Share

8 - Dia Seperti Renée

"Tidak sepenuhnya benar. Tapi kau diterima dalam keluarga Sandra. Itulah sebabnya sebenarnya sejak tadi aku ingin menyuruhmu memanggilku Bree dan bukannya Gesa."

Kenyataannya adalah aku tidak pernah menyebut namanya saat berbicara dengannya. Sebelum aku sempat menatap lama-lama matanya yang mirip batu pijar pada zaman Hadean, dia melenggang menuju rak buku dan berdengung panjang di depannya. "Kau mau di luar matematika atau di dalamnya?"

Aku berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sebuah punggung buku berwarna marun. Tapi kemudian teringat sesuatu. "Bolehkah aku menyentuh ini?"

"Sebenarnya kau boleh menyentuh apa pun. Aku hanya galak terhadap mesin espresso."

Judulnya Kemolekan Landa karangan Muriel Barbery. Aku membalik buku dan membaca blurb di sampul belakang.

"Sebuah novel terjemahan dari bahasa Perancis yang sangat sulit diucapkan. Sebenarnya aku hanya tidak mengerti cara membaca abjad Perancis."

"Kau membaca novel?"

"Aku membaca buku. Jadi ya, novel termasuk salah satunya. Aku bahkan akan mengambil buku apa pun di pameran obral buku." Aku menoleh dengan cepat, tapi tak mampu berkata-kata sehingga dia bertanya, "Apa?"

"Pameran obral buku. Kau membicarakannya sejak waktu itu."

"Harga buku-bukunya murah. Terkadang bisa sampai sembilan ribu rupiah."

"Aku memutuskan untuk pergi ke sana bulan Juli ini."

"Kita bisa mengunjunginya setiap hari sampai puas."

Tawaku pecah. Saking senangnya, dada dan perutku terasa ngilu. Kami menggemari mitologi Nordik. Kami menggilai pameran obral buku. Dan saat ini kami hanya berdua saja di rumahnya. Apa yang akan kulakukan saat ditinggal berduaan saja dengan seorang gadis? Jawabannya sudah pasti bercinta. Tapi ini Gesa, yang sekarang memintaku memanggilnya Bree. Kalau diperhatikan lebih seksama sebenarnya tubuhnya langsing, yang merupakan indikasi lain bahwa dia bukan laki-laki. Tapi tetap saja, badannya lebih besar dariku. Mudah saja baginya memitingku ke tembok lalu membantingku ke lantai. Jadi sebaiknya aku tidak mencoba mengajaknya untuk bercinta. Apalagi aku akan menghadapi amarah Junko. Dan Sandra…

Baiklah. Aku hanya akan membaca di sini.

Aku memilih tiga buku dari rak. Kemolekan Landak, Kisah-Kisah dari Negeri Belanda, dan Astrophysics for People in A Hurry. Bree menuntunku ke teras depan lantai dua dan mengajakku duduk bersama di salah satu meja. Dia baru menempelkan bokongnya ke kursi kayu selama satu milidetik sebelum memutuskan untuk kembali berdiri. "Seharusnya kita minum moccachino ice." Benar juga. Kami lupa. "Kembali dalam dua puluh menit." Dia melesat pergi. Aku mengeluarkan kotak rokok ke atas meja, menyalakan pemantik api, dan mulai merokok.

Kemolekan Landak bercerita tentang gadis cilik bernama Paloma Josse yang yang merencanakan bunuh diri saat berumur tiga belas tahun nanti. Tapi kemudian dia bertemu dengan penjaga gedung yang diam-diam sangat pintar. Aku pun mulai membaca. Dalam dua puluh menit, aku baru membaca sampai halaman dua puluh lima.

Pintu kaca dari ruang tengah terbuka di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Bree membawa tray kayu dan kakinya sedang menahan bukaan pintu. Aku segera menghampirinya untuk mengambil alih tray. Kami duduk di meja, menikmati cuaca cerah akhir Juni sambil sesekali menyedot moccachino dingin masing-masing. Sejujurnya, minuman ini terasa seperti cokelat putih yang kemanisan. Itu membuatku lebih menyukai versi panasnya.

Bree tanpa sadar selalu menghindari asap rokokku, dan mengeluarkan bunyi seperti orang batuk. Lalu dia memutuskan untuk bangun dari kursinya dan mengambil bola basket yang diletakkan di balik pot-pot pohon palem di sudut teras. "Aku memberimu irama untuk membaca." Itu hanya alasan untuk berbuat iseng.

"Siapa yang bermain basket?"

"Tentu saja Max dan ayahnya. Aku sudah pasti tidak. Apalagi Junko."

