Malam menyelimuti kota seperti selubung gelap yang menahan rahasia. Rainer, Elyse, dan Aedric berlari di gang-gang sempit, napas mereka terengah-engah setelah pelarian dari arsip tersembunyi. Udara dingin menusuk kulit mereka, namun adrenalin yang masih mengalir di tubuh membuat mereka tetap bergerak.Di belakang, suara langkah kaki dan teriakan penjaga menggema. Pengejaran belum berakhir."Kita harus mencari tempat persembunyian," ujar Elyse, suaranya terputus-putus oleh napas yang tak beraturan.Rainer mengangguk. "Aku tahu tempat yang aman. Ikuti aku."Dia membawa mereka melalui lorong sempit yang berkelok-kelok, melompati tumpukan peti kayu, dan menyelinap melewati jalanan belakang yang gelap. Setiap belokan dihafalnya dengan teliti. Ini adalah kota yang sudah lama dia pelajari, dan sekarang pengetahuannya membantunya menyelamatkan nyawa.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mereka tiba di depan sebuah bangunan tua yang tampak ditinggalkan. Rainer mengetuk pintu deng
Dini hari menjelang, tetapi kota masih dilanda kekacauan. Api menyala di berbagai sudut distrik bawah, menerangi langit yang gelap dengan cahaya merah yang mengancam. Suara pertempuran, jeritan, dan dentingan senjata terdengar di kejauhan. Revolusi yang direncanakan oleh Rainer telah dimulai lebih cepat dari yang diharapkan, dan mereka harus segera bergerak sebelum kerajaan merespons dengan kekuatan penuh.Di sebuah atap bangunan tua, Rainer, Elyse, Aedric, dan Liana mengamati situasi dari kejauhan. Dari posisi mereka, mereka bisa melihat kelompok pemberontak bertempur melawan penjaga kota di berbagai titik strategis."Mereka bertahan lebih lama dari yang kukira," gumam Aedric, mengamati sekelompok pemberontak yang berhasil menahan serangan penjaga kerajaan di persimpangan jalan utama.Liana menyeringai. "Orang-orangku tahu cara bertarung di jalanan. Mereka mungkin
Angin malam berhembus kencang, membawa aroma darah dan asap yang masih tersisa di udara. Kota telah berubah menjadi medan pertempuran, tetapi situasi mulai berbalik melawan pemberontak. Pasukan kerajaan yang lebih besar telah tiba, mengepung distrik-distrik yang sebelumnya berhasil direbut. Rainer tahu bahwa mereka tak punya pilihan selain mundur—untuk sementara.Di markas bawah tanah yang tersembunyi di antara reruntuhan distrik bawah, Rainer, Elyse, Aedric, Liana, dan beberapa pemimpin pemberontak berkumpul di sekitar meja kayu tua yang penuh dengan peta dan rencana strategi. Wajah-wajah mereka dipenuhi kelelahan, tetapi mata mereka tetap menyala dengan tekad."Kita harus pergi sebelum fajar," kata Rainer, suaranya tegas. "Jika kita tetap di sini, kita hanya akan dihancurkan satu per satu. Kita butuh waktu untuk menyusun kembali kekuatan dan mencari dukungan lebih besar."
Di dalam istana kerajaan, di balik dinding-dinding megah yang dipenuhi permadani emas dan lampu kristal yang berkilauan, sebuah pertemuan rahasia sedang berlangsung.Di ujung meja panjang, Duke Alistair duduk dengan anggun, jari-jarinya mengetuk permukaan meja dengan ritme perlahan. Matanya yang tajam menatap ke arah jenderal dan penasihat kerajaan yang berdiri di hadapannya."Jadi, kalian memberitahuku bahwa pemberontak itu masih hidup?" Suaranya tenang, tetapi ada ancaman terselubung di dalamnya.Jenderal Varian, seorang pria dengan armor perak yang terukir lambang kerajaan, menundukkan kepalanya sedikit. "Ya, Yang Mulia. Mereka berhasil melarikan diri ke pegunungan dan membentuk basis di sana. Kami telah mengumpulkan laporan dari mata-mata kami di kota. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mencari sekutu baru."Duke Alistair tersenyum tipis, mengambil cangkir anggurnya dan memutarnya perlahan sebelum menyeruputnya. "Menarik... Rainer tidak hanya bertahan, tapi juga berusaha mem
