Home / Romansa / Editor Dingin Bikin Bucin / Bab 5: Tangga Kesuksesan

Share

Bab 5: Tangga Kesuksesan

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-03-01 13:00:05

Lima tahun telah berlalu, dan Isabella berhasil bangkit dari keterpurukan. Dengan gigih dan tekad yang kuat, ia menjadi penulis terkenal dengan nama pena 'Dark Aurora'. Karya-karyanya bukan hanya sukses, tetapi juga selalu merajai tangga penjualan, menjadi best seller setiap kali diluncurkan. Bahkan, beberapa novelnya telah diangkat menjadi film yang sukses di pasaran.

Keberhasilan Isabella membuatnya menjadi pusat perhatian industri penerbitan. Kini, Isabella tidak pernah lagi mengajukan naskahnya ke penerbit. Sebaliknya, penerbit-penerbit besar yang selalu mengejar-ngejar Isabella agar bisa menerbitkan karyanya. Tawaran kontrak dan kerjasama dengan penerbit-penerbit ternama selalu menghampirinya.

Isabella telah membuktikan bahwa meski pernah terpuruk dan dihantui masalah, keberhasilan adalah hasil dari ketekunan dan tekad yang kuat. Kini, namanya bersinar di dunia tulis-menulis, dan setiap karyanya dinanti-nantikan oleh para pembaca setianya.

Isabella dan penerbitnya, bersama-sama dengan tim acara, menyusun rangkaian peluncuran buku yang meriah. Panggung dihias dengan elemen-elemen yang menggambarkan atmosfer misteri dari novel terbarunya, “Shadows of Destiny”. Lampu sorot yang lembut menyala, menciptakan suasana yang dramatis di dalam ruangan.

Ketika Isabella melangkah ke panggung, tepuk tangan meriah menyambutnya. Senyumnya yang hangat dan tatapan mata penuh keyakinan menciptakan kedekatan langsung dengan para pembaca. Setelah memberikan sambutan singkat, Isabella mulai membacakan cuplikan dari novel barunya.

“Shadows of Destiny” membawa para pembaca dalam petualangan yang tak terduga. Plot yang penuh intrik dan karakter yang kompleks seolah hidup di atas halaman-halaman buku. Setiap kalimat yang diucapkan Isabella membangun ketegangan, dan audiens tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak.

Setelah membacakan cuplikan, Isabella menjawab pertanyaan dari penggemar yang telah disiapkan sebelumnya. Isabella dengan penuh antusias memberikan wawasan tentang proses kreatifnya, inspirasi di balik cerita, dan tantangan yang dihadapinya selama penulisan.

Sesi tanda tangan buku menjadi momen puncak acara. Antrean panjang pembaca yang ingin mendapatkan tanda tangan langsung dari penulis terkenal ini mengisi ruangan. Isabella berbicara dan tersenyum kepada setiap penggemar dengan penuh perhatian. Mereka pun berbagi kesan dan apresiasi mereka terhadap karya-karya Isabella.

Isabella melihat Viktor Schneider berdiri di antrean penggemar, dan ekspresi terkejut melintas di wajahnya. Namun dengan sikap profesional, Isabella menyambutnya dengan senyuman ramah.

“Tuan Viktor Schneider?” tanya Isabella saat Victor akhirnya berdiri di depan mejanya. Victor tersenyum senang. “Senang kau masih mengingatku, Rossi.” Victor mengajukan buku , ‘Shadows of Destiny’ untuk ditandatangani. Isabella pun segera memberikan tanda tangan di sana.

“Terima kasih, Rossi,” kata Viktor dengan senyuman. “Aku sangat menikmati karyamu yang luar biasa ini.”

Isabella menangkap nada hormat di dalam kata-kata Viktor, dan itu memberinya kepuasan tersendiri.

“Sangat senang mendengarnya, Tuan Viktor,” jawab Isabella dengan sopan. “Semoga kau menikmati perjalanan yang ada di dalamnya.”