"Tapi kau tinggi sekali, Bree. Kau-" kata-kataku terhenti karena bola basket dipantulkan ke depan, tepat ke arahku. Dia menggiring bola sampai akhirnya duduk di sebelahku dalam arah sebaliknya. Bree mendorong punggunya sampai menyentuh tepian meja untuk bisa menatapku. Bola basket menggelinding kembali ke sudut teras.

"Kau tinggi sekali," ulangku karena saat di depanmu duduk seorang gadis yang cantiknya minta ampun, yang bisa kau lakukan hanyalah membantah keinginan kuat untuk menciumnya. Konsekuensinya, memikirkan hal lain jadi terasa lebih sulit.

"Coba sebut namaku sekali lagi."

"Bree?"

Bree mengangguk dengan khidmat. Matanya memancarkan kepuasan dan kelegaan. "Bagaimana mengucapkannya dalam bahasa Belanda?"

"Bre," jawabku sambil tersenyum.

"Aku menyukainya. R-mu kedengaran menyenangkan. Itu akan jadi moccachino-ku."

Dia kembali melakukan dribble dan melempar bolanya ke keranjang basket di dinding sementara aku kembali membaca. Pukul empat, kami memeriksa es krim di lantai satu bersama-sama. Tekstur bagian atasnya sudah padat, tapi ternyata itu hanya tipuan. Kami sepakat untuk kembali dua jam lagi lalu naik ke lantai dua.

Bree menjelaskan bahwa kepergian tiba-tiba Max dari rumah bisa jadi karena meeting dadakan dan kukatakan pada Bree bahwa Max tidak membawa laptopnya, tapi ternyata Bree bilang Max punya tiga laptop. Ayah Max lebih banyak menghabiskan waktu di kantor staf hotel tempat dia mengelola lounge-nya di Legian. Sandra sudah berangkat ke Edrei Beauty sejak subuh untuk memimpin general cleaning yang rutin diadakan setiap bulan.

Saat ini yang tersisa hanyalah dirinya yang malang yang berusaha menyelesaikan skripsi tentang kompresor sentrifugal. Pusing memilah-milah bahan yang melimpah di seluruh website penyedia e-journal untuk dasar teorinya.

"Lantas apa yang terjadi pada bimbingan belajar rintisanmu kalau kau sibuk seperti ini?"

Dia melirik dengan malas sebelum melempar bolanya ke tiang basket. Bola hanya berputar-putar pada kerangka besi sebelum jatuh ke luar dan memantul di lantai parket. Bree tidak mengambilnya. Dia kembali ke kursinya di hadapanku. "Itu sebabnya aku butuh rekan."

"Kau tidak berpersuasi tentang rekan padaku."

"Kau anak Arsitektur." Dugaan Max tidak meleset.

"Aku akan membantu sebisaku."

Thomas, selain pengkhianat, kau ternyata juga bodoh.

Jangan bilang aku bodoh.

Kemarin kau menolak tawaran Max. Kini kau menawarkan diri. Pengkhianat, bodoh, plinplan.

Kau bukan May. Kau suara sialan. Enyah dari kepalaku.

Aku May, Thomas. Suara itu berubah menjadi pilu. Aku bisa mendengarnya bergetar dalam ketidakpercayaan dan mengingat kekecewaan dalam tatapannya hari itu di ruang ganti gimnasium.

Maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu.

Kau mengusirku.

"Thomas?" Aku terkesiap. Ruang di dalam dada dan kepalaku terhubung oleh gemuruh, seolah ada badai tanpa akhir seperti yang terjadi di planet Jupiter dalam tubuhku dan aku sangat sulit mengendalikan diriku sendiri. "Aku… Bicara padamu."

Kami menoleh ke balkon saat mendengar gerbang didorong. "Aku akan menyelamatkan es krim kita yang belum padat itu." Bree melesat memasuki ruang tengah dan menghilang di tangga. Aku memandangi kamarnya yang lapang dan—mengabaikan kerusuhan kertas, cangkir, piring, dan laptop mati di meja belajarnya—rapi.

Aku tidak mengusirmu. Tapi May tidak menjawab. Dia terlanjur terluka. Aku sungguh menyesal, May. Dia masih tidak menjawab. Sampai Bree dan Max berkejaran di tangga untuk memperebutkan kotak es krim di tangan Bree, May belum juga muncul.

.

Pendaftaran ulang murid baru di kampusku akan diadakan selama seminggu. Panitia OSPEK memberi kesempatan pada mahasiswa di luar kepanitiaan itu untuk menambah SKKM (Satuan Kredit Kegiatan Mahasiswa) mereka dengan cara berpartisipasi menjadi panitia sukarelawan. Aku mendaftarkan diri sebagai panitia sukarelawan yang akan bekerja selama seminggu penuh mulai hari Senin.

