Usai menarik nafas dalam-dalam, Paman Hery mengepalkan kedua tangannya. Kemudian membuka salah satu telapak tangannya. Dan mengarahkan kepalan tangan iu pada salah satu tangannya pada telapak tangannya. “Baiklah. Akan aku coba.”
“Itu bagus.”“Tapi... kau akan menyusulku kan? Setelah yang kerjakan selesai?” Kali ini Brenda yang membuang nafas. “Baiklah, tapi aku tidak janji.”“Aku yakin kau akan menyusulku. Baiklah, aku akan pergi sekarang.”“Jangan lupa kartunya. Kau harus melihat kondisi tahanan. Seperti biasa, cukup dari luar saja.” Di ujung ucapannya, Brenda melepas senyum.“Oh, iya iya.” Paman Hery menepuk helm di kepalanya, sekedar pura-pura lupa.Kemudian Brenda menyodorkan sebuah kartu berwarna hitam dengan chip berbentuk persegi berwarna emas. Ketika melihat hanya satu kartu, Paman Hery tetiba herBerbekal teropong Manson memeriksa tiap sudut sempit dan bangunan-bangunan tua di sekitar lokasi persembunyian. Setiap hari ia selalu bergantian dengan Romi memeriksa keadaan sekitar. Setiap dua jam mereka selalu memeriksa keadaan di luar dari atap.. Ini semua dilakukan atas perintah Paman Hery.Usai memastikan keadaan dalam keadaan aman dan tenang, Manson membuang nafas. Kemudian menggerutu, “Aku yakin ini tempat yang aman. Lebih aman dari rumahku.”“Maaf sayang aku bukan menyindirmu. Percayalah aku mencintaimu,” lanjut Manson sambil mengingat sang istri.Setelah memastikan situasi aman tanpa ada kecuali, maka Manson kembali masuk melalui pintu yang terdapat di atap. Usai menuruni tangga di rumah itu, Manson masih mendapati Romi serius mengamati tahunya pasir di dalam jam pasir kuno itu.“Semua baik baik saja,” kata Manson.Manson lalu duduk di sofa, sekedar merilekskan tubuhnya. Ma
Kerasnya suara tembakan yang dilepaskan oleh Durrel, ternyata membangunkan Manson. Suara itu pula yang membuat mup berisi sereal di tangan Romi terjatuh. Akibatnya ia tak jadi makan sereal, padahal ia sangat lapar.Manson dan Romi begitu panik. Mereka memutuskan bergegas pergi dari rumah milik Linch. Romi menyimpan jam pasir tua ke dala peti kayu. Setelah itu ia membungkus peti kayu itu dengan kain. Lalu dimasukkan ke dalam tas ransel. Ia harus secepatnya pergi ke tempat baru. Dan kembali menjalankan jam pasir itu sebelum 1 jam. Karena bila tidak, maka seperti Paman Hery, Ellia dan John tak bisa dikembalikan.“Kau yakin kita bisa pergi ke tempat aman sebelum 1 jam?” tanya Manson.“Aku tak tahu.”Setelah melompati atap-atap tinggi yang berdiri di sepanjang jalan sempit itu, Romi dan Manson menuruni anak tangga dari besi yang sudah berkarat. Karena ada penjual buah di bawah tangga itu, mereka berdua terpaksa m
Badai salju kembali datang menerjang. Menggulung apapun yang ada di permukaan. Lalu menimbunnya dengan pasir putih yang dingin. Angin tampak berputar di langit. Langit yang tak bersahabat. Hitam pekat selama beberapa hari terakhir.“Ellia, masuklah ke dalam mobil ini!” seru Jack.“Tidak! Aku akan bersama Jery. Tenang saja,” balas Ellia.“Ellia, sebaiknya kau masuk supaya bisa lebih hangat. Badai salju ini akan membekukan kita,” usul Jerry.“Tidak Jerry, aku akan bersamamu. Kita akan hadapi bersama badai salju ini.”“Ellia, kumohon! Masuklah!” seru Jack yang tiba-tiba keluar dari dalam mobil. Ia pun menggigil kedinginan karena sapuan angin yang membawa salju.“Jack masuklah! Kita harus secepatnya mendaki bukit sebelum saju salju ini mengubur kita!” seru Ellia.“Kau masih kuat kan Jerry? Kita segera pergi ke temp
“Pantau semua CCTV yang tersebar di tahanan bawah tanah,” perintah Jenderal Aldwin.“Siap, Jenderal!” kata Sipir bernama Daniel.Lima orang Sipir bergabung. Mereka berdiri di belakang lima Sipir yang duduk di depan layar monitor yang masih berfungsi. Dengan seksama mereka mengawasi tiap-tiap bagian di layar itu.“Semua telah dilaksanakan. Namun, beberapa CCTV tak dapat menangkap gambar,” lanjut Sipir di bagian informasi.“Tak dapat menangkap gambar? Bagaimana maksudmu!”“Ahmm kemungkinan CCTV itu rusak, Jenderal.”“Rusak? Sengaja dirusakmaksudmu?”“Ehmm bisa jadi Jenderal!”Jenderal Aldwin pun mengernyitkan kening. “Berarti mereka di sana!”“Identifikasi dimana saja letak CCTV yang mati.”“Blake, siapkan pasukan patroli
“Perbesar gambarnya!” perintah Jenderal Aldwin manakala memantau temuan yang terekam CCTV di lorong H. Seorang laki-laki berpakaian petugas Sipir dengan gelagat yang aneh. Ia juga membawa senjata khusus yang hanya dimiliki oleh pasukan patroli.“Aktifkan radar pasukan patroli. Sambungkan komunikasi pada komandan grup,” lanjut Jenderal Aldwin.“Baik, jenderal.” Lalu melanjutkan, “Sudah terhubung Jenderal!”“Atur suara!”“Siap!”Jenderal Aldwin memberi perintah di balik microphone yang terpasang di headset, “Tersambung dengan Jenderal Aldwin. Kepada Komandan grup harap diperhatikan. Pusatkan pergerakan 4 grup lorong utama yang terhubung ke titik G, J dan F2. Pelaku teridentifikasi berada di titik H. Tepatnya di dekat persimpangan 4 lajur lorong. Dia seorang diri. Jadi kalian harus bergerak cepat. Secepat mungkin yang belum pernah kalian lakukan!”“Jenderal, terdeteksi ada 1 pasukan patroli di lorong I. Ia bergerak menjauh dari lorong utama I dan menuju lorong utama II. Sepertinya dia ba
Edhi dan kedua anak buahnya tercengang manakala melihat sebuah lubang hitam yang semakin besar. Lubang hitam itu seakan hendak menelan mereka bertiga. Akibatnya mereka dilanda cemas dan ketakutan luar biasa.“Kita harus cepat pergi!” seru Holdan. Kemudian ia menarik tangan Edhi. Mike turut di belakang mereka.“Apa kita akan selamat? Sepertinya kita kan mati!” seru Mike.“Tidak. Kita akan hidup. Kita akan tetap hidup!” seru Holdan dengan rona wajah yang pucat. Ia mencoba menepis segala kemungkinana buruk. Karena semua itu hanya akan menghancurkan harapannya!“Ke sana ke sana, ke bukit di seberang itu. Kita ke balik bukit itu!” kata Edhi.“Tidak Tuan. Mendaki akan lebih lambat. Sebaiknya kita pilih jalan yang lurus, walau tumpukan salju sangat tebal,” balas Holdan.“Aku merasa kita harus ke bukit itu!” Edhi ngotot.Usai menarik dan membuang nafas, Edhi kembali melanjutkan, “Kita harus tahu kemana kita harus pergi. Dan kita tidak akan tahu jalan bila tidak berada di ketinggian!”“Ooo, ak
Keringatnya perlahan membasahi kening. Sejujurnya Mrs. Vaeolin benar-benar takut. Dan baru kali ini ia merasakan ketakutan. “Kau tak boleh takut Vaeolin! Jangan jadi pengecut! Musuhmu akan senang melihatmu ketakutan,” bisik hati Mrs. Vaeolin. Ia masih mengenggam senjata laras pendek. Begitu lama ia rasa menanti pasukan patroli yang hendak mencekal dirinya. Sampai-sampai ia menjadi ragu. Ia berpikir, jangan-jangan pasukan patroli itu tak akan datang. Atau...Kedua matanya terbuka lebar ketika mendengar ucapan hatinya, “Ia tidak datang sendiri!”Mrs. Vaeolin buru-buru balik badan. Ia tergesa melangkah menuju lorong H. Suara langkahnya terdengar begitu keras. Paman Hery pun hendak melihat apa yang terjadi dengan kawannya itu. Namun, belum sampai di perempatan lorong, seseorang dari belakang Paman Hery menodongkan senjata tepat di belakang lehernya. “Berhenti! Dan jatuhkan senjatamu, atau kau kutembak!”Tak pelak Paman Hery berhenti melangkah. Namun, ia tak segera melepaskan senjata di
Ellia masih menemani Jerry yang terkapar di atas salju. Ia begitu sedih melihat kondisi sahabatnya itu. Ia berjanji tak akan meninggalkan Jerry yang selama ini banyak membantu dirinya. Jack pun tak jemu memandang Ellia, walau hatinya begitu teriris-iris.Tiba-tiba salju kembali turun, berjatuhan ke permukaaan. Angin kembali bertiup kencang. Selang beberapa detik matahari ganti bersinar. Badai pun lenyap tanpa jejak. Jack terhenyak. Begitu juga dengan John. Mereka berdua mencari-cari lubang hitam itu. Namun, keberadaan lubang hitam itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Keadaan tampak kembali normal seperti semula. Bahkan lebih kini baik. Jack masih berpikir keras sementara John melepas tawa sambil mengelus dada. Jack masih tak mengerti dengan lubang hitam itu. Mengapa bisa tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang.“Apakah semua yang ada di sini sebenarnya tak pernah ada? Hanya sebuah fatamorgana? Proyeksi tak nyata dari sebuah cahaya Tuhan?” gumam Jack seraya mengernyitkan ken