Share

3. Pulang

"Boo, ayo tidur, ini sudah malam." 

Seruan tegas penuh perintah tiba-tiba mengalihkan Bea dan Bianca yang sedang bermain ular tangga di ruangan khusus bermain. Bianca segera duduk tegak, dan lagi-lagi dia menjadi gugup saat harus berhadapan dengan Papa Bea. 

Tadi, saat pertemuan pertama mereka, keduanya hanya berbincang sebentar sebelum akhirnya Papa Bea menerima telepon dan meninggalkan mereka. Bea yang masih ingin bersama dirinya, memaksanya untuk ikut bermain. Bianca sudah menolak halus, bagaimana pun dia harus pulang untuk melihat tokonya lagi. Tetapi, lagi-lagi Bea menangis dan merengek padanya yang membuat Bianca kalah telak. 

Untung saja selama beberapa jam terakhir ini, Papa Bea tak ikut bermain. Mau bagaimana pun, Bianca merasa tak nyaman. Karena Papa Bea telah membuat jantungnya berdegup kencang dengan liar sore tadi. 

Tapi kini, lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Dan lagi-lagi, Bianca tak bisa mengontrol detak jantungnya. Cepat-cepat dia mengalihkan pandang, dan berusaha menenangkan dirinya sendiri. 

"Boo," panggil Papa Boo lagi, kini ikut berjongkok di hadapan sang anak. 

Bianca mati-matian tak menoleh, memilih untuk menunduk. 

"No, Papa, ini beyum malam. Tuh iat, macih jam tujuh," tolak Bea menggeleng, menyibukkan diri dengan permainannya. 

"Tapi pengawal bilang tadi siang Boo tidak tidur," tutur Papa Bea lembut, kembali membujuk. "Tidur, yuk, kita bisa main lagi besok." 

Boo cemberut, ingin sekali dia menolak. Tapi saat melihat Papanya menatap lekat penuh ketegasan, dia tak berani membantah. "Boo mau tidul kalau ditemani sama Mama dan Papa." 

Papa Bea menepuk dahinya frustasi. "Boo sayang, Tante ini bukan Mamamu, Nak. Boo tidur sama Papa saja, yuk." 

"Gak mau, Boo amu cama Mama cama Papa." Bea merajuk, cemberut dengan kedua tangan saling melipat di dada. 

"Tapi setelah itu Boo janji akan tidur, ya," bujuk Papa Bea lagi. 

Bianca yang mendengar itu melotot, bagaimana bisa Papa Bea menyetujui hal tersebut. Dia ingin membantah, tapi Bea sudah menarik tangannya. Raut wajah bahagia bocah tersebut, membuat hati Bianca meringis karena tak mampu menolak. Dia benar-benar tak ingin membuat bocah itu merasa sedih. 

Akhirnya, Bianca hanya bisa menurut saat Bea mengajaknya ke kamar. Bocah itu mapan, menarik Bianca untuk berbaring di sisi satunya. Dan tak lama, Bianca melihat Papa Bea ikut menyusul sambil membawa buku bacaan dongeng. 

"Mama peyuk Boo." 

Bianca memaksakan senyum, saat menuruti permintaan konyol Bea. Dan saat dia mendongak, tak sengaja matanya bertatapan dengan mata Papa Bea. Dia terdiam memandangi lelaki itu beberapa saat, sampai Papa Bea berdehem membuang wajah. 

"Pada suatu hari …" 

Papa Bea begitu pengertian, membacakan dongeng untuk anaknya dengan telaten. Bianca tetap diam menyimak, sambil mengusap-usap kepala Bea dengan lembut. Entah apa yang terjadi, Bianca juga ikut mengantuk. Tak henti-hentinya dia menguap beberapa kali. 

"Bianca." 

Sampai sebuah suara memanggilnya, membuatnya terkejut. Bianca membuka matanya tergesa, dan bisa melihat Papa Boo sedang tersenyum padanya. "Ya?" sahutnya menjawab. 

"Ayo keluar, Boo sudah tidur," ajak ayah Bea. 

Bianca menunduk, dan dia baru sadar ternyata bocah kecil itu sudah memejamkan mata pulas. Pelan-pelan, dia melepaskan pelukan, lalu bangun dari ranjang. Bianca benar-benar merasa malu, karena tak sengaja ikut tertidur saat dibacakan dongeng oleh Papa Bea. 

"Kumpulkan nyawamu terlebih dulu, sebelum bersiap untuk jalan," perintah Papa Bea terkekeh kecil. 

"I-iya, Tuan." Bianca hanya bisa mengangguk, sambil meremas kedua tangannya, malu. 

Akhirnya setelah Bianca sepenuhnya sadar, Papa Bea mengajaknya keluar. Dia hanya bisa menurut, saat lelaki itu membawanya turun ke ruang makan. 

"Makanlah, aku tahu kau tadi tidak sempat makan karena terus-terusan menemani Boo," kata Papa Bea, menarik kursi dan meminta Bianca untuk duduk. 

Bianca menurut dengan baik. Tak sedikit pun dia membantah, karena bagaimana pun dia memang merasakan perutnya lapar saat ini. Melihat banyaknya makanan yang tersaji di meja, dia ingin cepat-cepat melihatnya.

"Terima kasih, Tuan," kata Bianca tersenyum tipis menatap Papa Bea. 

Bryan mengangguk, dan ikut duduk di hadapan Bianca dan menemani wanita itu makan. 

Tak ada yang bersuara setelah itu, hanya ada suara sendok dan garpu yang berdenting ketika menyentuh piring. Keduanya sama-sama menikmati makan dalam diam. Entah karena makanannya terasa nikmat, atau malah karena canggung tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. 

"Aku sudah kenyang." Hampir setengah jam, akhirnya Bianca menyelesaikan makannya. Dia yang gugup ditemani Bryan, hanya memakan makanannya sedikit. Wanita itu memilih untuk mengakhiri semuanya, sambil mengusap mulutnya dengan serbet putih yang tersedia di depannya. 

"Kau hanya makan sedikit, bagaimana bisa dianggap kenyang?" tanya Bryan, mengangkat sebelah alisnya menatap Bianca heran. 

"Begitulah kenyataannya," jawab Bianca seenaknya. 

Bryan mengangguk-anggukan kepala. Lalu menyelesaikan suapan terakhirnya, sebelum meraih gelas air di depannya. Tepat setelah dia meneguk hampir setengah isinya, dia menatap Bianca dan bertanya, "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" 

"Tentu saja aku ingin pulang. Lagi pula, Bea sudah tertidur sekarang, dia tak akan menahanku lagi. Kemungkinan besok juga dia akan melupakanku," kata Bianca terus terang. 

"Jadi, kau berniat tidak berurusan lagi dengan anakku?" tanya Bryan dengan suara rendah sepertinya mengintimidasi.

Hal ini membuat Bianca menjadi gugup. Dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Bukan begitu maksudku, Tuan. Hanya saja … kau tahu sendiri, putrimu itu selalu memanggilku Mama. Jujur, aku merasa tertekan, dan aku juga merasa bersalah. Bagaimana jika nantinya Ibu kandung Bea, atau istrimu tersinggung dengan hal ini? Aku benar-benar tidak ingin membuat masalah baru."

"Baiklah, kalau begitu aku akan mengantarmu pulang." 

Bianca mengira, Bryan akan marah. Tapi ternyata lelaki itu berbicara lembut padanya. Padahal, tadi Bianca bisa melihat jelas jika lelaki itu menatapnya tajam setelah berbicara seperti itu. Hati Bianca merasa heran, dan ingin sekali mempertanyakan. Namun, logika Bianca meminta berhenti karena tak ingin mencampuri urusan orang lain. 

Akhirnya, setelah menyetujuinya, kini Bianca diajak Bryan menuju halaman rumah di mana mobil terparkir. Lelaki itu cukup sopan untuk membukakan pintu untuknya sebelum masuk. 

Selama perjalanan itu, suasana mobil benar-benar begitu sunyi. Bianca merasa canggung, ingin sekali dia mengajak Bryan mengobrol, tapi dia takut jika lelaki itu tak akan menanggapi. Hal ini akhirnya membuatnya memilih menyandarkan tubuh sambil memandangi jalanan yang begitu kerlap-kerlip di malam hari. 

"Jadi, yang mana rumahmu?" 

Pertanyaan Bryan membuat Bianca tersadar, saking sibuknya dengan lamunanya sendiri, dia sampai tak tahu jika mobil yang ditumpangi telah masuk di kawasan perumahannya. Wanita itu mengatur duduknya kembali tegas, lalu memperhatikan sekitar. 

"Itu, gerbang warna hitam kanan jalan," tunjuknya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke depan pada Bryan. 

Bryan mengangguk, dan setelahnya tak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Dia terus melajukan mobilnya pelan, sampai akhirnya tiba di rumah yang ditunjuk Bianca tadi. Setelahnya, dia membantu wanita itu untuk keluar mobil. 

"Terima kasih, Tuan," kata Bianca tersenyum manis, berusaha bersikap sopan karena telah diantarkan pulang. 

"Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Bryan, berpamitan. 

Bianca mengangguk. "Hati-hati," ucapnya pelan, sambil terus memandangi Bryan masuk ke dalam mobil. 

Bahkan saat mobil itu mulai melaju meninggalkan rumahnya, Bianca terus saja mengamati. Entah kenapa, ada perasaan tak rela dalam hatinya saat melihat kepergian Bryan. Dan dia merasa jika dirinya telah gila, karena mengharapkan Bryan selalu ada di sisinya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status