Tapi pagi ini aku harus menghadiri meeting pertama proyekku dengan Amelia Hyunji. Aku mengirim lokasi rumahku pada Max, yang ternyata berangkat bersama Bree dan Junko naik Jeep raksasa yang bodinya memenuhi satu lajur di atas jalanan kota Denpasar. Kalau Chevrolet adalah mobil Junko dan Jeep adalah mobil Max, lantas mana mobil Bree? Aku bertanya.

"Itulah sebabnya Mama selalu bertanya mana anakku yang akan mengantarku? kalau tahu bahwa akulah satu-satunya anak yang ada saat Mama ingin pergi ke Edrei Beauty. Karena biasanya aku mengalami kesulitan meminjam mobil saudara dan saudariku."

"Kalian tidak punya motor?"

"Aku punya motor sport yang kujual waktu semester enam. Uangnya kutabung untuk merintis bimbingan belajarku."

"Kau naik motor sport?" Aku menelengkan kepala di tengah kursi depan. Bree tersenyum penuh rahasia padaku.

"Motor itu punya ayah kami. Dia merawatnya saat Ayah pergi ke Marsiling. Lalu saat Ayah menikah, Bree menjualnya."

Senyum di wajahnya lenyap. Bree menoleh ke depan tanpa mengatakan apa pun. Aku memandanginya dari samping. Kerlipan matanya mengungkapkan keterkejutan dan… Trauma? Apakah dia sedang menahan laju napasnya sendiri? Bree mengedip dengan cepat sampai-sampai aku yakin dia sedang berjuang untuk tidak menangis.

Setelah itu mobil Max sepi. Bree memilih untuk memalingkan wajahnya ke jendela. Dan Junko hanya mendesah berulang kali. Max sendiri hanya tersenyum di belakang kemudinya. Tidak ada yang bicara, tidak ada yang menyenandungkan lagu, bahkan tidak ada yang bergumam. Suasananya intim tapi negatif. Ini seharusnya menjadi masalah dalam sebuah keluarga yang tidak boleh diketahui orang lain.

Di seberang FEB Udayana, aku dan Max turun dari Jeepnya. Bree melompat ke kursi kemudi. Aku baru melihat kalau sejak tadi rahangnya mengeras. Dia menatap lurus ke kaca lanskap mobil. Junko melambaikan tangan lalu menaikkan jendela kaca hitam. Bree akan menemani Junko melanjutkan kegiatan survei butik di seluruh Bali, menggantikan Rain yang mengejar deadline pesanan desain ilustrasi doodle untuk cendera mata berbahan keramik.

Kami berjalan melintasi parkiran mobil menuju pintu masuk. "Mereka punya idealisme yang berbeda soal ayah mereka. Bree merasa dirinya berada di sisi malaikat dan Junko di sisi iblis. Tapi aku harus bilang kalau itu hanyalah pendapat tidak masuk akal Bree dan kalaupun kedua sisi itu benar-benar ada di dunia, sisi iblis Junko lebih rasional."

Serasional apa? Selamanya kupikir emosi yang bisa terlintas di wajah Bree hanyalah kebahagiaan dan keceriaan. Aku tiba-tiba mengingat Renée si penjaga gedung dari novel Kemolekan Landak. Keluarga borjuis mana yang akan menyangka bahwa seorang penjaga gedung yang memelihara kucing jantan pemalas ternyata membaca karyanya Marx? Kurasa aku terlalu cepat menilai Bree, sama seperti keluarga-keluarga borjuis itu terlalu cepat menilai Renée.

Pintu kaca dibukakan oleh seorang pelayan laki-laki. Aku menyebut nama Amelia Hyunji dan laki-laki itu menuntun kami menuju meja pesanan Amelia. Tentang restoran ini, aku jadi membayangkan lounge yang dikelola ayah Max. Tempat ini seharusnya dijadikan semacam lounge.

Langit-langitnya tinggi, mungkin sekitar tujuh meter. Lantainya berbahan porselen dengan motif tangkai bunga berwarna pastel yang memanjang dari bagian depan ke tengah ruangan. Setiap kursi yang mengelilingi sebuah meja adalah sofa tunggal yang ditutupi bahan kulit. Meja kami terletak dekat dinding belakang, di depan pohon sintetis pendek berdaun kecil berwarna jingga yang memancarkan cahaya putih lembut dari dalam guci.

Amelia Hyunji sudah menunggu.

