Share

9 - Dia dan Depresinya

Sesuai kesepakatan kami bertiga, waktuku untuk mendesain rumah tinggal Hyunji hanyalah dua minggu, sudah termasuk semua revisi yang kemungkinan besar akan banyak sekali. Tapi Hyunji menawariku untuk membuat desain tersebut di rumah sewaannya. Empat belas hari dalam dua minggu. Selama dia mengajar di kampus, aku boleh menggunakan fasilitas di rumah itu. Termasuk mandi, memasak, mencuci baju, menjemur, dan menginap.

Aku memanfaatkan fasilitas itu sebaik-baiknya. Selain karena semua fasilitas dan jaminan yang kudapatkan, aku jadi lebih mudah mengamati kebiasaan Hyunji selama seharian. Sifatnya secara langsung memengaruhi warna kesukaannya, abu-abu tua dan biru matanya. Perpaduan dua warna tersebut harus dimaksimalkan tanpa kesan paksaan. Hyunji juga menginginkan pencahayaan alami sehingga aku merancangkan jendela minimalis layar lipat atau yang biasa disebut dengan folding screen di bagian ruangan yang akan menghadap ke sebuah taman.

Pekerjaan menggambar itu kulakukan setelah pulang dari kampus. Kemudian malamnya akan kudiskusikan dengan Hyunji setelah dia mandi. Kegiatan menjadi panitia sukarelawan kepanitiaan OSPEK memang hanya memakan waktu seminggu, tapi aku harus datang pukul tujuh pagi dan pulang pukul empat sore. Badanku remuk, kepalaku memar, dan mataku rasanya seperti mengalami varises. 

Pada hari keempat, aku menyerahkan draft pertamaku pada Max, yang bentuknya hanya berupa denah kasar dengan beberapa ruang utama sesuai keinginan Hyunji. Max memintaku untuk mulai menggambarkan detailnya dan segera memindahkan detail 2D itu ke dalam bentuk 3D, yang mana merupakan tantangan terberat dalam tugasku ini. Di kampusku, arahan menggunakan software untuk menggambar tampilan 3D atau materi apa pun yang memerlukan komputer baru diajarkan mulai semester empat.

Di rumah Max, aku bertemu dengan semua orang—bahkan termasuk ayah Max yang legendaris itu, yang ternyata sangat menggemari warna hitam dan sweter turtleneck walau ini Indonesia—kecuali Bree.

Selagi Max merevisi pekerjaanku, aku menghampiri Junko di ruang tengah lantai dua. Kelas tiga SMA disimpulkannya sebagai waktu paling merepotkan sepanjang masa remajanya. Walau dia sudah memiliki dua bisnis yang akan segera dikelolanya setelah lulus nanti, Junko memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S1 di bidang Fashion Designer, yang berarti dia tetap saja harus mempersiapkan diri menghadapi ujian tulis untuk bisa diterima di perguruan tinggi negeri.

Tirai berat tersingkap sehingga aku bisa melihat kamar Bree yang gelap. Ini adalah saat di mana bulan Juli menyumbangkan cahaya matahari yang lebih lama dari bulan-bulan lain sepanjang tahun. Tapi pada pukul tujuh, matahari telah tenggelam sepenuhnya. Lampu di pot beton bunga lonceng putih di teras depan menyorot seperti susu neon, yang memberkaskan bayangan dari benda-benda di belakangnya ke arah kamar Bree. Belum pernah aku melihat kesan kesendirian di rumah ini. Tapi kamar Bree saat ini benar-benar menggambarkannya.

"Dia ke mana?" tanyaku, menunjuk kamar Bree yang senantiasa rapi. Kali ini bahkan mejanya juga.

"Katanya lembur di ruang kerja fakultas teknik mesin. Padahal," Junko mendesah. "Kau ingat beberapa hari lalu saat kami mengantarmu dan Max menghadiri meeting kalian?"

Aku mengangguk.

Junko yang terlena oleh pijatannya sendiri di bagian pelipis setengah memejamkan mata waktu melanjutkan. "Mood-nya sedang sangat buruk. Biasanya kami hanya akan bermusuhan paling lama tiga hari. Mama tidak suka kami saling diam. Dia lalu akan membuatkanku secangkir cappuccino bergambar hati, satu-satunya teknik pouring yang dia bisa. Tapi sekarang hampir seminggu dan dia belum menyapaku."

