Share

Buah Kecerobohan

Langit melepuh di penghujung waktu menjelang terbenamnya matahari. Kebun binatang Planet Zoo melepas senja dengan nada yang sendu. Jeritan berbagai jenis burung-burung di sangkar raksasa. Nyanyian berbagai jenis bangau di tepi danau buatan.

Lirikan tajam para elang bondol sambil sesekali memekikkan suara. Auman berbagai jenis singa dan harimau hingga cheeta. Ringkikan dan dengusan berbagai jenis kuda.  Dengusan dan erangan hewan berleher panjang dengan kulit bermotif bintik besar alias kumpulan jerapah. Nyaringnya suara kuda nil. Terompet yang melengking dari gajah-gajah.

Celotehan berang-berang yang tak ingin lekas naik dari aliran air. Buaya-buaya yang tenang mengintip di dalam ketenangan air. Auman berbagai jenis beruang mulai dari beruang hitam amerika, beruang cokelat, panda mata hitam dan panda merah, beruang madu, beruang sloth, beruang andes, beruang hitam asia. Pekikan berbagai jenis monyet dan orangutan bahkan simpanse hingga gorila. Suara kunyahan unta-unta makan seraya terkantuk-kantuk. Desisan jenis-jenis ular, baik ular berbisa maupun tidak berbisa.

Dan masih banyak lagi hewan-hewan di kebun bintang Planet Zoo, yang semuanya memekik, mengaum, menjerit, mengerang, merintih, mendesisi, melonglong di kala langit senja menjemput datangnya malam. 

Dan hingga sore itu Ellia masih berada di kebun binatang Planet Zoo. Di ruang Unit Kebersihan dan Logistik Satwa, Ellia menghadap asisten Kepala Utama Kebersihan dan Logistik Satwa usai Mrs.Vaeolin mencatat nama Ellia dalam daftar Pekerja yang melakukan kesalahan di papan pengumuman dalam ruangan itu.

Sementara Mrs. Vaeolin melakukan pengecekan kebun binatang dengan menunggangi kuda, Asistennya yang bernama Fredy menjelaskan singkat pada Ellia, “Ellia, lembur selama 6 jam mulai pukul 6 sore sampai 12 malam. Tugas; membersihkan, dan merapikan berkas-berkas, map-map dan odner map yang tersimpan di 3 lemari.”

Walau sedih harus menerima lembur sebagai hukuman di hari pertama bekerja, namun Ellia bisa bernafas lega. Pikirnya, menghabiskan waktu di ruangan ini untuk merapikan dan membersihkan lemari dan tumpukkan map dan odner map dari debu adalah hal yang mudah baginya, tak jauh beda dengan rutinitasnya pada pagi hari di rumah sang Kakek sebelum turun ke lantai 1.

 

Saat jeda istirahat sebelum memulai lembur pada pukul 6 petang nanti, Ellia duduk di bangku kantin yang dikelola Paman Dardar bersama beberapa pekerja kantin yang tak lain masih ada hubungan saudara. Kantin bernama Bangau ini adalah kantin khusus pegawai yang akan buka 24 jam nonstop. Setelah sepiring spageti dan segelas air mineral yang dipesan datang ke hadapan Ellia, tetiba gadis berkulit putih susu itu bermuka sendu. 

Duduk seorang diri seraya menatap spagety, membangkitkan kesedihan dalam diri Ellia. Ia menyesali apa yang dilakukannya, hingga membuahkan hukuman dari Mrs Vaeolin. 

Sesaat kemudian Ellia menghembuskan nafas. Pikirnya, ia masih diuntungkan lantaran hukuman lembur hanya selama 1 hari satu malam saja, bahkan hanya 6 jam saja. Padahal menurut para pekerja lapangan senior, Mrs. Vaeolin biasanya menghukum lembur lebih dari 12 jam.  

Lalu pikirannya beralih pada ingatan sang kakek dan nenek di rumah. Tetiba sedih yang mendalam menguras air matanya dan merongrong hatinya, memikirkan orang-orang terkasih di hidupnya. Pasti mereka bertanya-tanya, mengharapkan dirinya segera pulang.

Andai ada telepon, mungkin dirinya akan segera mengabari Kakek Jack dan Nenek Emi mengenai keberadaan dirinya. Mmm ah! Namun itu tidak mungkin, walau dirinya bisa meminjam telepon, tetapi sang Kakek tak memiliki telepon di rumah.

Membahas mengenai telepon, Ellia pun teringat sang kakek pernah mengatakan sebuah cerita turun temurun, bahwa pemerintah Kota Westinhorn melarang penggunaan telepon yang menggunakan jaringan internet berkecepatan tinggi yang bisa memacu radiasi melintas di langit Kota Westinhorn. 

Karena itu Pemerintah kota Westinhorn membatasi kecepatan jaringan komunikasi termasuk internet yang melintas di langit Westinhorn. Kata Kakek, mungkin kecepatan jaringan di Westinhorn ini sudah ketinggalan jaman, namun lantaran kemerataan sinyal jaringan X di seluruh wilayah Kota Westinhorn maka kecepatan jaringan ini begitu kuat digunakan di Westinhorn. Dan yang terpeting masih tergolong aman.

Kata kakek juga, Pemerintah Kota Westinhorn hanya berusaha mengendalikan ketergantungan warganya pada teknologi berlebih, yang dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat malah akan menimbulkan bahaya radiasi. Seperti itulah yang pernah dialami oleh penduduk di bumi 200 tahun yang lalu.

Cerita paling penting yang selalu diulang-ulang turun temurun hingga sampai pada Kakek, bahwa 200 tahun sebelum tahun 5200, penduduk bumi terkena sasaran radiasi dari kemajuan pesat teknologi berupa jaringan internet. Banyak manusia mati terkena radiasi. Dan bumi pun menjadi lengang lantaran tingkat kelahiran tak sebanding dengan tingkat kematian. Dampak lainnya adalah tanah tandus lagi gersang di banyak Negeri yang kini sudah umum dan lumrah.

Saat ini bukan hanya jaringan internet dan telepon, pemerintah Kota Westinhorn bahkan membatasi penggunaan mobil yang memakai bahan bakar minyak bumi. Bisa jadi suatu saat nanti hanya mobil listrik yang diperbolehkan. Tentu dengan catatan, penggunaan mobil listrik tak menimbulkan bahaya radiasi.

Ellia duduk memangku dagu di depan piring spageti yang belum tersentuh. “Kakek...Nenek... maafkan Ellia... tolong jangan khawatirkan Ellia, jangan tidur di sofa hanya untuk menanti Ellia. Ellia akan segera pulang.” 

Ellia menghela nafas dalam-dalam. Lalu meneliti jam dinding di dalam kantin itu. Ketika Ellia membuang nafas seraya mengalihkan sorot matanya, tanpa terduga pandangannya tertuju pada seseorang yang ia kenal pertama kali di Planet Zoo. Siapa lagi kalau bukan Security yang ia panggil Om John.

Seketika Ellia mendapat ide. Buru-buru ia meminta selembar kertas dan meminjam bulpoin pada kasir di kantin. Di samping piring spageti yang masih utuh, Ellia menulis pesan singkat untuk sang nenek dan kakek.  Di dalam pesan itu Ellia menyebutkan bahwa, dirinya akan pulang terlambat sekitar pukul 1 malam. Ellia juga meminta mereka tak mengkhawatirkan dirinya.

Tergesa Ellia mengejar Om John si Security yang telah keluar dari kantin. Di hadapan Om John Ellia menundukkan tubuh dan kepalanya seraya berkata, “Om Security, tolong bantu saya. Saya mohon, saya mohon.”

