Kuputuskan untuk pulang kerumah. Kulihat pintu kamar mom terbuka. Dia sedang memasukkan pakaian kedalam koper. Ketika melihatku berdiri didepan pintu kamarnya, dia langsung melihat arloji di tangannya. Kemudian kembali memasukkan beberapa pakaian formal sebelum menutup koper. “Kau sudah pulang?”
“New York?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.
Mom menggeleng, “Miami.”
Dapat kulihat sudut bibir mom berkedut menahan senyum. Sementara aku mengerang kesal. “Kau ke Miami tanpa diriku?”
Tawa mom pecah saat aku menjatuhkan diri ke ranjang disebelahnya. Berguling seperti anak berumur lima tahun yang sedang merajuk.
Yeah, aku merindukan udara seperti Miami. Aku merindukan matahari yang menyengat menusuk kulitku! Dan mom pergi sendiri tanpa mengajakku.
“Okay, aku harus berangkat sekarang. Aku harus secepatnya berangkat, Abby. Membutuhkan hampir lima jam menuju Seattle.” Mom menggoyang-goyangkan tubuhku yang tertelungkup. Aku ingin merajuk seperti biasanya. Tapi mom sedang buru-buru. Dan tidak akan membuahkan hasil jika aku terus berkeras.
“Kau menginap di Seattle?” tanyaku masih dengan wajah menghadap ranjang.
“Hmm,” sahutnya cepat. Aku berbalik telentang. Melihat mom yang sedang berganti pakaian santai. Dia menguncir longgar rambutnya. “Kunci garasi dan pintu, okay. Aku akan pulang dua atau tiga hari lagi.”
“Aku menginginkan udara laut Miami!” erangku yang dibalas tawa olehnya. Mom mencium puncak kepalaku cepat, kemudian menarik kopernya.
Aku mengekori langkahnya. Lampu Mercedes-Benz yang terparkir di pinggir jalan berkedip dua kali. Mom dengan setengah berlari menuju mobil karena gerimis mulai turun. Setelah berada didalam mobil, mom menurunkan kaca jendela. “Dame menghubungiku pagi ini. Dia bilang dia menetap di Forks untuk beberapa tahun.”
Aku mematung. Bahkan ketika lambaian tangan mom ditujukan untukku, aku tidak membalasnya.
Damien menghubungi ibuku?
Hanya untuk berita tidak masuk akal itu?
Rasa kesal yang mulai hilang kembali muncul. Aku benar-benar ingin mencabik-cabik pria itu!
Aku kembali masuk kedalam rumah. Mengambil tasku yang berada di sofa, kemudian dengan cepat naik ke kamarku. Begitu sampai dikamar, kulemparkan tas itu ke sudut ruang. Bergegas melepaskan kemejaku lalu menggantinya dengan kaos dan jaket.
Aku turun setelah selesai mengganti pakaianku. Aku ingin bertemu Damien. Ingin menanyakan alasannya datang ke Forks. Aku ingin menanyakan alasannya kembali mengusik hidupku.
Tapi saat aku sudah berada didalam mobil dengan mesin menyala, aku mulai berpikir ulang.
Meskipun aku menanyakan hal itu padanya, aku tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. Kebencianku padanya membuat semuanya menjadi lebih rumit. Akhirnya setelah dua menit berpikir ulang tentang apa yang ingin kulakukan, aku memutuskan untuk tetap berada dirumah.
Kubuka pintu garasi dengan cepat, kemudian memasukkan Audi R8 hitamku. Bajuku setengah basah ketika aku masuk kedalam rumah.
Setelah aku mengunci rumah dan memastikan semuanya aman, aku mengambil beberapa makanan di kulkas dan membawanya ke atas. Setidaknya aku harus mengisi tenaga untuk memulai lagi kebencianku terhadap Damien. Dan juga soal-soal fisika sialan yang dia berikan padaku.
Tepat jam delapan malam, aku turun kebawah untuk memanaskan makanan beku yang sudah ibuku siapkan. Kusandarkan tubuhku di konter dapur, menunggu makananku yang kini berada didalam microwave menjadi layak untuk dimakan.
