Sesuai dengan kesepakatan Naya, mereka berempat kerja kelompok dirumah sikembar. Tak lupa mengajak Gea yang kabarnya sudah pulang dari luar kota.
Mereka kini berada di ruang televisi. Naya yang sedang berkutat dengan laptopnya, Gea yang membolak-balikkan buku Bahasa Indonesia-nya. Dan para cowok sedang berkutat dengan Handphonenya membuka g****e, mencari judul dan tema yang akan dikerjakan.
"Nay, ini bagus nih," ujar Gavin, lalu mendekat ke arah Naya.
"Judulnya?" jawab Naya sembari menoleh.
"Yang ini aja ya, tentang kesehatan. Disini juga ada contohnya, pengertian, aspek-aspeknya, cara menjaganya. Ini juga singkat. Tinggal direvisi lebih baik aja," jelas Gavin.
"Setuju nggak?" tanya Naya sembari menoleh ke arah Kevan, Gea dan Darrel yang tadinya sibuk langsung menoleh dan mengangguk paham.
"Boleh juga. Nay, lo yang ketik. Dan lo Vin, Ganti kata-kata yang kurang menarik atau perlu direvisi. Selebihnya kita nyari cover," jelas Gea, kemudian gadis berambut sebahu itu mendekat ke arah Naya.
Mereka mulai mengerjakan tugasnya masing-masing. Kalau kerja kelompok yang lain dengan artian yang kerja satu, yang lainnya hanya melihat, ada juga yang membantu. Tapi mereka tidak, karena kecerdasannya, walaupun Darrel yang sedikit kurang paham.
Seusai mengerjakan tugas sekitar dua jam, ada yang sedang di meja makan mencari makanan, ada yang duduk lesehan dikarpet bulu yang digelar oleh Kevan. Karena Orangtua Naya sedang tidak ada di rumah, jadi mereka bebas.
"Nay ada makanan nggak? Laper," ujar Darrel sambil mengusap perutnya bak orang hamil.
"Di kulkas. Sekalian ambilin juga buat kita," jawab Naya.
Dengan senang hati Darrel berjalan kearah dapur dan membuka kulkas besar itu, banyak camilan disana. Dia mulai mengambil satu persatu, dari mulai chiki, minuman dingin, soda.
"Banyak amat, kalo begini jalannya mah rumah gue dirampok ini," ujar Kevan heboh ketika melihat Darrel membawa makanan yang amat banyak, bahkan ada yang sampai jatuh dilantai.
"Tau, Rel. Kaya gak makan seminggu aja lo," sahut Gavin, bercanda.
Darrel menyimpan camilan yang ia bawa tadi dikarpet bulu yang digelar oleh Kevan. "Ini gue bawa kan buat kalian semua, bukan buat gue semuanya. Gimana, sih!"
"Ya gak sebanyak ini juga kali, Rel," kata Gea sewot.
"Udah. Nggak bakal habis juga." Naya berusaha melerai, bukannya apa-apa, Naya hanya tak ingin berisik karena ucapan unfaedah mereka.
"Eh, Nay. Asal lo tau, kalo sama ni gentong, bakal abis!" cetus Kevan sembari menunjuk Darrel.
"Tinggal beli lagi, kan?"
"Nah bener kata si Nay, nggak usah kaya orang susah aja lo Van," jawab Darrel semangat.
"Tapi, Nay. Keenakan dianya," tutur Gavin yang sedari tadi hanya menyimak.
Naya berdecak. "Lo berdua nggak usah makan aja, ribet!" putus Naya.
Ucapan Naya membuat Gavin dan Kevan cengo. Kok jadi mereka yang salah?
"Enggak, enggak! Enak si Darrel dong!" jawab Kevan cepat.
"Yaudah diem."
***
Sekitar tiga jam yang lalu teman-teman Naya dan Kevan sudah pulang. Karena hari semakin gelap juga.
Kini Naya sedang berada didalam kamarnya, dia mengotak-atik ponselnya. Lalu dia mematikannya, tidak ada apa-apa. Baru saja dia hendak ingin berdiri, notif W******p terdengar.
Naya membuka aplikasi itu, dahinya menyernyit heran.
Gavin:
Nay
Dengan malas dia mematikan ponselnya kembali, tidak penting!
Tapi deringan itu kembali berbunyi lagi. Dengan kesal dia membuka W******p lagi, kemudian membalasnya dengan perasaan kesal.
Gavin:
Ko di read doang si?
K Naya:
?!