“Setelah acara peluncuran buku berakhir, apa kau ada waktu untuk bertemu denganku?” tanya Victor. Isabella terkejut dengan undangan tersebut, namun juga penasaran dengan niat pria berkepala plontos itu. Isabella akhirnya mengangguk.

“Baiklah, kita bisa bertemu setelah acara ini selesai,” ujar Isabella akhirnya, memberikan kepastian. “Tapi aku ingin tahu, apa yang membuat anda tertarik untuk bertemu denganku?”

Viktor tersenyum, “Aku rasa kita memiliki banyak hal untuk dibicarakan, terutama setelah melihat keberhasilan yang kau capai. Dan mungkin, ini juga saat yang tepat untuk aku meminta maaf.”

Isabella merasa kagum dengan kejujuran Viktor, dan hatinya sedikit terharu mendengar permintaan maaf yang sepertinya lama dia tunggu.

“Baiklah, tuan Vicrtor. Sampai ketemu nanti,” ucap Isabella, memutuskan untuk memberikan peluang kedua pada Viktor.

Setelah acara peluncuran buku selesai, Isabella segera meluncur ke sebuah kafe tempat Victor Schneider menunggunya. Setibanya di kafe, Isabella segera duduk di depan pria tersebut. “Maaf membuat anda menunggu lama.”

“Tidak masalah, Rossi. Justru aku sangat berterima kasih karena kau bersedia bertemu denganku.”

Isabella melihat ke meja, melihat di sana sudah ada dua cangkir kopi yang masih utuh. Victor segera menjelaskan. “Aku sengaja memesankan untukmu, semoga kau menyukainya.”

“Terima kasih Tuan Victor,” ucap Isabella sembari tersenyum, kemudian meminum kopi tersebut.

“Kurasa aku tak perlu banyak basa-basi, sebenarnya aku mengajakmu bertemu karena aku ingin meminta maaf atas kejadian di masa lalu,” ucap Victor dengan nada penuh penyesalan. Isabella sangat lega karena akhirnya bisa mendengar kata-kata yang telah lama dinantikannya.

“Aku sungguh menyesal, Rossi. Aku mengakui kesalahanku.” lanjut Victor.

Ucapan penuh penyesalan itu membuat Isabella kembali teringat pada sosok yang telah mengkhianatinya di masa lalu. “Ngomong-ngomong, aku penasaran bagaimana kabar penulis itu? Maksudku, Elise Dubois?”

Victor terdiam sesaat saat Isabella menanyakan tentang Elise, sebelum akhirnya dia menjelaskan. “Elise Dubois cukup mempermalukan aku dan juga penerbitan kami, Rossi. Kami memutuskan untuk memasukkan namanya dalam daftar black list, di masa depan dia tidak akan bisa menerbitkan karya di penerbit mana pun.”

Isabella tersenyum kecut. “Dia memang bukan penulis.”

“Aku sangat menyesal karena dulu sempat percaya padanya— aku harap kau bisa memaafkanku, Rossi,” ucap Victor.

“Aku menerima permintaan maaf anda, Tuan Victor. Meski saat itu aku sangat marah, aku sadar jika anda tidak sepenuhnya bersalah,” jawab Isabella. “Tapi kurasa anda juga seharusnya meminta maaf pada Nathaniel.”

Viktor menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab, “Aku tahu. Dan jika aku diberi kesempatan, aku akan meminta maaf padanya juga.”

Isabella termenung, memikirkan keberadaan Nathaniel. Meskipun hidupnya telah sukses selama lima tahun terakhir, dia masih merasa beban di hatinya terkait dengan kepergian Nathaniel yang tidak jelas.

Lamunan Isabella terputus ketika Viktor kembali bicara, “Rossi, aku berharap kita masih bisa bekerja sama di masa depan. Apa kau masih tertarik menulis di penerbitan kami?”

“Terima kasih, Tuan Viktor, tapi aku tidak tertarik untuk menulis di sana,” ucap Isabella sambil mengemasi barangnya. “Sebenarnya aku masih ingin banyak berbincang dengan anda, tapi sayangnya aku masih banyak urusan. Aku permisi dulu.”

Victor menghela napas kecewa, menelan kenyataan bahwa ia gagal membujuk Isabella menulis untuk penerbit tempatnya bekerja. Isabella segera bangkit, kemudian melangkah meninggalkan kafe.

Isabella melangkah mantap menuju mobilnya, duduk di balik kemudi, dan melajukan mobilnya. Tatapannya kosong, menerawang ke masa lalu yang penuh kebingungan. Keheningan di dalam mobilnya hanya diisi oleh suara mesin dan kereta yang melintas di seberang jalan.

Isabella menyetir dengan tatapan yang terlihat melayang, teringat pada sosok Nathaniel yang selalu misterius dan menarik hatinya. Setiap detik terasa berat, dan keinginannya untuk bertemu dengan pria itu semakin kuat.

Selama lima tahun ini, Isabella tak pernah berhenti memikirkannya. Pertanyaan tentang keberadaan Nathaniel selalu menghantuinya, dan terkadang, di tengah kehidupan sukses yang dia raih, ia merasa ada sesuatu yang kurang tanpa kehadiran Nathaniel.

Saat tengah menyetir, Isabella merasa seolah melihat bayangan Nathaniel berjalan di trotoar. Jantungnya berdetak kencang, memenuhi dadanya dengan perasaan campur aduk. Apakah yang baru saja terjadi hanyalah ilusi, ataukah Nathaniel benar-benar berada di sana?

Isabella segera mengerem mobilnya dengan agak kasar, lalu segera turun, dan bergegas mencari Nathaniel di antara kerumunan pejalan kaki yang berlalu-lalang di trotoar. Keadaan di sekitarnya memperumit pencarian.

Pandangannya melayang dari satu wajah ke wajah lain, mencari tanda-tanda yang familiar. Akhirnya, dia melihat seorang pria dengan punggung yang terlihat seperti Nathaniel. Pria mungil itu berjalan menjauh.

Dengan hati yang berdebar, Isabella melangkah cepat, membelah kerumunan orang-orang yang sibuk di trotoar. “Permisi! Permisi!” serunya sambil berusaha mencapai Nathaniel. Detik demi detik, dia semakin mendekat.

Akhirnya, Isabella berhasil menyusul sosok pria yang mengganggu pikirannya selama lima tahun terakhir ini. Dengan langkah pasti, dia menepuk pelan bahu pria tersebut, mencoba menarik perhatiannya.

“Excuse me,” ucap Isabella dengan napas terengah-engah, “Nathaniel?”

Pria tersebut menoleh saat Isabella menepuk bahunya, dan pandangan mereka bertemu. Namun, Isabella harus menelan kekecewaan saat menyadari jika pria di hadapannya ternyata bukan Nathaniel. Sementara itu, pria yang tak dikenal itu memandangnya dengan bingung.

“Maaf, sepertinya aku salah orang,” ucap Isabella. Pria tersebut hanya mengangguk, masih bingung dengan situasi yang tak terduga ini. Isabella kemudian memberi senyuman pahit, “Sekali lagi aku minta maaf,” ucapnya lagi sebelum melangkah pergi menuju mobilnya.

Ketika ia sudah duduk di balik kemudi, Isabella masih merasa hatinya dihimpit kekecewaan. Dalam hati Isabella bertanya-tanya, apakah masih ada kemungkinan untuk bertemu dengan Nathaniel lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 139. Ending

    Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan

  • Editor Dingin Bikin Bucin   138. Kerjasama Lagi

    Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 137. Kejutan

    Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 136. Meminta Maaf

    Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 135. Membersihkan Nama

    Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 134. Rindu Suaramu

    Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status