Ponsel yang sejak tadi kugenggam bergetar dua kali. Mom memberikan pesan bahwa dia sudah sampai di Seattle. Kemudian satu pesan dari nomer yang tidak kukenal.
Amanda bilang kau sendirian dirumah. Kau ingin aku berkunjung?
Pesan itu lugas. Pesan yang dulu sering kudapatkan dari seseorang. Aku juga tidak bertanya darimana dia mendapatkan nomer baruku. Sudah pasti dari mom.
Bunyi microwave membuatku menghentikan sejenak pikiranku. Kuselipkan ponsel kedalam saku belakang jins. Membuka microwave dan mengambil piring daging yang kini sudah layak untuk kumakan.
Sendirian seperti ini bukanlah hal yang asing bagiku. Mom sering meninggalkanku sendirian saat di New York. Meskipun dia tidak pernah membuatkan makanan untuk persediaan selama dia meninggalkanku untuk bekerja. Aku sering membeli makanan di luar. Atau memanggil layanan pesan antar.
Tapi di Forks, semuanya berbeda. Restoran FunkyForks milik orang tua West hanya buka hingga jam sebelas malam. Dan restoran itu selalu ramai pengunjung, terlebih di akhir pekan. Restoran itu juga tidak menerima layanan pesan antar. Jadi akhirnya ibuku memilih membuatkanku makanan untuk dibekukan agar nanti bisa dipanaskan saat diperlukan.
Mengenai ayahku, dia seorang yang baik. Kecelakaan pesawat yang dialaminya saat aku masih kecil membuatku kehilangan momen-momen bersamanya. Aku masih berusia dua tahun saat itu, dan mom tidak ingin menceritakan kisah itu karna terlalu melukainya.
Ibuku bekerja sebagai seorang pengacara. Memiliki firma hukum yang cukup maju di New York. Dia bahkan berencana untuk membuka cabang di Miami dan Forks. Tapi menurutnya Miami lebih menjanjikan.
Aku menyukai apapun keputusan yang ibuku buat. Dia cukup tangguh untuk menghadapi dunia yang keras sambil membesarkan seorang anak perempuan. Dia bahkan mengabaikan kehidupan pribadinya untuk memenuhi segala kebutuhanku.
Ibuku bukan seorang ibu yang sempurna. Tapi juga bukan ibu yang buruk untukku.
Setelah menyelesaikan makan, aku kembali ke kamarku dan mengerjakan tugas fisika yang hanya diberi tenggat waktu hingga lusa. Kukerjakan semua soal itu dengan mudah. Aku hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk mengerjakan lima puluh soal. Jadi setelah aku menyelesaikan seluruh soal itu, kumasukkan buku tugasku kedalam tas.
Kertas yang diberikan Damien padaku masih tergeletak didekat lampu belajar. Aku mengambilnya untuk kulemparkan ketempat sampah. Tapi tulisan kecil dibawah instruksi tugas membuatku penasaran.
Aku minta maaf. Aku merindukanmu.
Persetan dengan permintaan maafmu!