Tawanya saat istirahat bersamaku di sofa ruang tengah lantai satu setelah kami selesai menyulap Jotunheim kembali menjadi Asgard mendadak mencubit jantungku. Empat hari menginap di rumah Hyunji (dua kali bercinta, dan sudah kupastikan kalau dia belum menikah) kupikir bakal membuatku melupakan Bree. Tapi yang terjadi sebaliknya. Seringkali aku berharap bahwa wanita yang berbaring di sebelahku saat aku terbangun di pagi hari adalah Bree.

Apa-apaan, Thomas?

Kenapa? Ini soal nafsu. Kau tidak akan marah padaku soal nafsu. Nafsu adalah hal paling alami dari fungsi organ dan saraf manusia dan hewan. Aku kebetulan keduanya. Homo sapiens. Tidak mungkin aku menerima impuls tapi diam saja. Tubuhku dalam kondisi normal, maka nafsuku juga normal.

Kau tidak pernah bisa mengendalikan nafsumu.

Aku sedang mencari tombolnya di tubuhku, May. Tapi tidak pernah menemukannya.

"…Tiga hari." Junko menolehku dan menatap mataku lekat-lekat. "Kau bayangkan."

"Apa?"

"Bree tidak pulang selama tiga hari. Tadi pagi dia pulang untuk mengambil kemeja jurusannya lalu pergi lagi. Mama tidak bakal menghadiri wisudanya kalau nanti malam dia tidak tidur di rumah."

Sandra benar-benar mencengangkan. Dia ditakuti semudah dia disayangi.

"Apa menurutmu aku sudah keterlaluan?"

"Pada Bree?"

Junko mengerjap. "Kuperhatikan kau memanggilnya Bree sejak… Tadi. Atau sejak kapan?"

"Sejak kau mulai berkeliling Bali dan meninggalkan rumah ini dalam keadaan porak-poranda."

"Kau membaca buku dengan kakakku."

"Setelah membersihkan semua kekacauan yang dibuat keluarganya. Jadi karena Sandra tidak menoleransi tamu membersihkan rumahnya, aku menawarkan diri menjadi bagian keluarga. Bree menerimaku."

Dalam jumpsuit sewarna kopinya yang sedikit ketat, Junko kelihatan seperti muda permanen. Lengan jumpsuit itu panjang, tapi pipa celananya hanya sepanjang paha bagian atas Junko yang ditumbuhi bulu halus, lurus, dan panjang. Berbeda dengan bulu kakiku, yang merupakan kebalikan dari halus, lurus, dan panjang. Ditambah jumlahnya sangat banyak. Dan pirang. Aku berjanji akan mencukurnya di rumah Hyunji nanti.

Tiba-tiba jantungku rasanya seperti ditonjok. Bree sudah tidak pulang selama tiga hari dan dia masih bermusuhan dengan Junko. "Sepertinya Bree serius dengan Zaman Kegelapan Skripsinya."

"Pikirku juga begitu. Tapi dia menghindari semua orang. Aku beranggapan dia hanya sedang marah padaku saja, tapi ternyata tidak. Dan, yang sebenarnya menyebalkan, Thomas, ini pernah terjadi sebelumnya, tapi hanya sekali."

Karena aku tidak tahu aku boleh mendengarkan cerita itu atau tidak, aku hanya memandangi Junko dan mangkuk puding di pelukannya. Kedua kakinya ditekuk di depan dadanya yang tertutup rapat. Kelihatannya dia sedang berpikir, menimbang pantaskah aku mendengar ini? Atau apakah dia diizinkan menceritakan ini?

"Kau serius ketika bilang diterima Bree dalam keluarga?"

"Seharusnya aku tahu aku harus merekamnya waktu itu."

"Baiklah." Junko menaruh mangkuk melamin jingga di antara kami dan mulai menjelaskan. "Untuk masalah cowok, sepertinya Bree mengalami sedikit... Hm, semacam ketertarikan seksual yang di... Pengaruhi umur?"

"Kau bertanya padaku?"

"Begini, Thomas." Junko kini berjongkok di atas sofa. Aku berani bersumpah ini pertama kalinya aku melihat Junko berjongkok. Mataku terasa kaku mempertahankan kontak mata kami. Aku terlalu takut menoleh ke tempat yang tidak seharusnya. "Rambut Bree dicukur pendek sejak semester enam. Benar, kalau kau masih ingat percakapan tentang motor sport, dia mencukur rambutnya tepat sehari setelah ayah kami menikah. Sejak saat itulah dia tidak pernah akur dengan cowoknya pada waktu itu."

"Cowoknya pada waktu itu." Bagaimana mungkin aku berpikiran Bree tidak pernah punya pacar?

"Namanya Kenny. Mereka putus sebulan setelah masa-selalu-bertengkar itu. Bree bilang Kenny akan melanjutkan pendidikannya di Edinburgh bulan September nanti. Nah, masalahnya, Kenny ini jenius. Dia mengambil dua kelas akselerasi, yaitu saat SMP dan SMA. Saat pertama kali mereka berpacaran, Bree telah berumur sembilan belas tahun sementara Kenny masih tiga belas tahun."

"Sangat dipengaruhi umur." Aku mengangguk setuju.

Kemudian aku ingat. Apakah perbedaan umur empat tahun masuk dalam kategori kesukaannya?

Kau akan melepaskanku detik demi detik, Thomas. Setiap kali berlalu, kau akan melupakanku.

Aku hanya bercanda.

Kau tidak pernah bercanda tentang Gesa Edrei.

Denyut jantungku meningkat. Aku berkonsentrasi untuk menghalau pikiran-pikiran lain dan kembali mendengarkan Junko, tapi kata-kata May dalam bayanganku semakin membuatku takut. Aku tidak ingin melupakannya. Tidak ingin melepasnya. Dan aku tidak ingin dia melupakanku. Tidak ingin dia melepaskanku.

"Thomas?" Aku berjengit. Junko menepuk-nepuk pipiku. "Bagus. Tetaplah bersamaku. Aku sampai di bagian terpenting. Kurasa Kenny hanya mencari-cari alasan untuk mencampakkan Bree. Kalau dia serius, dia pasti akan berusaha pulang ke Indonesia secepatnya alih-alih mencampakkan kakakku. Waktu itu kemarahan Bree masif tapi pasif. Dia kelihatan seperti cewek depresi, yang memang benar. Prestasi Kenny terlalu membanggakan di bidang akademik, dia anak istimewa. Tapi kupikir-pikir lagi prestasi terbesarnya adalah membuat kakakku depresi berat tepat setelah depresi ringan selesai."

"Bree depresi karena pernikahan ayah kalian?"

Junko mengangguk. Akhirnya dia duduk—mataku kini bebas memandang ke mana pun. "Aku membenci Kenny. Tidak mau memiliki kakak ipar yang lebih muda dua tahun dariku. Maksudku, kalau dia anak baik-baik berumur enam belas tahun yang mencintai kakakku seumur hidupnya, aku tentu akan mendukung mereka."

"Junko," panggilku. Junko berdeham. "Bree bisa saja menyusulnya ke sana."

"Sangat bisa."

Kau akan gila kalau dia pergi ke Inggris.

Kau sendiri pergi ke Belgia.

Bree akan meninggalkanmu seperti aku meninggalkanmu. Karena kau pantas ditinggalkan.

Aku menjambak rambutku dan memijatnya pelan-pelan dengan teratur. Perlahan-lahan saraf di kepalaku kembali rileks. Aku menunggu Junko bicara lagi, tapi sekarang mangkuk pudingnya sudah kosong sehingga dia bangkit dari sofa dan menunjukku. "Puding lagi, Tom? Masih ada apel, pistachio, dan cokelat yang rendah lemak di kulkas. Ayah Max tidak bakal marah. Max mungkin marah, tapi aku bisa menggigitnya."

Aku tertawa, menolak tawarannya. Gemuruh kembali membentur-bentur di seluruh dinding kepalaku, berlontaran tak tentu arah seperti gasing yang dilepaskan dalam arah bebas. Sangat bisa. Junko bahkan tidak menambahkan penyangkalan, seolah memang itulah yang akan terjadi. Tinggal menunggu waktu.

Walaupun mereka sudah putus.

Dan Bree memacari anak berumur tiga belas tahun saat dia sudah berumur sembilan belas tahun. Bagaimana bisa? Apa yang dia katakan sehingga Kenny kecil bersedia menerimanya? Terpikir olehku bahwa saat itu rambut Bree masih panjang bergelombang. Sama seperti pandanganku terhadap kecantikan Hyunji, mungkin seperti itulah pandangan Kenny terhadap kecantikan Bree. Dan memang tampaknya tepat seperti itu.

Aku melakukan apa yang Kenny lakukan. Dia terhadap Bree. Aku terhadap Hyunji yang umurnya terpaut sepuluh tahun dariku. Kenny mencampakkan Bree. Bagaimana denganku?

Aku masih berada di sana saat pukul sembilan, bersama Junko menonton Descendants of the Sun, sampai Max naik ke lantai dua dan bergabung dengan kami. Kami menghubungi Jake lewat video call. Dia sedang membuat desain untuk kedai makan Mexico bersama Victor. Itulah saham pertama yang diinvestasikan ayahnya. Tidak biasanya aku bisa melihat rambut Jake terpental ke atas seperti bekas terkena angin dari baling-baling helikopter seperti itu, jadi aku terbahak-bahak dan mengejeknya, juga mengejek Junko yang akhirnya mendengus jengkel padaku.

Mereka makin hari makin serasi. Tidak terima jika mendengar penghinaan dilontarkan orang pada salah satu dari mereka. Bagaimanapun, mereka pasti akan membela pasangannya.

Aku cemas sendiri. Biasanya, kalau menyangkut tentang pasangan, aku selalu mengingat May.

Dasar pengkhianat.

Tapi satu-satunya yang kupikirkan adalah Bree.

Aku membencimu.

Bree muncul di puncak tangga, terdiam saat melihatku, lalu berkedip-kedip sebelum beranjak masuk ke dalam kamarnya tanpa menyapa seorang pun dari kami. Tirai beratnya diturunkan. Lampu kamar tidak dinyalakan. Begitu saja.

Padahal aku sengaja menunggunya sampai pukul setengah satu malam. Dan besok aku harus sudah berada di kampus pukul tujuh pagi.

.

Untuk detail seperti kusen dan lampu, Hyunji menjelaskannya tidak terlalu mendetail. Poin yang disorotinya adalah semua ruangan harus terkesan lembut dan tenang, benar-benar harus menggambarkan dirinya.

Gaun piama satin abu-abunya yang panjang dan berekor membuat perpindahannya tampak seperti melayang alih-alih melangkah. Dia merebahkan dirinya di sofa di belakangku, membawa wangi mawar dan melati segar bersamanya. Kepalanya berada dekat leherku. Setiap kali punggungku menegak, Hyunji akan mengecup leherku dan tersenyum.

Sebenarnya aku lebih nyaman bekerja di atas meja kacaku di rumah karena kaki-kakinya tinggi. Meja kaca di ruang tamu Hyunji hanya setinggi betis bagian atasku sehingga punggungku membusur hampir sesempurna huruf U saat menggambar. Hyunji membelikanku lampu kerja portabel untuk menerangi kertas gambarku.

"Kau begitu mirip dengan Noud."

"Kekasihmu?"

"Semacam itu."

Aku heran kenapa selalu berurusan dengan orang-orang yang belum bangkit sepenuhnya dari bayang-bayang kekasihnya dulu. Apakah karena aku begitu jadi Tuhan menempatkanku di antara orang-orang yang begitu juga? Agar kami saling berinteraksi, saling melongkopi kekosongan, menimbun ceruk dengan cerita baru, dan berbahagia setelah melupakan?

Tapi baik aku, Hyunji, Edy (aku sebenarnya tidak tahu dia sudah mengakhiri hubungannya dengan Marilyn Monroe atau belum), maupun Bree sepertinya tidak pernah memiliki niatan untuk melupakan. Realitas paling menjengkelkan yang sulit untuk dilalui.

Thomas… Aku tidak bisa mengenalimu lagi.

Aku jengkel pada orang-orang yang belum bisa bangkit sepenuhnya dari masa lalunya, tapi lebih jengkel lagi pada orang yang sangat cepat melupakan masa lalunya.

Kalau begitu kau membenci semua orang.

Begitu lebih baik, bukan? Saat aku tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, kau lebih senang. Dan bahkan pendiam.

"Dia orang Belanda. Arsitek rumah kapal yang mengubah kapal-kapal penumpang lusuh di Belanda menjadi sebuah rumah yang layak ditempati, bahkan tergolong megah."

"Kau mencintainya."

"Dia menikahi teman kecilnya di Rotterdam." Hyunji berhenti saat aku menoleh ke belakang. Aku mengecup bibirnya yang selalu saja berkilauan, tidak peduli dia mengoleskan lipstik warna apa pun atau bahkan hanya karena efek setelah menggosok gigi. Hyunji tersenyum, menangkup rahangku dan membalas kecupanku. "Malam sebelum pernikahannya, kami bercinta untuk terakhir kalinya. Rasanya seperti mimpi. Sejak itu dan sebelum ini, aku tidak bercinta lagi dengan siapa pun."

"Kenapa kau melepasnya begitu saja?"

"Karena dia mencintai istrinya."

"Dan kau?"

"Kalau orang berbicara tentang makna persahabatan, kau harus percaya bahwa aku dan Noud jauh lebih pandai dalam memaknai persahabatan kami."

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Lalu gerakan-gerakan luwes tanganku menarik sabuk piama dan menanggalkan piama dari tubuhnya terjadi dengan sangat ringan. Kami melakukannya di sofa Hyunji yang menguarkan bau parfum bunga dengan lembut seperti tubuhnya yang sempurna. Peralatan gambarku berserakan di atas meja di sebelah kami. Aku meraba-raba sisi belakang telingaku untuk mencari-cari pensil, bersamaan dengan pikiran yang muncul tentang kau tidak mungkin bisa bergerak dengan gesit di atas tubuh wanita saat sedang bercinta dengan pensil mekanik masih menancap di belakang telingamu. Setelahnya, kami tertidur.

Meja kaca tiba-tiba bergetar. Dan karena itu kaca, getarannya jadi seperti gempa bumi yang diikuti tsunami. Hyunji menyeruduk ceruk leherku dan mengeratkan pelukannya saat aku berusaha menggeliat ke atas dan menjangkau meja.

Panggilan dari Gerald. Tadinya sempat kupikir Sylvia yang senantiasa iseng. Aku mengecek bar yang menampilkan jam digital di handphone. Saat ini sudah pukul dua malam. Seharusnya telepon di jam-jam seperti ini penting.

"Thomas." Daripada khawatir, Gerald lebih terdengar seperti mengagumi kemampuanku untuk tidur lebih cepat darinya. "Aku butuh bantuanmu. Seseorang memuntahi gaun beledu biru wanita galak dan orang itu kini teler di lantai dansa."

"Siapa?"

"Yuda."

"Kenapa kau menghubungiku?"

"Aku harus menghubungi siapa, Berengsek? Tino tidak mau tahu karena dia sudah muak dengan kemampuan payah lambung Yuda dalam mencerna alkohol. Jake dan Victor? Kau mau aku mengandalkan bantuan aristokrat dan ajudannya itu? Kau yakin mereka bakal mau tahu?"

Aku mendecak, memukul lantai di balik karpet sutra dengan keras. "Lalu kenapa kau hanya pergi ke pesta berdua saja dengannya?"

"Karena kau menolak untuk datang, Boyo, tentu saja."

Delapan belas menit setelahnya aku sedang memapah teman teler yang kukhianati selama sebelas tahun menuju mobil Hyunji. Bau kabin mobil ini mirip seperti samudera dan mawar, yang entah bagaimana, memancing tawa keras Yuda. Aku benar-benar khawatir dia muntah lagi. Gerald dengan cekatan melepas jaket ripped jeans-nya dan membentangkannya di bawah dagu Yuda. Tapi Yuda hanya bergumam, "Kapan aku akan mendapatkan cewek-cewek cantik seperti yang selalu Thomas dapatkan?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Little Cojong
Entah kenapa Yuda terkesan malang nian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status