karena banyak pikiran," jawab Bianca lirih. 

"Apa yang membuatmu berpikir sampai-sampai kau terlihat pucat seperti ini?" tanya Maxim lagi. 

‘Bea, dan tentu saja Ayahnya,’ jawab Bianca dalam hati. 

Wanita itu tak ingin mengatakan yang sebenarnya, malahan dia berbohong. "Biasalah, urusan toko kue yang beberapa hari ini akan membuka cabang di kota sebelah. Itu benar-benar menguras tenaga dan pikiranku." 

"Oh, Sayang, kasihan sekali dirimu. Andai saja kau mau menerima pinanganku, aku pasti akan membantu segala urusanmu. Bahkan, aku tak akan lagi memintamu bekerja. Aku akan membuatmu di rumah, memanjakan diri, dan hanya melayaniku." Maxim kembali melancarkan aksi menggodanya.

Bianca memejamkan mata geram, membuang napasnya kasar, dia mulai bangun dan duduk tegak kembali. Kali ini, dia menatap Maxim lekat dengan sorot mata yang sedikit tajam. 

"Kau kalah cepat, Maxim. Aku sudah mempunyai calon suami, maka dari itu, sampai kapan pun aku tak akan bisa menerima tawaranmu," jawabnya ketus. 

Mata Maxim membola, begitu terkejut. Dia baru saja ingin bertanya, ketika tiba-tiba Mary datang dengan wajah antusias yang sama kagetnya. Karyawan Bianca itu meletakkan nampan kasar di meja, lalu menarik kursi di antara mereka dan menatap Bianca dengan lekat. 

"Benarkah itu, Bu? Jadi ini alasanmu selama ini tak pernah menanggapi para lelaki di sini yang menggodamu?" tanya Mary penasaran. 

Mendadak, Bianca merasa salah tingkah. Dia membual, hanya untuk Maxim agar lelaki itu tak terus mengganggu hidupnya. Namun, kini dirinya malah yang terperosok dalam kebohongannya sendiri, apa lagi saat didesak salah satu karyawannya. 

"Y-ya." Akhirnya, Bianca menjawab dengan gugup penuh keraguan. Menganggukkan kepalanya kecil dengan tak yakin. 

"Astaga, kau tidak sedang berbohong, kan?" sahut Maxim bertanya sedikit memekik. 

"Tentu saja tidak karena aku sengaja merahasiakannya selama ini," jawab Bianca cepat, namun tak menatap ke arah Maxim. 

"Oh, Bianca, kau sungguh-sungguh membuatku patah hati," tutur Maxim mendramatisir, memperlihatkan wajahnya yang begitu sedih dan tampak putus asa. Bahkan, kedua tangannya memegangi dadanya. 

"Nah, kan, kau dengar sendiri sekarang? Jadi, mulai saat ini dan seterusnya, jangan ganggu dan goda-goda lagi bosku!" ketus Mary, berlagak marah menatap Maxim cemberut. 

"Kau ini, aku sedang patah hati bukannya mengobati malah menambah-nambah saja," keluh Maxim geram pada Mary. 

Bianca yang tadinya gugup dengan kebohongannya, kini malah tertawa melihat tingkah dua orang di depannya itu. Dia tak menduga, jika Mary punya selera humor ditambah dengan Maxim yang suka mendramatisir keadaan, sepertinya mereka berdua terlihat cocok. 

"Jadi, Bu, bagaimana rupa calon suami, Ibu? Kenapa tak kenalkan pada kami?" tanya Mary. 

"Ya, aku juga ingin tahu wajah lelaki yang telah merebut hatimu dariku," sahut Maxim menyela. 

Kesenangan Bianca tak bertahan lama, ketika dua orang di depannya itu kembali menginterogasi dirinya. Hal ini membuatnya menjadi tidak tenang, dan serba bingung harus menjawab seperti apa. 

"A-aku … a-aku akan mengenalkannya, setelah dia mempunyai waktu luang. Pekerjaannya begitu banyak, sehingga–" 

Bianca tak bisa menyelesaikan ucapannya, ketika lonceng pintu terbuka terdengar begitu nyaring. Lalu, tiba-tiba, sesosok anak kecil berlari ke arahnya dengan wajah begitu sumringah. 

"Bea!" pekik Bianca dengan senang. Cepat-cepat, dia berdiri, lalu berjongkok menyambut Bea dalam pelukannya. 

"Boo lindu cama Mama," kata Bea belepotan begitu menggemaskan, memeluk Bianca dengan erat. 

"Dengan siapa kau datang?" tanya Bianca setelah melepaskan pelukan tersebut. 

"Cama Papa." 

Tepat setelah Bea seperti itu, orang yang selama ini menghantui pikiran Bianca, muncul dari arah pintu dan mendekatinya. Lagi-lagi, momen seperti ini terulang kembali. Mata Bianca tak berkedip, seolah begitu terpesona dengan ketampanan yang dimiliki Papa Bea. Dan juga, jantungnya kembali berdetak kencang tak karuan dengan liar, seolah berusaha melompat keluar dari tempatnya. 

"Bianca, apa kabar?" 

Saat suara lelaki itu menyapanya, Bianca bisa merasakan hatinya bergetar. Suara itu terdengar begitu berat, dan entah kenapa, Bianca merasa begitu familiar. Rasa rindu yang dia tak tahu muncul dari mana, menguar begitu saja membuatnya menjadi gelisah. 

"Apa ini calon suamimu, Bianca?" 

Sampai sebuah suara, membuat lamunan Bianca buyar. Wanita itu terperanjat kaget, saat melihat Maxim mendekati Papa Bea dengan sorot mata tahan. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status