Kencan adalah hal yang menyenangkan untukku. Damien memiliki banyak kejutan menyenangkan, sama seperti dulu, saat kami masih remaja dan ibunya masih hidup. Dia banyak tertawa, banyak bercerita. Membuatku lupa jika aku pernah melalui hari-hari yang berat saat berpisah dengannya, atau saat Sidney memusuhiku. Saat ini, berada di rumahnya, dengan api unggun dan halaman belakang yang dipenuhi bantal dan lampu, kami duduk bergelung. Saling memeluk dan melilitkan kaki. Meskipun dalam lingkungan kecil, rumah-rumah berjarak cukup lebar, memberikan kami privasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Hanya kami berdua. Damien sedang bersenandung. Menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Seperti setahun yang lalu. "Aku bosan bernyanyi lagu yang sama selama dua jam." Keluhnya dipertengahan lagu. Aku tertawa. Memberikannya ciuman menyemangati untuknya. "Aku ingin satu jam lagi." Pintaku. Dia mendengus disela nyanyiannya, tapi tetap tak memprotes dan me
Bergelung didalam selimut adalah suatu hal yang menyenangkan untukku. Aku sedang ingin bermalas-malasan. Kuabaikan suara berkelontang yang berasal dari dapur di lantai bawah. Mom pasti sedang berperang dengan api dan wajan. Dan aku tak ingin mengganggunya. Hal yang menyenangkan kedua setelah bergelung adalah, sarapan yang dia antarkan untuk diriku. Bukan karena aku anak manja, tapi panas tubuhku belum berkurang sejak tiga hari yang lalu. Mungkin efek percobaan pembunuhan yang dilakukan Sidney seminggu yang lalu. Dan suaraku belum begitu membaik. Dokter bilang, ada trauma pada pita suaraku. Beruntung aku tidak bisu, karena kuatnya cekikan yang diberikan Sidney. Kabar Sidney? Dia dipenjara. Kedua orang tuanya memberikan pengacara terbaik untuk mengurangi hukumannya. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan mom. Aku yakin ibuku akan memberikan hukuman maksimal, yang setimpal dengan yang dilakukannya. "Abby, kau sudah bangun?" Mom membuka pelan pintu kamarku. Melongok
Suaraku serak nyaris hilang. Memanggil Damien yang kesetanan seperti malam sewaktu Sidney menghancurkan mobilku adalah suatu hal yang sia-sia. Kuseret tubuhku, melindas pecahan kaca dan rongsokan microwave yang berserakan dilantai. Semua itu tak terasa sakit dibanding Sidney memukul dan mencoba mencekikku. Berada ditengah ruangan, dua orang itu seperti berada dalam lingkup sendiri. Sidney sibuk meronta, mencakari tangan Damien yang bergeming. Sementara kedua kakinya menendang udara. Kupaksa tubuhku semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya aku berhasil menarik ujung kemejanya yang tak terkancing. "Dame." Suaraku seperti bisikan. Aku melihat tubuh Damien yang tersentak. Dengan cepat kedua tangannya terlepas dari leher Sidney. Dia menoleh, menatapku dengan sorot menyesal. Gerakannya terlihat cepat. Tahu-tahu dia sudah mengangkatku, membawaku keluar dari kekacauan di ruangan ini. Damien mendudukkanku di ruang TV. Tak menunggu lama, dia langsung menghilang
Damien selesai memasukkan mobilku kedalam garasi. Aku bisa mendengar langkah cepatnya di tangga, kemudian pintu kamarku terbuka. Dia memelukku sekilas, mendaratkan bibirnya pada bibirku, kemudian mencebik. "Kau bisa kembali malam nanti," bujukku sambil menepuk pelan lengannya. "Aku benar-benar butuh waktu sendiri. Hanya beberapa jam kedepan," "Aku tidak suka ini, Angel." Rengutnya tak setuju. Kuselipkan sebelah tanganku pada rambutnya-mengusap-usap pelan. "Aku benci membuatmu sendirian." Mendengar tingkahnya yang merajuk seperti anak berumur enam tahun membuatku tertawa. "Kau bisa kemari jam tujuh, okay?" "Aku benci bernegosiasi denganmu," dengusnya. Dia menciumku kembali, sebelum akhirnya mengalah dan pulang. Pintu kamarku ditutup dengan pelan, kemudian langkah kaki Damien terdengar menuruni tangga. Kularikan tubuhku mendekati jendela. Melihat Damien yang menembus gerimis menuju mobilnya. Dia menekan klakson satu kali, sebelum keluar
