Share

5. Kebersamaan

"Tidak, tidak, kau salah paham. Bukan dia!" sahut Bianca cepat, dia segera bangun, dan berdiri di samping Papa Bea seraya menatap Maxim serius. 

"Kukira dia, jika dia, aku pasti sudah melampiaskan kekesalanku," gumam Maxim berdecak. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu mendekati Bryan dan menepuk pundak lelaki itu dua kali. "Hati-hati, Bro, jangan sampai terpesona pada pemilik toko kue ini. Dia sudah punya calon suami. Jika kau nekat, kau bisa patah hati sepertiku," imbuhnya berpura-pura sedih, lalu berpaling pergi dari sana. 

Bianca hanya meringis mendengar ucapan Maxim, dan dia memaksakan senyumnya saat Papa Bea itu menatapnya lekat. 

"Bu, ini siapa? Ganteng amat," bisik Mary yang tiba-tiba ada di dekatnya, merangkul tangannya erat. 

Bianca tampak bingung menjelaskan. 

"Apa beneran dia bukan calon suami Ibu? Jika beneran, bolehkan saya berkenalan dengannya?" bisik Mary lagi sambil terkekeh pelan. 

"Mary, jangan seperti itu. Ayo yang sopan, dia kenalanku. Lagi pula, bukankah kamu banyak pekerjaan, sana kembali!" keluh Bianca yang mulai tidak nyaman karena tingkah salah satu karyawannya tersebut. 

Mary mengangguk pasrah, meskipun cemberut dan seperti enggan, dia tetap pergi dari sana. Namun, sebelum itu dia mengerlingkan salah satu matanya pada Bryan. 

Deheman suara batuk yang dibuat-buat papa Bea itu membuat Bianca merasa malu. Dia segera mendekat kembali pada lelaki itu. "Bisakah kita bicara di taman saja? Aku sungguh tak nyaman di sini," kata Bianca. 

"Sayang sekali, padahal aku ingin mencicipi kue buatanmu," jawab Papa Bea dengan wajahnya yang datar, seolah tak menampilkan emosi apapun. 

Bianca meringis, lalu menoleh ke sekitar. Melihat pelanggan setia, bahkan para karyawannya menatap lekat ke arahnya, benar-benar membuatnya salah tingkah. 

"Kalau begitu aku akan mengambilkan beberapa kue, bisakah kau tunggu saja di taman seberang jalan? Aku akan menyusul." Bianca melirik ke arah pintu keluar. 

Melihat Papa Bea terdiam, Bianca menganggap itu sebuah persetujuan. Lalu dirinya cepat-cepat masuk ke dalam, menyiapkan beberapa wadah dan mengambil beberapa varian kue. Tak lupa, dia juga membawa minuman agar bisa dinikmati bersama. 

Tepat ketika dia selesai dan ingin menyusul, dia terkejut melihat Papa Bea dan Bea masih ada di toko kuenya. Mereka berdua duduk di dekat pintu keluar, seolah sedang menunggunya. Melihat ini, cepat-cepat dia mendekat. 

"Bukankah aku mengatakan untuk menunggu di taman?" tanya Bianca terkesan menuduh sedikit kesal. 

"Boo tidak mau," jawab Papa Bea singkat. 

"Boo amu nunggu Mama. Kita jalan bayeng-bayeng yuk." 

Mendengar ucapan Bea, membuat Bianca mendesah pelan. Dia berusaha tersenyum, lalu sedikit berjongkok. "Ayo." 

Baru saja Bianca menggandeng Bea dan mengajak bocah itu keluar, seseorang menghadang langkahnya. 

"Mama? Bocah itu memanggilmu Mama?" 

Mata Bianca melebar, tak menyangka jika Ibunya akan datang ke sini. Cepat-cepat, dia menggandeng wanita paruh baya itu untuk sedikit menjauh di antara kerumunan. 

"Bu, nanti Bianca akan menjelaskan semuanya. Ibu percaya, kan sama Bianca? Jangan berpikir buruk, oke?" 

Tanpa menunggu respon jawaban sang Ibu, Bianca cepat-cepat kembali ke arah Bea karena bocah itu merengek. Dia hanya bisa memberikan senyuman paksa, saat melihat Ibunya kembali. 

Akhirnya, setelah ke luar dari toko kue, Bianca mengajak Bea berjalan sedikit tergesa menyeberangi jalan. Sungguh, dia tak ingin seorang pun tahu tentang kesalahpahaman yang terjadi. Dia tidak mau hal ini menjadi masalah, dan merusak nama baik tokonya. 

Wanita itu terlihat bahagia, saat menggandeng Bea. Meninggalkan Papa Bea di belakang, yang menjadi pelayan pembawa bekal berisikan roti. 

Tepat ketika mereka sampai di bawah sebuah pohon yang rimbun, Bianca menggelar satu tikar yang dibawanya tadi dari toko. Lalu mengambil keranjang dari tangan papa Bea, dan mengeluarkan semua wadahnya. 

"Yummy … Boo cuka kue," teriak Bea girang, melihat black forest tersedia di hadapannya. Bocah kecil itu bertepuk tangan dengan riang. 

"Jangan banyak-banyak, Boo," peringat papa Bea, sambil mengusap bahu anaknya. 

"Api, Papa," keluh Bea cemberut. 

"Jangan banyak-banyak, itu bisa merusak gigimu," kata Papa Bea tegas. 

Melihat itu, Bianca langsung menengahi. "Tak apa, Bea, kau boleh makan asalkan setelah ini kau harus sikat gigi sampai bersih. Agar kuman yang tertinggal tak merusak gigimu." 

"Oke, Mama, yee!" teriak Bea senang mendapat izin. 

Bianca tersenyum, dan dia meringis saat Papa Bea menatapnya tajam. 

"Jangan merusak salah satu cara mengajarku, Bianca," tutur papa Bea kesal. 

"Aku tak merusak, Tuan. Tapi kau terlalu tegas, Bea masih kecil, dia hanya perlu diberi arahan dan pengertian," jawab Bianca berani. 

Papa Bea mendengkus, dia baru saja mengalihkan pandangan ketika sebuah kue tiba-tiba ada di hadapannya. Saat menoleh, dia mendapati Bianca tersenyum mengulurkan tangan. 

"Coba ini." 

Papa Bea awalnya ragu, tapi segera menerima kue pemberian Bianca. Dia mencoba sesuap, dan lama-lama menjadi ketagihan. Rasa manis yang ada di kue buatan Bianca tak terlalu lekat, dan begitu pas terasa di lidah. 

"Ini benar-benar enak," kata Papa Bea. 

"Terima kasih," tutur Bianca. Dia lalu menyodorkan minuman kopi dingin pada papa Bea. Melihat Papa Bea menerimanya, membuat hati Bianca merasa senang. 

"Pelan-pelan makannya, Bea, mulutmu belepotan." Saat Bianca mengalihkan pandang pada Bea, dia terkejut melihat bocah itu makan dengan lahap, bahkan sekitar mulutnya sampai belepotan. 

Hal ini membuat Bianca terkekeh, untung saja tadi dia membawa tisu. Dengan cepat, dia membantu Bea membersihkan diri. 

"Boo memang seperti itu jika makan. Apalagi saat makannya begitu enak," sahut Papa Bea tiba-tiba. 

"Anak kecil memang seperti itu," ujar Bianca. Dia menoleh pada Papa Bea, dan melihat jika mulut lelaki itu juga belepotan, dia reflek mengulurkan tangan mengusap. 

Gerakannya yang tiba-tiba ini membuatnya terkejut sendiri, dan matanya melebar melihat Papa Bea menatapnya lekat. "Maaf, maaf, aku tidak sengaja. Aku … aku hanya refleks seperti yang kulakukan pada Bea tadi," ucapnya cepat dengan gugup. 

"Tidak apa, aku hanya terkejut sedikit. Karena sudah lama tak berdekatan dengan wanita," jawab Papa Bea terkekeh pelan. 

Pandangan Bianca kembali pada lelaki itu, melihat lesung pipit yang selama ini tersembunyi di wajah dingin lelaki itu, jantungnya kembali berdegup dengan kencang. Mata Bianca tak berkedip, saat melihat keindahan yang tertampang nyata di hadapannya itu. 

"Mama, Boo mau main." 

Sampai suara Bea mengejutkan Bianca. Wanita itu tersadar, dan buru-buru menggelengkan kepala menyadarkan diri. Entah apa yang terjadi, tapi setiap kali dia berdekatan dengan papa Bea, sepertinya dia akan menjadi seseorang yang lemot. 

Cepat-cepat, dia memusatkan perhatiannya pada bocah selamat itu. "Jangan jauh-jauh, ya, mainnya. Ingat, langsung kembali begitu telah selesai," ucapnya lembut. 

"Ciap," jawab Bea menggemaskan, sambil mengangkat salah satu tangannya dengan hormat. Setelah itu, dia berlari cekikikan mengitari taman. 

Selepas kepergian Bea, suasana mendadak menjadi canggung. Bianca memilih menikmati salah satu kue yang dibawanya tadi. 

"Jadi, sudah berapa lama kau membuka toko kue?" 

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, dan Bianca segera mempunyai kesempatan untuk menatap Papa Bea lagi. Sambil tersenyum, dia menjawab, "Hampir lima tahun, mungkin." 

"Kue buatanmu sangat enak, bisakah kapan-kapan kau memperlihatkan padaku saat membuatnya?" tanya papa Bea. 

"Tentu saja, aku akan dengan senang–" 

Belum sempat Bianca menyelesaikan ucapannya, tangis Bea terdengar begitu nyaring. Refleks Bianca menoleh, mendapati Bea tengah terjatuh, dia segera berdiri dan berlari menghampiri dengan panik. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status