Share

EUFORIA
EUFORIA
Penulis: Marion D'rossi

Kisah yang Menjijikkan

Aku tidak pernah menginginkan hal seperti ini, tapi arus sungai kehidupan yang keruh dan menghitam telah membawaku ke sebuah neraka kekosongan. Jika membaca cerita ini, aku yakin kalian akan merasa jijik padaku.

Semua terjadi begitu saja tanpa pernah direncanakan. Hidupku hancur, terbengkalai, dan aku menjadi seorang pengangguran yang menjijikkan.

Biaya hidup yang semakin tinggi di kota membuatku harus berjuang mati-matian mencari receh demi bertahan hidup. Biaya perawatan ibuku di rumah sakit demikian menjadi masalah yang hampir membuat kepalaku meledak tak tertahankan.

Mengeluh memang percuma dilakukan, tetapi wajar aku mengutuk hidup ini karena terlalu memberikan masalah yang tidak pernah bisa aku tanggung sendirian.

Senyum dan tawa semua orang di gemerlapnya lampu-lampu bangunan menjulang tinggi kota metropolitan ini menambah kebencian di hatiku yang menghitam. Aku mengutuk mereka semua.

Gembira, bertepuk tangan, kenyang, terpuaskan, dan berbunga-bunga. Semua hal yang dialami orang lain menjadi masalah bagiku. Andaikan Dewa itu benar-benar ada, mungkin aku tidak akan terjerat masalah seperti ini. Andaikan semua orang tahu dan merasakan apa yang kualami, semua tidak akan serumit ini.

Kesekian kalinya, aku mengumpat seperti orang yang telah kehilangan akal sehat. Lagi-lagi, aku berteriak pekak di jembatan sambil menatap lautan di bawahnya. Lagi dan lagi aku berpikir untuk menghabisi hidupku sendiri.

Namun, jika mati, bagaimana dengan ibuku? Hidupku memang tak lagi penting. Berpikir mati bukan berarti aku harus lari dari tanggung jawab. Setiap pertanyaan yang ada di kepala tak lagi dapat ditampung. Jika aku tetap memaksa hidup seperti ini, semua akan berakhir dengan kematian.

Sampai suatu ketika, seseorang berkata padaku. "Bukankah tidak ada gunanya setiap malam ke jembatan ini dan berpikir untuk mati? Setiap waktu itu adalah uang yang berharga."

Aku sedikit tertawa mendengar kata-kata itu. Setiap waktu adalah uang yang berharga? Jika itu benar, lalu mengapa aku tidak juga mendapatkan uang untuk mengatasi semua masalahku?

Jika saja benar, aku tidak akan terlihat begitu depresi memikirkan biaya hidup dan rumah sakit.

Aku tidak menjawab, membiarkan wanita yang entah seperti apa wajahnya, aku tidak pernah ingin tahu tentang apa pun. Pandanganku masih tertunduk menatap gelombang laut yang mulai meninggi.

"Saya selalu melihatmu di jembatan ini setiap malam. Dengan wajah yang sama dan dengan teriakan yang sama. Saya yakin itu adalah keluhanmu terhadap hidup ini. Ikutlah dengan saya. Kamu bisa hidup enak dan semua masalahmu akan teratasi."

Yang benar saja. Apakah dia semacam Dewa Penolong? Masihkah ada manusia seperti itu di dunia ini?

Sekarang, aku terpaksa harus melihat wajahnya. Dia, seorang wanita paruh baya mengenakan topi bucket berwarna hitam sambil menyesap rokok putih yang terselip di antara jari telunjuk dan tengah.

Wajahnya sangat datar tanpa ekspresi. Satu hal yang aku yakini pada seseorang sepertinya, dia mungkin tidak berbohong menawarkan kehidupan yang sangat enak, seperti yang ada di dalam pikiranku saat ini.

Wanita itu tidak terlihat tua, maupun tak terlalu muda. Tahi lalat tipis kecil di atas bibir membuatnya tampak lebih manis. Gaun hitamnya dengan rok selutut memberikan kesan bahwa dirinya tahu bagaimana mengatur diri sendiri agar terlihat lebih baik di mata semua orang.

"Jangan menatap saya seperti itu. Jadi, apakah kamu mau ikut dengan saya atau tidak? Kesempatan ini tidak datang dua kali."

"Gue nggak ngerti apa yang lo bicarakan. Kenapa gue harus ikut sama lo dan kenapa juga lo menawarkan sesuatu yang nggak jelas ke gue."

Dia tertawa kecil, lalu membuang puntung rokok ke aspal, menginjaknya dengan lamat. "Karena saya tahu kamu sangat butuh uang. Ibumu masuk rumah sakit, kan? Dan mungkin kamu pun belum makan seharian ini."

Aku mulai heran padanya. Mengapa dia tahu semua masalah yang sedang aku hadapi, bahkan sampai mengetahui perutku belum juga diberi makan apa pun.