Sedangkan disisi lain, Gavin memandang ponselnya dengan terkekeh pelan. Pasti Naya sedang kesal, karena dia tidak suka jika ada yang mengiriminya pesan apabila itu tidak penting-penting banget.
"Lagi ah," ucap Gavin terkekeh.
Gavin :
Lagi apa?
Read.
Gavin berdecak. "Nyebelin."
"Spam aja, bodo." Gavin kembali bermonolog.
Gavin:
Nay, lo mah gitu:(
bales napa sih:(
Nayaaaanggg🤣
Eh, Naya mksud gue🤣
K Naya:
APA SI APA
Gavin :
Lo marah ya? maaf deh
maaf🤣
K Naya:
G JLS!
Gavin:
Iya, gajelas kalo hidup
gue tanpa lo.
/Read.
Gavin sudahi sajalah, dia juga merasa lapar malam ini. Dia perlahan berjalan, menuruni anak tangga satu persatu. Yaiyalah, masa iya langsung loncat, bunuh diri itu namanya.
Dia membuka kulkas, kosong. Lalu ke meja makan, kosong juga? Astagfirullah, kerja lembur bagai Quda, sampai lupa orang tua!
Gavin menyambar kunci mobil dan memakai hoodie kuning gelapnya.
Sesampainya di ruang TV, dia menemui orang tua nya yang sedang menonton sinetron, kalau nggak salah liriknya,
Kumenangiss ... Membayangkan ...
Sinetron apa, ya?
"Mau kemana, Vin?" tanya Renata, sang Mama.
"Mau beli cemilan, di kulkas kosong, di meja makan nggak ada makanan."
"Pakai mobil aja ya, udah malem," sahut Ardi, sang Papa.
"Iya, Gavin pergi dulu. Assalamualaikum." Salamnya setelah mencium punggung tangan keduanya.
***
"KEVAAAAANNNN!"
"Apasi Nay, kuping gue budek ini, agh."
"Lagian lo diapanggilin gak nyaut-nyaut," ujar Naya dengan mengerucutkan bibirnya. Kesal.
"Nyaut-nyaut emangnya gue ikan apa!" tukas Kevan.
"Anterin ke depan."
"Ke depan? Depan mana? Depan pintu? Gitu aja perlu dianter. Man—"
"SUPERMARKET, ONTA!" Naya berteriak tepat disamping telinga Kevan, yang mana membuat Kevan menjauh dari Naya.
"ANJING! KUPING GUE!" Kevan ikutan berteriak sambil mengusap-usapkan tangannya ke telinganya.
Jessie dan Devan yang mendengar teriakkan anak-anaknya saling melempar tatapan seolah bertanya 'kenapa?'
Tanpa dikomando, Jessie menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa disusul oleh Devan dibelakangnya. Mereka melihat ke kamar Kevan yang terbuka lebar. Mereka dapat melihat, Naya yang sedang kesal, dan Kevan yang mengusap-usapkan tangannya ke telinga.
"Ada apa sih kalian ini? Kaya di hutan aja pake teriak-teriak segala," cetus Jessie.
"Naya, Ma. Dia teriak di telinga Kevan," adunya.
Devan ingin membuka suara. Tapi—
"Naya mau ke supermarket, Ma. Nay minta anterin Kevan, tapi Kevaby nggak mau." Naya berujar dengan memajukan bibirnya, kesal.
"Eh, gue belum bilang mau apa kagak, Maimunah!"
"Nama gue Naya," ralatnya.
"Serah! Pokoknya gue belum jawab mau apa nggak!"
"Sudah, sudah. Kevan, kamu antar dong Naya. Emangnya kamu mau kalau diajalan Nay kenapa-napa?" lerai Devan. Sedangkan Jessie, dia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Ih, Papa! Kok kaya nyumpahin Nay kenapa-napa, sih?"
"Bukan begitu, Kanaya ... masa papa nyumpahin yang buruk-buruk sama anak sendiri?" Devan mengusak rambut putrinya.
Lalu pandangan Devan kembali ke arah Kevan. "Mau adikmu kenapa-napa?"
"Eng ... nggak sih." Kevan menjawab dengan terbata-bata, awalnya ia hanya ingin bermain-main sebentar dengan Naya dan mengusili adiknya itu. Namun, tampaknya Naya sedang sensitif, ya?
Kanaya yang dirumah memang super duper menjengkelkan juga bikin Kevan pusing sendiri.
"Ya sudah, sana antar Naya. Bahaya juga sudah malam."
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow