"Boo … ayo tidur, ini sudah malam."
Seruan tegas penuh perintah tiba-tiba mengalihkan Bea dan Bianca yang sedang bermain ular tangga di ruangan khusus bermain. Bianca segera duduk tegak dan lagi-lagi dia menjadi gugup saat harus berhadapan dengan Papa Bea. Tadi saat pertemuan pertama mereka, keduanya hanya berbincang sebentar sebelum akhirnya Papa Bea menerima telepon dan meninggalkan mereka. Bea yang masih ingin bersama dirinya, memaksanya untuk ikut bermain. Bianca sebenarnya sudah menolak halus karena mau bagaimana pun dia harus pulang untuk melihat tokonya lagi. Tetapi, lagi-lagi Bea menangis dan merengek padanya yang membuat Bianca kalah telak, tidak tega. Untung saja selama beberapa jam terakhir ini, Papa Bea tak ikut bermain. Mau bagaimana pun, Bianca merasa tak nyaman. Karena Papa Bea telah membuat jantungnya berdegup kencang dengan liar sore tadi. Tapi kini lelaki itu kembali muncul di hadapannya. Dan lagi-lagi, Bianca tak bisa mengontrol detak jantungnya. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Boo," panggil Papa Boo lagi dan kini ikut berjongkok di hadapan sang anak. Bianca mati-matian tak menoleh, memilih untuk menunduk. Godaan pria di hadapannya itu sungguh maut. "No, Papa, ini beyum malam. Tuh iat, macih jam tujuh," tolak Bea menggeleng, menyibukkan diri dengan permainannya. "Tapi pengawal bilang tadi siang Boo tidak tidur," tutur Papa Bea lembut, kembali membujuk. "Tidur, yuk? Kita bisa main lagi besok." Boo cemberut, ingin sekali dia menolak. Tapi saat melihat Papanya menatap lekat penuh ketegasan, dia tak berani membantah. "Boo mau tidul kalau ditemani sama Mama dan Papa." Papa Bea menepuk dahinya frustasi. "Boo sayang, Tante ini bukan Mamamu, Nak. Boo tidur sama Papa saja, yuk." "Didak amu, Boo amu cama Mama cama Papa." Bea merajuk, cemberut dengan kedua tangan saling melipat di dada. "Tapi setelah itu Boo janji akan tidur, ya?" bujuk Papa Bea lagi. Memastikan kalau kali ini bukan hanya akal-akalan putrinya saja. Bianca yang mendengar itu melotot. Bagaimana bisa Papa Bea menyetujui hal tersebut? Bianca ingin membantah, tapi Bea sudah menarik tangannya. Raut wajah bahagia bocah tersebut, membuat hati Bianca meringis karena tak mampu menolak. Dia benar-benar tak ingin membuat bocah itu merasa sedih. Akhirnya, Bianca hanya bisa menurut saat Bea mengajaknya ke kamar. Bocah itu segera mengambil posisi, menarik Bianca untuk berbaring di sisi satunya. Dan tak lama, Bianca melihat Papa Bea ikut menyusul sambil membawa buku bacaan dongeng. "Mama peyuk Boo." Bianca memaksakan senyum karena harus menuruti permintaan konyol Bea. Dan saat dia mendongak, tak sengaja matanya bertatapan dengan mata Papa Bea. Dia terdiam memandangi lelaki itu beberapa saat, sampai Papa Bea berdehem membuang wajah. "Pada suatu hari …" Papa Bea begitu pengertian membacakan dongeng untuk anaknya dengan sangat lembut. Bianca tetap diam menyimak, sambil mengusap-usap kepala Bea lembut. Entah apa yang terjadi, Bianca juga ikut mengantuk. Tak henti-hentinya dia menguap beberapa kali. "Bianca." Sampai sebuah suara memanggil, membuatnya terkejut. Bianca membuka matanya tergesa dan bisa melihat Papa Boo sedang tersenyum padanya. "Ya?" sahutnya menjawab. "Ayo keluar, Boo sudah tidur," ajak ayah Bea. Bianca menunduk, dan dia baru sadar ternyata bocah kecil itu sudah memejamkan mata pulas. Pelan-pelan, dia melepaskan pelukan itu lalu bangun dari ranjang. Bianca benar-benar merasa malu, karena tak sengaja ikut tertidur saat dibacakan dongeng oleh Papa Bea. "Kumpulkan nyawamu terlebih dulu, sebelum bersiap untuk jalan," perintah Papa Bea terkekeh kecil. "I–iya, Tuan." Bianca hanya bisa mengangguk, sambil meremas kedua tangannya malu. Akhirnya setelah Bianca sepenuhnya sadar, Papa Bea mengajaknya keluar. Dia hanya bisa menurut saat lelaki itu membawanya turun ke ruang makan. "Makanlah. Aku tahu kau tadi tidak sempat makan karena terus-terusan menemani Boo," kata Papa Bea, menarik kursi dan meminta Bianca untuk duduk. Bianca menurut dengan baik. Tak sedikit pun dia membantah karena bagaimana pun dia memang merasakan perutnya lapar saat ini. Melihat banyaknya makanan yang tersaji di meja, dia ingin cepat-cepat mengambilnya. "Terima kasih, Tuan," kata Bianca tersenyum tipis menatap Papa Bea. Bryan mengangguk, dan ikut duduk di hadapan Bianca seraya menemani wanita itu makan. Tak ada yang bersuara setelah itu kecuali suara sendok dan garpu yang berdenting ketika menyentuh piring. Keduanya sama-sama menikmati makan dalam diam. Entah karena makanannya terasa nikmat, atau malah karena canggung dan tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. "Aku sudah kenyang." Hampir setengah jam, akhirnya Bianca menyelesaikan makannya. Dia yang gugup ditemani Bryan hanya mampu menikmati sedikit menu makanan. Wanita itu memilih untuk mengakhiri semuanya, sambil mengusap mulutnya dengan serbet putih yang tersedia di depannya. "Kau hanya makan sedikit, bagaimana bisa dianggap kenyang?" tanya Bryan, mengangkat sebelah alisnya menatap Bianca heran. "Begitulah kenyataannya," jawab Bianca sekenanya. Bryan mengangguk-anggukan kepala lalu menyelesaikan suapan terakhirnya sebelum meraih gelas air di depannya. Tepat setelah dia meneguk hampir setengah isinya, dia menatap Bianca dan bertanya, "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" "Tentu saja aku ingin pulang. Lagi pula, Bea sudah tertidur sekarang, dia tidak akan menahanku lagi. Kemungkinan besok juga dia akan melupakanku," kata Bianca terus terang. "Jadi, kau berniat tidak berurusan lagi dengan anakku?" tanya Bryan dengan suara rendah sepertinya mengintimidasi. Hal ini membuat Bianca menjadi gugup. Dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Bukan begitu maksudku, Tuan. Hanya saja … kau tahu sendiri, putrimu itu selalu memanggilku Mama. Jujur, aku merasa tertekan, dan aku juga merasa bersalah. Bagaimana jika nantinya Ibu kandung Bea, atau istrimu tersinggung dengan hal ini? Aku benar-benar tidak ingin membuat masalah baru." "Baiklah. Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang." Bianca mengira, Bryan akan marah. Tapi ternyata lelaki itu berbicara lembut padanya. Padahal tadi Bianca bisa melihat jelas jika lelaki itu menatapnya tajam setelah berbicara seperti itu. Hati Bianca merasa heran, dan ingin sekali mempertanyakan. Namun, logika Bianca meminta berhenti karena tak ingin mencampuri urusan orang lain. Akhirnya setelah menyetujui, kini Bianca diajak Bryan menuju halaman rumah di mana mobil terparkir. Lelaki itu cukup sopan untuk membukakan pintu sebelum masuk ke mobil. Selama perjalanan itu, suasana mobil benar-benar begitu sunyi. Bianca merasa canggung saat ini. Ingin sekali dia mengajak Bryan mengobrol, tapi dia takut jika lelaki itu tak akan menanggapi. Hal ini yang membuat Bianca memilih diam dan menyandarkan tubuh sambil memandangi jalanan yang begitu kerlap-kerlip di malam hari. "Jadi, yang mana rumahmu?" Pertanyaan Bryan membuat Bianca tersadar. Saking sibuknya dengan lamunan sendiri, dia sampai tak tahu jika mobil yang ditumpangi telah masuk di kawasan perumahan. Wanita itu mengatur duduknya kembali tegak lalu memperhatikan sekitar. "Itu, gerbang warna hitam kanan jalan," tunjuknya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke depan pada Bryan. Bryan mengangguk dan setelah itu tak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibirnya. Dia terus melajukan mobilnya pelan, sampai akhirnya tiba di rumah yang ditunjuk Bianca tadi. Setelahnya, dia membantu wanita itu untuk keluar mobil. "Terima kasih, Tuan," kata Bianca tersenyum manis, berusaha bersikap sopan karena telah diantarkan pulang. "Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Bryan, berpamitan. Bianca mengangguk. "Hati-hati," ucapnya pelan, sambil terus memandangi Bryan masuk ke dalam mobil. Bahkan saat mobil itu mulai melaju meninggalkan rumahnya, Bianca terus saja mengamati. Entah kenapa, ada perasaan tak rela dalam hatinya saat melihat kepergian Bryan. Dan dia merasa jika dirinya telah gila, karena mengharapkan Bryan selalu ada di sisinya. ***"Tuan, anda baik-baik saja?" Melihat Bryan yang seperti orang kebingungan tentu saja membuat Bianca sendiri iba. "Lupakan saja. Masuklah ke dalam kamar, Bianca. Di sini sangat dingin dan kau akan kedinginan kalau terlalu lama di sini." "Saya baik-baik saja, Tuan." "Masuklah ke dalam, saya tidak menerima penolakan." Bianca pun akhirnya menurut, dari pada dia harus terus berdebat dengan Bryan dan jelas itu tidak akan ada ujungnya. Dengan perlahan Bianca kembali masuk ke dalam diikuti oleh Bryan di belakangnya. Sesekali Bianca melirik ke belakang dan mendapati Bryan berjalan sambil menundukkan kepalanya. "Saya akan membuatkan teh untukmu, jadi tunggulah sebentar," ucap Bryan. "T—tidak usah, Tuan. Saya akan membuatnya sendiri saja," sahut Bianca cepat. Bryan yang baru saja ingin ke luar langsung menghentikan langkahnya. "Kau tahu kan jika saya tidak menerima penolakan, Bianca? Jadi apa yang saya mau, akan saya lakukan." "Baiklah kalau begitu, Tuan." Bianca sudah tidak mau te
Mengingat kejadian di kolam renang tadi, Bianca kembali merasakan sensasi luar biasa. Pikirannya tiba-tiba kembali ke kejadian itu hingga tubuhnya seperti di bawa ikut juga. Sampai ketika ciuman mereka terlepas, beberapa detik setelahnya Bianca masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Hingga tiba-tiba Bianca mendengar jika Bryan berdehem menyadarkan dirinya. "M—maafkan saya, Tuan." Ucapan minta maaf pertama kali Bianca katakan. Bryan menggeleng karena laki-laki itu berpikir jika bukan Bianca yang salah melainkan dirinya. "Bukan kau yang salah, Bianca. Tapi saya, jadi saya minta maaf untuk kelancangan saya menciummu." Bukankah mereka saling menikmati dan saling menerima? Bianca berpikir bahwa mereka melakukannya karena suasana yang mendukung. "Kita sama-sama menikmati, Tuan. Saya pikir tidak ada yang salah di sini." "Menikmati?" "Y—ya, menikmati." "Kau menjadi nakal ya sekarang? Apa kita boleh melanjutkannya lagi? Saya rasa yang tadi kurang." Demi Tuhan apa yang dikat
"Tuan, Bea sudah tidur dengan nyaman dan saya sudah memastikannya," ucap Bianca sambil menundukkan kepalanya. Aura mengintimidasi dari wanita yang sudah cukup berumur di depannya membuat Bianca sangat gugup. "Siapa dia, Bryan?" tanya Ibu Bryan, Eveline. Bryan bingung harus mengenalkan Bianca pada Eveline sebagai siapa di rumah ini. Namun, sepintas ide terlintas di otaknya membuat Bryan tersenyum dalam hati. "Dia adalah baby sitter Boo," jawab Bryan sambil memberikan kode pada Bianca agar menganggukkan kepalanya. "Benar, saya adalah baby sitter di sini," sahut Bianca patuh layaknya sebagai bawahan sungguhan. Eveline jelas tidak langsung percaya begitu saja karena sikap Bianca begitu mencurigakan. Namun, dia hanya bisa menganggukkan kepalanya karena ada Bryan di sana. Bianca sendiri hanya bisa pasrah dengan peran palsunya sebagai baby sitter. "Di mana Bea?" tanya Eveline. "Dia sedang tidur, Ma. Apa perlu aku bangunkan?" jawab Bryan. Eveline menganggukkan kepalanya. Bryan member
Bryan menatap Bianca dengan tatapan penuh harap. Entah mengapa membiarkan Bianca pergi, membuat Bryan sendiri merasakan hal aneh. Apalagi Bea begitu menyukai Bianca. "Apakah kau bisa tinggal di sini sehari atau dua hari lagi, Bianca? Saya melihat Boo yang begitu bahagia bersamamu serta Boo yang menjadi gadis kecil penurut, membuat saya enggan untuk mengatakan iya ketika kau izin untuk kembali ke rumah," ujar Bryan panjang lebar. "T—tapi bukankah tugas saya sudah selesai, Tuan? Selagi Bea sedang tidur maka saya bisa pulang," sahut Bianca. Namun, Bryan malah menggelengkan kepalanya. Dia tidak mungkin membiarkan Bianca untuk pergi. Jika Bea bangun nanti apa yang harus dia katakan? "Boo sudah menganggapmu sebagai Ibunya, Bianca. Tolong bantu saya kali ini saja, kau tahu pasti bagaimana Boo begitu merindukan sosok Ibu dalam hidupnya." Bianca terdiam. Niat awalnya ingin pulang, namun ketika Bryan mengatakan itu membuat Bianca mengurungkan niatnya. Seperti ada perasaan aneh yang dia ras
Bianca bergegas untuk turun ke bawah. Namun sebelum turun dia mengecek kenyamanan Bea agar gadis kecil itu tidak terbangun ketika dia sedang melakukan sesi tanya jawab pada sang pelayan di rumah itu. Sesampainya di dapur, Bianca berpura-pura untuk mengambil minum. Tidak, lebih tepatnya dia tidak akan langsung mengatakan inti dari alasannya kembali ke dapur dan sedikit Bianca merasa bersyukur karena pelayan tadi masih berada di dapur. "Apa Anda masih ingin tahu jawabannya?" Pelayan itu tiba-tiba menoleh ke arah Bianca dengan tatapan yang sulit diartikan. Untung saja Bianca pintar dalam mengekspresikan perasaan serta wajahnya. "Apa saya boleh tahu?" "Tentu, saya akan menceritakannya pada Anda." Bianca tersenyum. Dia bersyukur jika pelayan itu mau terbuka dengannya meskipun Bianca tidak mungkin bertanya secara langsung pada Bryan. Keberanian dari mana jika Bianca memang berani? "Terima kasih." "Sebenarnya saya kurang tahu cerita keseluruhannya. Tapi dari yang saya tahu, Tuan membes
Bianca mencoba untuk terus menenangkan Bea yang sepertinya belum mengikhlaskan kepergian Bryan. Namun, sebisa mungkin dia akan berusaha untuk membuat Bea tenang dan menurut padanya. "Sayang, lebih baik kita main saja bagaimana? Biar Bea tidak sedih lagi," ucap Bianca pada Bea namun gadis kecil itu tetap menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bianca melihat kepergian Bryan. Dia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan, tapi sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya membuat Bea tetap tenang. "Boo mau Papa teltap di cini," ujar Bea sambil mengelap air matanya namun tidak kunjung mengering. "Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi Bea harus belajar mengikhlaskan, ya? Bea tidak boleh cengeng seperti ini. Bagaimana kalau Bea berhenti menangis? Mama berjanji akan membawa Bea ke pasar malam?" tawar Bianca membuat Bea yang tadinya menunduk langsung mengangkat kepalanya semangat. "Benalkah?" "Benar, Sayang. Tapi Bea harus berhenti menangis dulu." Bea pun menganggukkan kepalanya. Gadis ke