Di hari terakhir sekolah, seluruh orang menatapku dengan penasaran. Aku bahkan dipanggil oleh kepala sekolah, menanyakan kabar hubunganku dengan Damien.Sejujurnya, aku ingin berbohong. Tapi semalam Damien datang dengan menyerahkan surat pengunduran diri. Kemudian tadi pagi dia mengantarku ke sekolah dengan sebuah ciuman sebelum aku berjalan ke gerbang sekolah. Disaksikan oleh beberapa orang.Kuakui semuanya pada semua orang yang bertanya padaku. Bahkan kepala sekolah yang kini sedang mengurut pangkal hidungnya."Well, Ms. Miles, kau mengatakan bahwa sebelum kau pindah ke Forks, kau sudah memiliki hubungan dengan Mr. Priessle?"Kulemparkan senyum bahagiaku—yang terlalu nampak kubuat-buat—dan mengangguk mantap. "Ya, sir."Pria tua di depanku mengangguk-angguk pasrah. "Baiklah, kau boleh kembali ke kelas." Ujarnya kemudian.Aku buru-buru keluar dari ruangan. Menemui Mia yang menungguku di luar. Dia menepuk bokongk
Mobil Damien terparkir di sudut, dengan dua anak laki-laki berkumpul disana. Aku melihat punggung Sam yang membelakangiku, sementara Damien menekan tuas dongkrak dan salah satu siswa cowok lainnya memegang ban cadangan."Ada apa?" tanyaku saat jarak kami tak terlalu jauh. Damien mendongak memperhatikan Sam bekerja, sementara Sam menoleh mendengar suaraku.Sam menjawab, dengan suara setengah menggeram karena memutar besi yang aku tak tahu apa namanya. "Dean melihat gadis itu menusuk-nusuk ban Mr. Priessle dengan pisau.""Sidney?""Yap." Balas Sam cepat. "Untung saja Dean melihatnya. Mungkin dia akan merusak seluruh ban jika tidak ketahuan,"Kupejamkan mataku sejenak. Mendengar penjelasan Sam membuat kepalaku sakit. Perbuatan Sidney sudah diluar batas kewajaran, dan nampaknya Damien tak ambil pusing dengan hal ini."Dia bahkan mengacung-acungkan pisau itu kewajahku," keluh cowok yang sejak tadi memegang ban."Dasar lembek," ejek Sam.
Pagi ini aku meminta dirinya untuk menurunkanku di depan rumahku, berangkat sekolah dengan mobilku sendiri. Tapi Damien menolak dengan keras. Dia bahkan tak menggubris kekesalanku, dan memaksaku masuk ke mobilnya. Damien menyeringai ketika aku bungkam di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Suasana hatinya terlihat sangat bagus hari ini. Dia bernyanyi dengan lantang, mengikuti lagu di playlist mobilnya. Rasanya perjalanan menuju sekolah sangat singkat. Sekarang aku bisa melihat gerbang sekolah di depanku. Lapangan parkir adalah salah satu tempat paling cepat menyebarkan gosip. Damien sengaja menurunkanku di lapangan parkir siswa. Dengan mengedipkan matanya padaku, dia berlalu menuju parkiran khusus guru. Aku bisa melihat seluruh tatapan orang yang berada di parkiran tertuju padaku. Bahkan ketika aku melirik ke sudut dimana Christina sering berkumpul dengan teman-temanku—mereka menatapku dengan pandangan tak percaya. Langkah lebar Christina me
Aku meninggalkan rumah Kate dengan buru-buru. Memberitahu keempat temanku bahwa seluruh kaca dirumahku dipecahkan seseorang, sekaligus melarang keras mereka untuk ikut denganku. Mom sedang diluar kota, apa yang akan kukatakan padanya nanti? Jarak rumah Kate menuju rumahku hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima belas menit. Tapi saat ini, kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan sampai dirumah kurang dari sepuluh menit. Mobil Damien terparkir di bahu jalan. Dengan cepat kutepikan mobilku dibelakang mobilnya. Halaman rumahku sudah didatangi beberapa orang. Ben, ibunya, kedua orang tua Sid, Damien, dan dua orang polisi. Aku berjalan dengan cepat, kemudian berdiri disebelah Liliana—ibu Ben. Tangannya dengan cepat merangkulku, memberikanku pelukan singkat menenangkan. Rumahku seperti kapal pecah. Seluruh kaca depan dan lantai dua pecah. Aku belum mengecek keadaan jendela bagian samping dan belakang, tapi dapat kupastikan seluruhnya pecah. "M
"Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl