Kencan adalah hal yang menyenangkan untukku. Damien memiliki banyak kejutan menyenangkan, sama seperti dulu, saat kami masih remaja dan ibunya masih hidup. Dia banyak tertawa, banyak bercerita. Membuatku lupa jika aku pernah melalui hari-hari yang berat saat berpisah dengannya, atau saat Sidney memusuhiku.
Saat ini, berada di rumahnya, dengan api unggun dan halaman belakang yang dipenuhi bantal dan lampu, kami duduk bergelung. Saling memeluk dan melilitkan kaki. Meskipun dalam lingkungan kecil, rumah-rumah berjarak cukup lebar, memberikan kami privasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan.
Hanya kami berdua.
Damien sedang bersenandung. Menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Seperti setahun yang lalu. "Aku bosan bernyanyi lagu yang sama selama dua jam." Keluhnya dipertengahan lagu.
Aku tertawa. Memberikannya ciuman menyemangati untuknya. "Aku ingin satu jam lagi." Pintaku.
Dia mendengus disela nyanyiannya, tapi tetap tak memprotes dan me
Jika kau tinggal di Forks maka kau akan selalu kehujanan dalam setiap aktivitasmu. Dan bukan. Aku bukan Isabella Swan yang bertemu Edward Cullen. Aku hanya remaja biasa yang tinggal ditempat biasa, dengan kehidupanku yang biasa.Apa yang kau harapkan? Kisah cintaku dengan seorang vampir? Ayolah! Aku bahkan belum membaca kisah itu hingga tamat!Yap, seperti di novel vampir-manusia itu, aku juga bersekolah di Forks High School. Dan terimakasih Tuhan, aku bukan siswa disekolah ini saat novel vampir-manusia meracuni seluruh otak remaja di dunia.Kehidupan remajaku adalah jenis kehidupan menyebalkan dengan sedikit kisah cinta naif para remaja. Yeah, yeah, aku memacari seorang kapten baseball dan sahabatku mencumbu kekasihku.Oh, yeah! Jangan memutar matamu!Aku tahu kisah cinta seperti itu menjengkelkan. Tapi serius, aku mengalaminya. Dan mengapa aku berani bertaruh bahwa kehidupanku kedepannya akan menjadi sedikit lebih menyebalkan, karena man
Lorong kelas penuh sesak karena hujan lebat tiba-tiba turun pagi ini. Beberapa orang melepaskan jaket yang setengah basah, mengibaskan untuk menghilangkan air yang menempel. Dulu, seminggu setelah aku pindah dari New York ke Forks, aku menggerutu setiap kali terkena cipratan air dari jaket yang dikibaskan. Berbeda dengan diriku yang sekarang, tidak peduli dengan masalah sepele itu lagi.Aku menempelkan jariku ke pemindai sidik jari di lokerku saat Christina mendatangiku yang memakai sweater toska dengan celana jins berwarna hitam. Ujung-ujung celananya basah karena cipratan air hujan. “Tok tok.” Sapanya. Dia nyengir dengan sebelah alis terangkat. “Masa hibernasi selesai, huh?”Aku mengambil beberapa buku yang akan kubutuhkan, kemudian menutup pintu loker dengan setengah membanting. “Dan aku siap menggigit,” jawabku ketus.Christina memutar matanya. Dia menarik lenganku dengan cepat kemudian memeluknya. Langkah gadi
Kuputuskan untuk pulang kerumah. Kulihat pintu kamar mom terbuka. Dia sedang memasukkan pakaian kedalam koper. Ketika melihatku berdiri didepan pintu kamarnya, dia langsung melihat arloji di tangannya. Kemudian kembali memasukkan beberapa pakaian formal sebelum menutup koper. “Kau sudah pulang?”“New York?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.Mom menggeleng, “Miami.”Dapat kulihat sudut bibir mom berkedut menahan senyum. Sementara aku mengerang kesal. “Kau ke Miami tanpa diriku?”Tawa mom pecah saat aku menjatuhkan diri ke ranjang disebelahnya. Berguling seperti anak berumur lima tahun yang sedang merajuk.Yeah, aku merindukan udara seperti Miami. Aku merindukan matahari yang menyengat menusuk kulitku! Dan mom pergi sendiri tanpa mengajakku.“Okay, aku harus berangkat sekarang. Aku harus secepatnya berangkat, Abby. Membutuhkan hampir lima jam menuju Seattle.” Mom menggoyang-goyangkan tubuhku yang tertelungkup. Aku ingin m
Aku bergelung pada selimut lembut yang tebal. Rasanya hangat. Bunyi klakson dikejauhan membuatku berpikir ulang. Forks tidak seramai ini. Kubuka mataku perlahan. Langit mendung diluar jendela besar membuatku merasa mengantuk. Salju sedang turun. Aku ingin kembali tidur, tapi tubuhku menolak.Kulepaskan diri dari gelungan selimut. Dengan malas berjalan ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka. Kesadaranku baru benar-benar merasuki diri saat aku menatap pantulan wajahku pada cermin diatas westafel.Bukan. Cermin ini bukanlah cermin yang sama dengan cerminku di Forks. Aku berputar, menatap dinding dengan cat berwarna gading. Dibagian atas dekat langit-langit ada lukisan telapak tangan berwarna biru dan kuning yang dulu pernah kubuat dengan mom.Bukan. Ini bukan kamar mandiku di Forks. Ini adalah kamar mandiku di New York!Dengan cepat aku melangkah pergi dari kamar mandi. Kuputar gagang pin
Aku terbangun karena alarmku berbunyi nyaring. Rasanya ingin tetap berada dibawah selimut. Tapi aku harus bersekolah. Kupandang sejenak langit Forks yang berkabut. Hujan semalam membuat suhu semakin dingin.Pagi ini, aku bangun dengan perasaan kacau. Aku bahkan menemukan jejak air mata di wajahku. Mimpiku tentang Damien, yang sudah hampir tujuh bulan tidak menghantuiku, kini mulai kembali. Ada rasa penyesalan dihatiku karena tidak menyelesaikan permasalahanku dengannya dulu. Tapi kemudian kusingkirkan perasaan bodoh itu dengan berpikir bahwa dirinya yang memicu masalah.Kuperiksa ponselku sebentar. Menemukan pesan mom yang mengatakan dia akan terbang ke New York, sebelum melanjutkan perjalanan ke Miami. Lalu pesan dari nomer semalam yang menanyakan kabarku hari ini.Aku mengerang kesal. Ingat bahwa hari ini ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Damien Priessle meskipun secara kebetulan.Akhirnya, setelah aku selesai merutuki mimp
Satu tahun yang lalu“Baik, aku menyerah!” aku tidak suka belajar. Tapi mom memberikan syarat mengerikan itu jika aku ingin ponsel baru. Hanya untuk ponsel!Damien tersenyum singkat sebelum kembali menatap buku. Seakan-akan buku itu bisa berlubang jika terus dia tatap, Damien tak mengalihkan pandangannya bahkan saat aku bergulingan seperti kaleng bir kosong.Aku melemparkan kacamataku pada Damien. Dia menoleh sejenak, kemudian kembali membaca bukunya. “Demon,” rengekku seperti anak kecil.Jika mom melihat kelakuanku sekarang maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah melempariku dengan bantal. Tapi beruntungnya aku hari ini karena mom sedang lembur di kantor dan akan pulang larut.“Damien!” kutarik-tarik lengan kemeja Damien, membuatnya terpaksa untuk kembali mengalihkan fokusnya padaku. Wajahnya mencair sejenak—aku bisa melihat ekspresinya yang terlihat terganggu—kemudia
Damien mengeluarkan kunci yang disimpannya. Memutar kunci hingga pintu itu terbuka. Tapi aku kembali menutupnya. Kusandarkan tubuhku di pintu. Mengurangi keterkejutanku pada kalimatnya. Tubuhku ingin ambruk, tapi aku memaksa kakiku untuk menyangga. “Katakan kau berbohong,” suaraku bergetar. Kularikan tanganku ke bibir, menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Damien menatapku dengan ekspresinya yang tanpa topeng. Wajahnya terlihat kecut, dia menarik sudut bibirnya, tersenyum miris. Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi aku mengetahui dirinya hampir seluruh hidupku. Ekspresinya yang menyakitkan, yang membahagiakan, aku mengetahui semuanya. Udara terasa menyesakkan. Aku tidak tahu kapan aku menangis. Aku baru menyadari saat wajahku sudah basah karena air mata. “Damien katakan kau berbohong!” bentakku. Aku bisa melihat tubuhnya mundur selangkah. Langkah defensif yang dia ambil, menolak untuk menjawab secara halus. Ada jejak jijik p
Satu tahun yang laluSudah satu minggu aku tidak bisa menghubungi Damien. Aku sudah mengirimkan puluhan pesan suara padanya. Dan mungkin dia juga belum mendengarnya.Seminggu yang lalu Damien menceritakan kisah lucunya padaku. Kisah tentang dirinya yang ingin menguliti ayahnya. Menjadikannya bagian-bagian kecil untuk dijadikan umpan ikan saat dia pergi berlayar di pertengahan tahun nanti.Fantasi-fantasi liar Damien yang membuatku takut. Keinginan mengerikan Damien yang jarang muncul, tapi masih membuatku merinding setiap kali mendengarnya. Kembali kuraih ponsel yang sejak sepuluh menit yang lalu kutatap nyalang. Kutekan speed dial dengan penuh cemas. Damien harus mengangkat ponselnya atau aku akan mendobrak apartemennya.“Abby?” Suara Damien terdengar berdengung. Dia pasti sedang mabuk. Aku bersyukur dia akhirnya menghidupkan ponselnya, tapi tidak dengan keadaan mabuk seperti ini. “Ab