Callan tergeletak di tanah, darah menetes dari bahunya yang tertembus anak panah. Wajahnya masih menyeringai, meskipun rasa sakit jelas terlihat di matanya. Rainer menatapnya tanpa ekspresi, tetapi di dalam benaknya, pikirannya berputar cepat, mencari tahu bagaimana langkah selanjutnya.Elyse berdiri di sampingnya, pedangnya masih terangkat, matanya penuh kewaspadaan. Aedric, yang telah menembakkan panah tadi, tetap berada di posisi strategisnya, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan dari sang pembunuh."Ayo, katakan," Rainer berkata dengan nada tenang, tetapi penuh tekanan. "Siapa yang mengirimmu?"Callan tersenyum samar, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya. "Kau benar-benar berpikir aku akan memberitahumu begitu saja?"Rainer berlutut, menatap Callan dari dekat. "Kau sudah gagal dalam misimu. Tidak ada lagi yang bi
Langit kelabu menyelimuti pegunungan tempat markas Rainer berada. Angin dingin berhembus kencang, membawa kabar buruk yang baru saja mereka terima. Desa-desa yang mendukung perjuangan mereka sedang dibakar, rakyat biasa yang bersumpah setia pada mereka dieksekusi tanpa ampun. Duke Alistair telah memulai serangan balasannya, dan ini bukan lagi pertarungan kecil—ini adalah perang.Rainer berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja kayu di dalam tenda perencanaannya. Elyse, Aedric, dan beberapa pemimpin kelompok pemberontak lainnya menunggu arahannya."Kita harus bergerak cepat," kata Rainer akhirnya, suaranya datar tetapi penuh ketegasan. "Jika kita hanya diam dan membiarkan mereka menghancurkan desa-desa pendukung kita, kita akan kehilangan segalanya sebelum perang ini benar-benar dimulai."Elyse mengepalkan tangannya. "Apa kita akan menyerang balik?"
Benteng Blackthorn kini berada dalam kendali mereka. Namun, kemenangan ini bukan akhir dari perjuangan—ini baru permulaan.Di atas menara utama, Rainer mengamati dari kejauhan. Pasukan pemberontak mulai mengamankan area, membakar simbol kekuasaan Duke Alistair, dan merawat luka-luka mereka. Udara masih dipenuhi bau darah dan asap, sisa-sisa pertempuran yang baru saja terjadi.Elyse berdiri di sampingnya, menyeka darah dari pedangnya sebelum menyarungkannya kembali. "Kita menang," katanya, suaranya penuh kelegaan, tetapi matanya tetap tajam. "Tapi kita juga kehilangan banyak orang."Rainer mengangguk pelan. "Kemenangan selalu punya harga."Ia memandang ke arah lapangan dalam benteng, di mana beberapa orang yang menyerah sedang dikumpulkan. Callan sedang berbicara dengan mereka, menawarkan pilihan—bergabung atau pergi."Bagaimana dengan Valtherion?" tanya Elyse."Dia mundur," jawab Rainer. "Lukanya cukup parah, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah."Elyse menghela napas. "Itu b
Debu mulai mengendap, tetapi benteng masih bergetar akibat serangan dahsyat yang dilepaskan Lord Kael.Rainer bangkit perlahan, darah menetes dari pelipisnya, sementara suara gemuruh api dan teriakan para prajurit bergema di sekelilingnya. Benteng Blackthorn, yang baru saja mereka rebut, kini berada dalam bahaya besar.Kael melangkah maju dari reruntuhan, matanya yang tajam mengamati Rainer dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku mengerti sekarang," katanya dengan suara tenang namun berbahaya. "Kau bukan hanya pemberontak biasa. Kau adalah seseorang yang layak diperhitungkan."Rainer mengusap darah di wajahnya, lalu berdiri tegak. "Dan kau lebih dari sekadar anjing Duke Alistair."Kael menyeringai. "Mungkin begitu. Tapi yang lebih penting, aku datang untuk mengakhiri pemberontakan ini."Rainer menatap pasukan di belakang Kael—barisan prajurit elit dengan perisai hitam dan penyihir yang berdiri dalam formasi sempurna. Ini bukan pasukan biasa.Elyse berlari mendekat, pedangnya berlumuran dar
Langit malam menyelimuti dunia dengan kelam yang lebih pekat dari biasanya. Di luar ibu kota, jauh dari mata para penguasa dan rakyat biasa, Menara Bayangan berdiri di atas bukit batu yang tandus, dikelilingi reruntuhan peradaban lama yang telah lama dilupakan. Di dalam menara itu, sihir lama—sihir yang bahkan tidak dikenali oleh Akademi Sihir Pusat—masih hidup.Di tengah lingkaran sihir yang berpendar redup, pria berjubah ungu tua itu membuka matanya. Mereka bersinar hijau pucat, bukan karena sihir, tapi karena kekosongan yang menghuni raganya. Ia bukan lagi manusia biasa. Namanya telah lama dihapus dari sejarah, digantikan dengan satu julukan: Nihros, sang Pemelihara Kekosongan.“Fragmen ketiga telah terbangun,” gumam Nihros. Suaranya nyaris seperti bisikan di antara celah kenyataan. “Dan si bocah itu... mulai mengganggu alur.”Di sekelilingnya, entitas-entitas tak bernama—makhluk yang dulunya manusia, tapi telah dirusak oleh sihir gelap dari
Ruangan Majelis Tertinggi tidak seperti aula biasa di kerajaan—ia tidak hanya dibangun dari marmer dan batu mulia, tapi dari keheningan yang dalam dan rasa takut yang menggantung. Di tempat inilah hukum kerajaan diciptakan, strategi perang dirancang, dan takdir rakyat ditentukan.Pagi itu, ratusan kursi di tribun atas dipenuhi para bangsawan, penyihir agung, akademisi, dan bahkan utusan luar negeri. Mereka semua datang karena undangan langka: seseorang dari kalangan bawah, tanpa darah bangsawan, tanpa gelar, akan berbicara di hadapan Majelis.Rainer berdiri di tengah podium, mengenakan jubah hitam dengan garis emas yang dirancang Elyse dan para pendukungnya—sebuah simbol antara perlawanan dan martabat. Di belakangnya, Elyse berdiri tegak, mata tajamnya menyapu ruangan.Suara bel logam berdentang tiga kali, menandakan awal sesi. Di kursi utama, High Consul Avarel—pemimpin tertinggi Majelis—mengangguk ke arah Rainer.“Rainer dari distrik bawah, pemegang fra
Langit di atas ibu kota kerajaan Arkwen tampak kelabu. Awan gelap menggantung rendah, seolah menandakan badai besar akan segera datang. Namun badai yang mendekat bukan sekadar cuaca—melainkan konflik yang akan mengguncang seluruh struktur kekuasaan kerajaan.Rainer dan timnya baru saja kembali dari ekspedisi ke Utara, membawa satu kebenaran baru dan satu fragmen simfoni tambahan. Tapi bukan hanya kekuatan yang mereka bawa pulang, melainkan juga informasi yang bisa mengguncang fondasi dunia: bahwa sistem yang saat ini berdiri adalah hasil dari siklus berulang yang dipaksakan oleh kekuatan kuno, dan bahwa pemilik simfoni sejati berpotensi menjadi kunci pembebas atau penghancur dari siklus itu.“Berita tentang pergerakan kita telah bocor,” kata Kysha sambil menyerahkan gulungan surat kepada Rainer. “Tiga dari lima keluarga bangsawan besar mengirim utusan ke menara dewan sihir. Mereka menyebutnya sebagai ‘Tanda Pertama dari Kerusakan.’”“Karena kita mengambil fragme
Hutan Frostveil, wilayah utara kerajaan yang dinginnya mampu membekukan tulang bahkan sebelum musim salju datang. Kabut tebal menggantung di antara pohon-pohon cemara tinggi, dan hanya suara ranting patah atau langkah lembut di salju yang memberi tanda bahwa kehidupan masih ada di tempat itu.Di sinilah Rainer, Elyse, Marcus, dan Kysha menelusuri jejak pengkhianat dari tim mereka—Seth, anggota pencatat sihir yang ternyata telah menyusup atas perintah pihak luar. Peta menuju fragmen ketiga kini berada di tangannya, dan jika dia berhasil menyerahkannya ke tangan sekte atau faksi bangsawan tertentu, pertarungan untuk perubahan bisa berakhir sebelum dimulai.“Kita hanya berjarak satu hari perjalanan dari kuil tua yang disebutkan di fragmen kedua,” bisik Kysha sambil menunjuk peta yang telah mereka salin ulang. “Tapi jalur yang diambil Seth... bukan jalur langsung. Dia menuju celah pegunungan—ada sesuatu di sana yang dia sembunyikan.”Rainer menatap langit yang mulai
Hujan deras mengguyur pelabuhan selatan Kerajaan Galvane. Kapal ekspedisi akademi telah bersandar di dermaga, dan suara ombak yang menghantam kayu menambah ketegangan suasana. Rainer berdiri di dek kapal, mengenakan jubah tebal berlapis pelindung sihir. Di belakangnya, Elyse, Marcus, dan beberapa anggota tim elite akademi bersiap turun.Wilayah yang mereka tuju adalah reruntuhan Virellis, kota kuno yang terkubur oleh tanah longsor dua abad lalu. Berdasarkan kode dalam simfoni pertama, fragmen kedua tersembunyi di bawah tanah, dilindungi oleh mekanisme sihir yang hanya bisa dipecahkan oleh harmoni energi tertentu—sesuatu yang hanya bisa dideteksi jika seseorang memiliki resonansi dengan fragmen pertama.“Aku merasakannya,” bisik Rainer sambil menekan telapak tangannya ke dada, tempat ia mengenakan liontin kristal kecil dari fragmen pertama. “Ada sesuatu yang memanggil… seperti gema di ujung lorong panjang.”Elyse menatapnya, mata peraknya penuh waspada. “Pastikan
Tiga hari setelah penemuan kristal dari reruntuhan, ketenangan semu menyelimuti Akademi Akar Dunia. Rainer, Elyse, dan beberapa peneliti pilihan menyimpan temuan itu dalam ruang penyimpanan berkode ganda, dijaga oleh pelindung sihir dan teknologi mekanis paling mutakhir yang dimiliki akademi. Meski secara fisik tampak tidak berbahaya, aura yang memancar dari kristal itu tak pernah benar-benar padam. Seolah ia terus bernapas—mengamati, menunggu.Rainer duduk di ruang studi pribadinya, menatap papan tulis besar yang dipenuhi coretan, rumus, dan simbol asing. Ia telah menghabiskan waktu menganalisis isi kristal, dan menemukan bahwa di dalamnya tersimpan bukan hanya data, melainkan pengalaman, suara, dan ingatan. Ini bukan sekadar alat penyimpan informasi, tapi sebuah arsip kesadaran."Aku menemukan pola musik," gumamnya lirih. "Nada-nada yang membentuk kode. Mereka menyampaikan pesan... bukan dalam kata, tapi dal
Langit mulai memerah saat senja turun, melukis warna lembayung di atas puncak menara Akademi Akar Dunia. Di dalam ruangan batu yang diterangi cahaya kristal sihir, Rainer duduk di depan tumpukan laporan yang baru saja dikirim dari berbagai wilayah kekuasaan baru. Matanya menelusuri setiap kata, setiap kalimat, dengan tatapan penuh kehati-hatian.Laporan terakhir datang dari sebuah wilayah terpencil di tenggara, sebuah reruntuhan kuno yang baru-baru ini ditemukan oleh sekelompok peneliti dari akademi cabang. Isinya membuat dahi Rainer mengernyit. Tertulis bahwa mereka menemukan manuskrip sihir kuno yang tidak terdaftar dalam arsip kerajaan maupun Perpustakaan Agung Archem. Bahasa yang digunakan bahkan bukan bagian dari sistem sihir modern, dan tulisan itu membawa lambang aneh: dua mata yang saling bertaut dengan garis berkelok di tengahnya.Lebih mencurigakan lagi, para peneliti melaporkan bahwa setelah membuka salah satu segel di bawah reruntuhan, beberapa dari mereka
Mentari pagi menyinari halaman luas yang baru saja dibersihkan. Bangunan besar berbentuk setengah lingkaran, dengan menara-menara kecil menjulang di sekelilingnya, berdiri megah di tengah dataran tinggi. Di gerbangnya, ukiran kuno dan lambang baru berdampingan: simbol akar pohon yang menjalar ke segala arah, dengan cahaya bintang di puncaknya—lambang baru Akademi Akar Dunia.Hari itu adalah hari pembukaan akademi yang telah lama direncanakan Rainer. Sebuah pusat pendidikan yang akan menjadi fondasi dari sistem baru. Tidak hanya untuk mengajarkan sihir, tetapi juga logika, etika, strategi, ilmu alam, seni, dan bahkan sejarah dari dunia lama dan dunia asal Rainer.Di hadapan ratusan calon murid dan undangan dari seluruh wilayah, Rainer berdiri di podium terbuka, bersama Elyse dan para dewan guru pertama yang dipilih berdasarkan kemampuan, bukan garis keturunan."Akar pengetahuan," ujar Rainer membuka pidato perdananya, "bukan untuk mereka yang dilahirkan dengan ha
Senja baru saja jatuh ketika suara derap kaki kuda memecah keheningan perbukitan selatan. Marcus, kini menjabat sebagai Kepala Divisi Pengamanan Transisi, tiba di sebuah pos pengamatan rahasia. Ia turun dari kudanya, mendekati seorang mata-mata yang menunduk dalam hormat.“Mereka mulai bergerak,” lapor si mata-mata, seorang wanita berambut pendek yang dikenal dengan nama kode "Burung Hantu." “Bayangan Kekaisaran tidak lagi hanya menyebarkan selebaran propaganda. Mereka telah merekrut tiga kelompok tentara bayaran. Total kekuatan mereka mendekati dua ribu.”Marcus menghela napas. “Rainer harus tahu ini malam ini juga.”Tak lama setelah laporan dikirim ke ibu kota, Rainer memanggil pertemuan darurat. Aula pertemuan utama penuh dengan wajah-wajah yang sama—pemikir, prajurit, penyihir, dan perwakilan rakyat. Elyse duduk di sisi kirinya, tenang namun matanya tajam mengamati setiap reaksi.“Bayangan Kekaisaran telah menanggalkan jubah kerahasiaannya,” ujar Rain