Dan karena aku sudah pernah tidur dengan banyak perempuan, sulit untuk menyebut wanita itu cantik karena… Dia adalah porsi ekstrem dari kecantikan. Kalau di dunia ini kutub utara dan selatan bisa disebut ujung bumi, dialah kutub itu. Titik terujung kecantikan. Sulit sekali memahami alasan Edy memperkenalkanku pada wanita seperti ini kalau dia sendiri bisa memperistrinya.

Dia punya mata sipit berwarna biru yang bertindak seperti lautan memantulkan kembali sinar matahari sore yang panas. Rambut pirang panjangnya yang ikal itu sungguh tidak manusiawi (bisakah rambut manusia tercipta seelok itu?). Alis cokelat gelapnya mungkin dicukur atau ditata, atau bahkan sengaja ditanam supaya tumbuh subur beraturan di atas kelopak matanya yang sempurna. Yah, hidung itu juga sangat bagus.

Amelia Hyunji berdiri. Aku merasa perlu menceritakan tentang kesempatan berjumpa dengan Freya pada Bree. Dia mempersilakan kami untuk duduk. Tapi pelayan itulah yang menarik kursi untuk kami. Aku melirik Max yang tampak profesional dalam kemeja biru langitnya. Wajahnya berseri-seri karena antusias.

Siapa yang akan tidak?

Gaun biru sewarna matanya tampak seperti gliter yang tumpah saat dia kembali duduk. Kain rok gaunnya berupa brokat yang bagian atasnya tidak berkerah atau berlengan sehingga memperlihatkan tulang selangkanya yang menonjol, belikatnya yang ramping, dan bahu yang bisa dibilang berkilau dan dihujani freckles manis seperti pipi dan hidungnya.

Amelia mulai membicarakan tentang lahan yang dia beli dari seorang pemilik tanah di Canggu. Kemudian, yang kutahu adalah aku memandangi bibir mengilapnya yang mengucapkan setiap kata dengan teratur, sabar, dan berhati-hati. Saat dia tertawa dengan mata berbinar-binar, aku membayangkan pantai biru di Maldives.

Tibalah saat Amelia berpaling padaku. Max juga. Dan aku mengerjap-ngerjap di sana, seperti anak kecil yang sengaja dibawa Max untuk latihan makan siang ala kaum borjuis. Aku lupa peranku di sini adalah sebagai drafter. Setidaknya aku harus mendengarkan paparan Amelia tentang sirkulasi dan ruang-ruang utama yang dia mau.

"Bagaimana menurutmu, Thomas?"

"Aku akan membuat draft pertamanya…" Aku bernapas tanpa berusaha membuat mereka mengetahui aku sedang mengambil napas dalam-dalam. "Kita akan menyesuaikannya dengan anggaran yang…" Rasanya bahkan sangat mentah mengucapkan kau pada Amelia. Jadi begitulah. "Anda sediakan."

"Benar. Kalian akan sering bertemu untuk membicarakan tentang revisi—kalau revisinya banyak. Dan semua itu wajar karena Thomas baru belajar. Anda akan menoleransinya, Nona Hyunji?"

"Hyunji saja, Max, kalau kau berkenan. Dan kurasa tidak perlu terlalu formal begitu, kalian mengingatkanku pada ragam arkais di KBBI."

"Baiklah, Hyunji. Tapi memanggilmu dengan nama keluargamu, apakah itu baik untuk dilakukan?"

"Aku tidak punya nama keluarga. Ayahku sembarangan memberiku nama itu hanya agar orang-orang tahu aku adalah keturunan orang Korea. Padahal Hyunji rasanya adalah susunan nama yang kurang benar."

Max mengangguk. "Boleh aku tahu kau bekerja di mana?"

"Aku bekerja di kampus yang sama dengan Edward Dustin, kakaknya Thomas."

Jantungku berdentam dengan keras. Aku sangat yakin wanita inilah yang waktu itu mengajakku untuk minum anggur bersama. Wanita yang kata Edy tertarik padaku—wanita yang kutolak. Edy tolol itu seharusnya mengirimiku fotonya. Aku dulu pastilah makhluk terkutuk yang harus bereinkarnasi untuk mengalami takdir terkutuk karena… Seharusnya tidak ada orang yang menolak wanita seperti Hyunji.

Kami bertiga saling bersalaman. Tanganku dan tangan Hyunji terkait dengan erat. Dan dalam sekejap yang kelihatannya sepele, sorot mata birunya memancarkan ketidakprofesionalan dan rasa lapar. Aku sangat mengenali sorot seperti itu sehingga membalasnya dengan ketidakprofesionalan dan rasa lapar yang sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status