Laki-laki berkulit gelap yang bernama lengkap John Meren itu sempat mengelus dada lantaran terkejut dengan kedatangan seorang gadis muda di hadapannya. Ia pun menajamkan kedua matanya meneliti gadis muda itu. Seketika keningnya menggulung, merasa tak asing dengan wajah gadis muda di hadapannya.

Ia mengangangguk pelan seraya menahan nafasnya. “Oooh, kau gadis itu kan? Yang hampir terlambat mengikuti apel pagi?”

Ellia lekas mengiyakan, membenarkan bahwa benar dirinya yang seperti disebutkan Om John. Kemudian Ellia mengatakan bahwa dirinya mendapat hukuman lembur dari Mrs. Vaeolin. Sehingga ia tak bisa pulang sore ini. Karena itu Ellia meminta tolong pada Om John supaya mengantarkan surat ini pada sang nenek di rumah dan mengecek keberadaan sepedah gowes miliknya yang dititipkan di pos polisi tadi pagi.

Om John tak menjawab apapun. Ia merapatkan kedua bibirnya seraya menggulungkan kening mendengar permintaa gadis ini.

“Aku mohon Om. Nenek dan Kakekku pasti mencemaskan keberadaanku. Aku tak ingin membuat mereka bersedih,” kata Ellia memelas.

“Maaf, aku harus cepat pulang. Piketku hanya sampai petang ini di kebun binatang Planet Zoo, bukan di luar,” ujar Om John si Security, di ujung perkataan suaranya tegas.

Ellia tertunduk lesu. Lalu menarik kembali dua lembar kertas yang telah disodorkan. Kecewa dan sedih mendalam dirasa Ellia. Pikirannya buntu seketika. Batinnya berbisik, “Oh Tuhan Yang Maha Pengasih mohon kasihanilah Kakek Nenekku, jagalah mereka selalu.”

Ketika Ellia hendak melangkah, tiba-tiba saja Om John merasa iba. Untuk sesaat ia menghembuskan nafasnya, laki-laki berkepala plontos itu berkata, “Baiklah akan kusampaikan pesanmu.”

Tiba-tiba Ellia menghentikan langkah seraya mengangkat kepalanya yang tertunduk lesu. Dengan girang ia lekas balik badan, lalu menghampiri Om John. “Benarkah?” 

Om John hanya mengangguk sambil merapatkan kedua bibirnya. Ia pun menerima dua potong kertas dari tangan Ellia yang berasal dari selembar kertas. Di potongan pertama tertulis jelas alamat rumah sang kakek dan nenek. Sedangkan pada potongan kertas yang lain adalah tulisan pesan untuk sang kakek dan nenek.

Ellia pun lega usai Security kebun binatang Planet Zoo yang ia panggil Om John melangkah pergi bersama dua potongan kertas darinya. Syukur yang besar terucap. Karena baginya hal-hal kecil menyusun arti yang besar dalam hidupnya.  

                                      *#*

Di bawah sorot matahari yang hendak tergelincir tajam di tepi Barat, Mike dan Bomba masih mendorong mobil jeep yang kehabisan bensin. Butiran keringat berjatuhan dari tubuh mereka berdua. Sudah lebih dari 50 meter mendorong mobil, namun rumah yang dimaksud di peta dalam layar monitor di mobil tak kunjung tampak.

Bomba yang kehabisan tenaga sampai-sampai bersandar pada mobil. Ia menggunakan punggungnya untuk mendorong menggantikan fungsi tangannya. Ia pun melangkah mundur sekaligus mendorong mobil dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki.

Mike yang mendorong mobil dengan kedua tangan, berkata dengan lemah, “Ayo, dorong terus, sebentar lagi sampai.”

Tak terdengar suara dari Bomba kecuali deru nafasnya yang menggebu-debu. Ia pun menduga bila keberadaan rumah di peta yang terlihat di monitor hanya kekeliruan monitor belaka. Rumah yang belum tampak yang menjadi harapannya itu, baginya hanya fatamorgana. Seperti musafir di tengah gurun pasir yang melihat air danau yang melimpah, namun setelah didekati nyatanya tak pernah ada danau apalagi air.

Seketika Bomba jatuh di atas aspal. Mike lekas menolong kawannya itu yang hampir pingsan. Dengan mata terpejam Bomba berkata, “Aair... air... air....”

“Bomba, Bomba bangun, ayo bangun! Buka matamu, jangan kau tutup,” kata Mike keras sambil menepuk-nepuk kedua pipi Bomba. Mike pun lekas membuka kedua mata Bomba dengan kedua jari-jari tangannya.

“Bomba tetap buka matamu. Jangan kau tutup, jangan kau tutup. Aku akan mencari air sekarang. Kau tunggu di sini dan tetap buka matamu,” ucap Mike yang panik luar biasa terhadap kondisi kawannya itu.

Tetiba Bomba mengangkat kepalanya seraya membuka kedua mata lebar-lebar. Sambil menahan tangan Mike Bomba bertanya, “Ada air, Mike? Dimana dimana dimana?”

“Ahmmm....” Mike bingung harus berkata apa pada Bomba. Ia tak memiliki air setetespun. Bila ia mengatakan pada Bomba tak ada air, maka Bomba akan kembali jatuh pingsan.

“Ayo Mike mana airnya? Mana? Kau mau kawanmu ini mati kekeringan seperti tempat ini?” Bomba histeris sambil menarik-narik baju yang dikenakan Mike.

“Airnya... ada di ujung jalan itu. Aku akan mengambilnya untukmu. Kau tunggu di sini.” Setelah perkataannya, Mike pun bangkit berdiri, namun lagi-lagi Bomba menahan langkah Mike. Boma ingin ikut pergi bersama Mike.

Mike tak mengijinkan Bomba ikut dengannya. Ia khawatir dengan mobil jeep milik Bosnya. Bisa-bisa mobil jeep itu hilang tersapu angin. Sehingga Mike berusaha keras melepaskan tarikan tangan Bomba yang mengait pada baju yang dikenakan Mike.

Bomba kembali jatuh terkapar. Namun, Mike tetap berlari semakin ke Barat. Ia harus segera menemukan rumah yang terdekteksi di layar monitor mobil. Kali ini ia begitu yakin dengan kebenaran peta di layar monitor.

Mike semakin jauh berlari. Ia berlari dan terus berlari. 100 meter, 200 meter hingga 500 meter bahkan 1000 meter. Tepat pada 1500 meter Mike jatuh ke aspal. Habis sudah sisa tenaga yang dimiliki. Kedua matanya kini tak mampu memandang jelas apa yang ada di depan mata. Padahal sebenarnya rumah yang diharapkannya berjarak 20 meter dari tempat ia terjatuh.

Dua orang lelaki jatuh pingsan di jalan satu-satu yang menuju Kota Westinhorn yang subur. Satu orang terbaring di dekat mobil jeep, sedangkan satu orang lagi tergeletak sejauh 1500 meter dari  posisi mobil jeep. Kisah menyedihkan yang hanya dialami dan dirasa dua orang sahabat atau kekasih.

Di gudang berupa bangunan kayu yang berada di sisi Timur dari rumah kayu miliknya, Kakek Jack mengecek traktor yang telah diperbaiki. Setelah berkali-kali dihidupkan, akhirnya traktor tua roda 4 itu meraung-raung juga. Untuk memastikan traktor tua miliknya benar-benar berfungsi, maka Kakek Jack mematikan mesin traktor itu. Kemudian ia menghidupkannya kembali. Untuk beberapa saat Kakek Jack kembali memanaskan mesin

Melihat langit semakin memerah, membuat Kakek Jack semakin mencemaskan Ellia yang belum juga kembali dari tempatnya bekerja di Westinhorn. Ia mengatakan pada Istrinya, bahwa bila tak kunjung tiba hingga pukul 6 petang, maka dirinya akan segera menyusul Ellia ke Westinhorn.

“Aku setuju sayang, kau menyusul Ellia. Tapi... kau mau pergi naik apa ke Westinhorn? Bukankah Pemerintah Kota Westinhorn tak mengijinkan sembarang kendaraan memasuki wilayahnya? Dan sepedahmu juga rusak,” kata sang Istri.

“Aaah, tak masalah. Aku titipkan traktornya pada Sam.”

“Sam?” Sang Istri mengulang, lantaran baru terpikir.

“Baiklah. Jangan lupa pakai jaket tebalmu nanti. Udara malam sangat dingin.”

Tepat pukul 6 petang, Traktor tua milik Kakek Jack melaju keluar gudang. Melewati pintu rumahnya yang menghadap ke Timur, Kakek Jack membunyikan klakson seraya melambaikan tangan pada sang Istri yang berdiri di muka pintu.

Tepat di jalan aspal yang berada sekitar 10 meter dari rumahnya di sisi Utara Jalan itu, Kakek Jack memutar kemudi ke arah Barat. Ia sempat menoleh ke arah Timur memperhatikan alam yang tandus dan jalan yang sepi. Namun, ia terkejut begitu melihat seorang laki-laki tertidur di jalan aspal.

Kakek Jack pun mematikan mesin traktor, lalu tergesa menghampiri laki-laki itu sambil memanggil sang Istri. “Emi... Emi... Emi... kau harus lihat ini....”

Di samping laki-laki tak dikenalnya itu, Kakek Jack berusaha membangunkannya. Lalu mengecek kondisinya dengan meletakkan dua jarinya di bawah lubang hidung laki-laki itu.

Kakek Jack lekas membawa traktor miliknya ke dekat laki-laki itu, lalu mengangkutnya ke rumah. Sesampainya di rumah Nenek Emi lekas mengambil air hangat dan beberapa roti sambil mengompres laki-laki tak dikenal itu.

Akhirnua Mike terbangun. Namun, ia pura-pura lupa ingatan supaya tak dicurigai. Mike mengatakan bahwa dirinya tertinggal rombongan yang hendak berangkat ke Gostell. Malam itupun Mike makan dengan lahap masakan terenak buatan Nenek Emi. Bahkan hingga membuat Kakek Jack dan Nenek Emi terkekeh.

Kakek Jack meminta Mike menginap sementara di rumahnya, sekalian menemani sang Istri. Itu karena dirinya akan pergi menjemput sang Cucu yang bekerja di kebun binatang, Westinhorn. Mike tak bertanya apapun mengenai Westinhorn dan kebun binatang di sana, walaupun ia sangat ingin tahu.

Setelah Kakek Jack pergi, Nenek Emi pergi ke dapur. Ia merapikan dapur  yang berantakan usai digunakan memasak untuk tamunya. Mike memanfaatkan situasi sepi di rumah itu. Ia melangkah mengendap-endap menuju pintu rumah. Namun, tiba-tiba ia menyeringai begitu mengingat kawannya Bomba membutuhkan air. 

Diam-diam Mike  mengambil air mineral dalam botol dari dalam kulkas dan beberapa buah. Mengambil beberapa roti di meja makan. Lalu mengambil lagi 2 roti terakhir di piring. Pikirnya, Bomba pasti sangat kelaparan. 

Begitu keluar dari rumah Kakek Jack, Mike lekas berlari ke jalan aspal. Namun, ia kembali menghentikan langkah. “Bukan hanya Bomba yang butuh air, tapi mobilmu juga!”

Mike kebingungan seraya memukul-mukul kepalanya. Memikirkan dimana ia harus mendapatkan bensin untuk mobilnya. Ketika pandangannya tertuju pada rumah Kakek Jack, Mike teringat dengan traktor tua milik Kakek Jack. Bila Kakek Jack memiliki traktor maka Kakek Jack memiliki bensin, solar atau apapun yang bisa digunakan untuk membakar mesin mobil hingga menghasilkan tenaga.

“Pasti Kakek tua itu menyimpan bensinnya di... di gudang. Tidak mungkin dia tak memiliki simpanan bensin di tempat seperti ini, yang tidak ada satupun tanda kehidupan,” ujar Mike.

Mike tergesa kembali ke rumah Kakek Jack yang berada sekitar 10 meter di sebelah Utara jalan aspal. Namun ia tak masuk ke dalam rumah. Mike mengobrak abrik seisi gudang, mencari persediaan bensin.

Tak sampai 5 menit, Mike sudah menemukan persediaan bahan bakar di dalam sebuah jeriken berkapasitas 30 liter sebanyak 6 buah yang ternyata solar. Dengan menggunakan gerobak Mike membawa 5 jeriken. Mike pun berlari sambil mendorong gerobak di jalan aspal, menuju Bomba yang tak sadarkan diri dan mobil jeep yang tak memiliki daya. 

 

                                      *#*

Di tengah sepinya malam suara-suara yang bermunculan dari kegelapan. Tak ada yang tampak di kebun binatang itu selain cahaya dari lampu-lampu di tengah taman dan lampu-lampu yang menerangi sudut-sudut taman. Kandang-kandang hewan yang tersebar di bagian Barat, Timur, Utara dan Selatan tak diijinkan diberi sinar cahaya pada malam hari. Sehingga yang terdengar pada malam hari hanya suara dari kegelapan tanpa rupa. Seperti hutan belantara, namun dengan bintik-bintik cahaya di tiap sudutnya.

“Kyak... kyaaakkkk... ghrrrr... gghrrr... kkekyeek... kyyeeek... kakakkakkakk....” 

Seketika gemetar tubuh kecil Ellia, begitu mendengar suara-suara itu dari dalam kantor yang terang. Jantungnya terus berdebar-debar, membayangkan hewan-hewan itu lepas dari kandang-kandangnya. Lalu menerkam dirinya yang tengah lengah.

“Ah, tidak tidak tidak, Ellia ini bukan pertama kalinya kau mendengar suara binatang di malam hari. Bahkan setiap malam kau selalu mendengar suara sapi, domba bahkan burung hantu di rumah Kakek. Bila kau bisa mengabaikan mereka, maka pasti kau bisa mengabaikan suara-suara hewan yang tak dapat tidur lelap di kebun binatang ini.” Sisi hatinya berusaha menguatkan mental Ellia.  

Ellia pun mengangguk, menyetujui ucapan hatinya. Ia meyakinkan diri tak boleh lengah apalagi takut sehingga mengganggu konsentrasi pekerjaannya dalam lembur malam ini. Ia harus secepatnya menyelesaikan membersihkan dan merapikan berkas-berkas dokumen di dalam rak, sesuai dengan perintah asisten Kepala Kebersihan dan Logistik Satwa. 

Di dalam kantor itu, Ellia memaksa membuka mata lebar-lebar, menahan kantuk yang menerpa, menguatkan tubuh supaya tak roboh. Satu lemari beserta berkas di dalamnya telah dibersihkan.

Selanjutnya, di hadapannya ada setumpuk kertas dari lemari ke 2 yang harus dibersihkan dari debu-debu, dilipat dan disusun rapi. Lalu disimpan ke dalam map yang baru. Dan dikumpulkan menjadi satu dalam jumlah tertentu dalam satu bendel Ordner map yang baru juga. Barulah kemudian kembali ditata di dalam lemari yang sudah dibersihkan.

Ellia pun mengusap kening dengan punggung tangannya seraya menghela nafas. Hingga tak dirasa 2 jam berlalu, lemari ke 2 berikut dengan tumpukkan map dan ordner map telah selesai dirapikan dan dibersihkan. Untuk sekian detik Ellia meregangkan otot-ototnya, membebaskan lelah yang menggelayuti tubuhnya.

“Aduh... aku mohon bantu aku hai mata. Jangan menutup dulu. Hanya tinggal satu lemari lagi, setelah itu kita bisa pulang dan tidur,” lirih Ellia mencoba menjelaskan pada kedua bola matanya, supaya tetap terjaga.

Untuk membuang lelah dan bosan Ellia bangkit berdiri, melangkah menuju jendela kantor. Dilihatnya gelap mengepung kantor tempat dirinya bekerja lembur. Apa dirinya cukup berani berjalan di tengah gelap menuju kantin yang buka 24 jam, kantin yang dikelola oleh Paman Dardar.

“Sepertinya aku butuh segelas kopi,” lirih Ellia. Lalu menoleh pada satu lemari berisi dokumen-dokumen yang telah berdebu lantaran lama tak tersentuh.

Jarum jam terus berderak. Malam pun bertambah larut. Ellia diterpa bimbang, memilih melangkah ke kantin seorang diri menerobos gelap malam atau tetap berada di kantor itu dengan cahaya lambu yang terang. 

Namun masalahnya, ia membutuhkan air untuk membasahi tenggorokannya. Walau tidak mendapat kopi yang bisa memacu matanya supaya terbuka lebar, setidaknya ia tak membiarkan kerongkongannya kering.

Ellia membuang nafas dan menghirup udara dalam-dalam. Ksmudian ia kembali menatap lekat-lekat 1 lemari yang belum dibersihkan termasuk dengan tumpukkan berkas di dalamnya.  

“Aku tak tahu berapa usiamu. Tetapi usia yang tua bukan alasan bagi benda kuat sepertimu merapuhkan diri. Lihatlah dirimu saat ini, tak ada satupun rayap memakan tubuhmu, tidak juga semut merah. Kau ini terlihat begitu rapuh, ringkih dan kusam. Padalah aku yakin kau tidak seperti ini, sebelum malam ini. Mmm setidaknya jauh pada tahun-tahun lalu sebelum... mmm tahun ini, atau beberapa bulan yang lalu, atau mmm hari ini. Kau lemari yang dipahat dibentuk dari kayu-kayu pilihan.”

“Dan kau debu, mengapa kau suka sekali membuat kotor tempat manapun? Darimana kau muncul? Apa kau tidak lelah selalu berserakan mengotori apapun?” Setelah ucapannya, Ellia menghela nafas dalam-dalam.

Tak sampai 3 detik, Ellia kembali ngomel-ngomel, namun yang diucapkannya kini bertolak belakang dengan rentetan pertanyaan-bertanyaannya tadi. “Oh, maafkan aku. Kalau tidak ada dirimu wahai debu, manusia jadi malas bergerak, kalau tak ada kau wahai debu tak akan ada pekerja kebersihan! Dan itu artinya aku, Ellia tidak akan diterima bekerja membersihkan apapun di kebun binatang ini.”

Ellia begitu terkejut dengan ucapannya pada kalimat terakhir. Bertambah terkejut ketika ia mendengar suara sepatu kuda. Ia pun bertanya-tanya siapa yang datang dengan naik kuda?

Tergesa ia mengintip dari balik jendela. Ia pun mengetahui bahwa suara itu adalah suara sepatu kuda dari para Petugas patroli malam. Tak pikir panjang Ellia membuka pintu, memanggil petugas patroli malam itu. Di hadapan petugas Ellia meminta diantarkan ke kantin, karena ia membutuhkan segelas kopi untuk menghilangkan kantuknya.

Setibanya di kantin, Ellia lupa kembali ke ruang Kebersihan dan Logistik Satwa. Lantara, ia begitu asyik mendengarkan cerita 2 Petugas patroli malam, Paman Hery dan Romi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status