"Siapa lo sebenarnya?"

Tidak menjawab apa pun, justru dia memberikan sebuah kartu nama berwarna hitam yang huruf-hurufnya tampak menyala di kegelapan.

Terbuai rasa penasaran, aku turun dari besi pembatas jembatan. Sepertinya, malam ini aku pun harus mengurungkan niat untuk melompat ke lautan. Padahal, aku telah benar-benar akan melakukannya.

Aku masih menatap ke arah wanita itu.

"Kenapa? Ambillah dan kamu akan tahu saya siapa."

Di kartu nama yang telah kuambil dari tangan si wanita, tertulis sebuah nama, mungkin semacam nama perusahaan atau entahlah dan nomor telepon serta alamat website.

"CatHub?"

"Saya akan menunggu jawaban darimu. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Kamu harus ingat, waktu adalah uang dan nyawa ibumu tidak menunggu waktu untuk dicabut Dewa Kematian."

Wanita yang tidak kuketahui namanya itu berjalan hingga menghilang dari pandangan.

Hidup ini sungguh lucu, memberikan harapan saat harapan itu sendiri benar-benar akan hilang ditelan putus asa. Dan sekarang, aku harus mencari tahu tentang CatHub dan bisnis apa yang mereka jalankan.

Semua terjadi tanpa pernah direncanakan. Terjadi secara tiba-tiba dan aku benar-benar terperangkap dalam sebuah dilema. Ketika telah mengetahui tentang CatHub dan siapa wanita itu sebenarnya, kini jauh lebih sulit menentukan apakah aku akan masuk ke gelapnya dunia itu.

CatHub, sebuah perusahaan dan agensi yang memproduksi film-film dewasa. Itu artinya, apakah aku akan dipekerjakan sebagai orang yang memainkan peran di dalam produksi film-film mereka?

Jika pada kenyataannya seperti itu, bukankah aku harus membuang kehormatanku? Bukankah aku juga harus sanggup menahan setiap pandangan jijik orang lain terhadapku?

"Bagaimana? Kamu sudah mencari tahunya sendiri, bukan? Sekarang, saya ingin mendengar jawaban langsung darimu. Jawaban itu akan direkam. Setelah itu, kamu akan diberikan sebuah kontrak."

Seperti biasa, aku belum dapat memastikan jawaban yang akan kuberikan pada wanita itu. Mataku lamat menatap lautan yang kini gelombangnya tidak setinggi kemarin malam.

Jawabanku akan menentukan masa depanku. Busuknya kehidupan ini telah membuatku berkali-kali jatuh dan merasa kelaparan. Aku tidak lagi bisa berkompromi dengan Dewa yang menjaga dunia ini. Aku telah merasa ditelantarkan.

"Kamu akan bekerja sebagai aktor kami. Tentu saja, kamu sudah mengetahui gambaran tentang pekerjaanmu, bukan? Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga banyak untuk pekerjaan ini. Ini tergolong pekerjaan yang enak dan kamu hanya perlu melakukannya."

Bagaimanapun aku frustrasi terhadap hidup ini, kata-kata si wanita telah berhasil menyulut kemarahan di dalam diriku.

"Lo bilang pekerjaan yang enak?! Jangan bercanda sama gue! Itu pekerjaan yang akan membuat nama gue tercoreng ..."

"Bukankah kamu sudah tidak punya kebanggaan lagi? Untuk apa memikirkan nama baik di mata orang lain? Yah, terserah kamu saja. Saya sudah menawarkan pekerjaan yang tergolong sangat gampang dan punya gaji besar untuk membantu mengatasi masalah-masalahmu.

Kamu akan bisa membeli rumah baru dan mobil sebanyak apa pun yang kamu inginkan."

Dia berbalik badan, seolah-olah menyerah membujukku menerima tawaran itu.

"Saya anggap kamu menolak. Kesempatan tidak datang ..."

Aku segera turun dari pembatas jembatan. "Oke! Gue akan terima tawaran lo!"

Senyum yang mengembang di wajahnya menandakan kepuasan. Sepertinya dia hanya mempermainkanku. Dia sebenarnya telah mengetahui aku akan menerima tawaran itu karena keadaanku yang tidak bisa ditanggulangi oleh usaha sendiri.

"Kalau begitu, kamu akan mulai bekerja di CatHub besok malam. Seorang artis, gadis baru sudah siap menunggumu di ranjang. Tenang saja, dia masih virgin."

"Bajingan!"

Dia tertawa kecil. Melihat laki-laki rendahan sepertiku seolah-olah menjadi hiburan baginya.

"Kalau begitu, ikutlah dengan saya."

Akhirnya, cerita ini dimulai. Cerita yang akan membuat kalian memandangku dengan tatapan jijik. Selamat menikmati dan selamat datang di kehidupan baruku yang diselimuti kegelapan.

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status