Pertanyaan terakhir Edy padaku sebelum terbang ke Belanda adalah, "Apakah ada alasan lain mengapa kau membenciku?" Bree menolehku, Edy menatapku, aku berdiri termangu-mangu beberapa detik, mencari-cari di antara serabut otakku, liku urat, dinding daging lembek, tapi aku yakin bahwa jawabannya hanya mentok sampai pertanyaannya saja. Aku pun menggeleng. Edy dan Bree saling mengangguk. Dan kemudian Edy pun pergi.
Dua malam setelahnya, kami mengadakan perombakan besar-besaran pada kamar tamu di lantai satu rumah Bree karena aku tidak lagi tinggal sebagai penumpang, melainkan sebagai anggota tetap keluarga mereka. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan romantis dengan Bree, kini aku resmi menjadi anak kesayangan Sandra. Lemari lapuk dikeluarkan dari kamar seluas 12m² tersebut, diganti dengan walk-in closet yang kudesain secara darurat. Dinding di sebelah lemari kupajangi lukisan-lukisan abstrak geometris. Cetakan jernih lukisan Broadway Boogie
Aku dirawat di rumah sakit selama dua hari. Yuda tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Bree tak mengatakan apa pun pada siapa pun. Hanya ada aku dan Yuda di parkiran seluas itu saat perkelahian itu berlangsung sehingga tak ada saksi mata lainnya. Kata Sandra, mengherankan betapa Bree bersikap sekalem ini menghadapi pengeroyokan terhadapku. Tapi berbeda dengan semua orang, Bree, walau tak melihat, tahu apa yang terjadi. Utangku pada Yuda sudah terbayarkan atau belum, aku juga tidak tahu. Pasalnya, aku merasa hanya berutang informasi bahwa aku tahu. Dan aksi penggebukan itu kumaksudkan sebagai pelunasan utang. Bonus pelunasan utang. Sekarang, seharusnya utangku telah terbayarkan. Tapi, kalau ditelaah lebih jauh, aku juga berutang waktu kepadanya, sesuatu yang takkan pernah berhasil kubayarkan dengan tuntas. Begitu siuman, aku dibawa pulang. Administrasi rumah sakit diselesaikan, keluargaku tak diberi kabar, sesuai pesanku pada
Waktu kecil, cerita favorit Papa untukku adalah cerita tentang bangsa Viking yang ditakuti. Mereka mengenakan helm-helm besi berbentuk menyerupai tanduk, pandai berperang, dan terampil membuat kapal. Papa bilang para Viking menamai pedang mereka dan bahkan mengukir sesuatu di sana. Sesuatu tentang nama keluarga mereka, sejarah prestasi, momen-momen paling berkesan, dan dewa-dewa kepercayaan mereka.Viking adalah hal pertama yang kupikirkan saat pertama kali melihat senyum yang lembut dibibir tebal dan merah pudar Gesa Edrei. Kemudian aku menjadi lebih dari sekadar melihat—kini aku memperhatikan. Ketika jemari Beatrice hendak menyelipkan foto itu ke bagian bawah tumpukan foto di pegangannya, aku merebutnya dan memilikinya untuk diriku sendiri.Apakah para Viking itu pernah tersenyum? Papa mungkin tidak tahu jawabannya. Muncul
Setelah enam bulan pendekatan, Jake akhirnya memantapkan diri untuk meminta Junko menjadi kekasihnya. Bukannya Jake cupu, payah, atau apa. Dia bilang Junko adalah satu-satunya gadis yang tidak menunjukkan minat besar terhadap gelar bangsawan ayahnya. Aku setuju. Junko sepertinya tidak begitu tertarik pada uang. Dia butuh uang, tentu saja. Tetapi minat utamanya adalah makeup. Jika tidak punya uang, dia bisa meminjammakeupteman-temannya. Karena Junko orang yang loyal, teman-temannya tidak mungkin tidak meminjamkanmakeupmereka. Teman-temannya kalang kabut jika kehabisanmakeup. Itu sebabnya mereka punyastockmasing-masing alatmakeup. Sungguh menarik. Aku juga pasti kalang kabut saatrefillpensil mekanikku habis.Malam ini, Jake tampil gagah. Seperti biasanya. Aku heran bag
Kampus tempat Edy mengajar tutup pukul sebelas malam. Meski begitu, kegiatan belajar mengajar dalam lingkup formal berakhir sejak pukul sembilan. Itu artinya dia seharusnya sudah berada di rumah paling lambat pukul sepuluh, mengingat butuh waktu tiga puluh menit untuk mencapai rumah kami dari kampusnya ditambah tiga puluh menit kelonggaran lainnya seperti misalnya menuntun motor karena kehabisan bensin atau ban motor meletus. Tapi Edy tidak pernah berada di rumah sebelum pukul enam pagi. Lagipula sistem libur kampus tempat Edy mengajar dan kampusku sangat berbeda. Aku sedang liburan. Tapi Edy masih terus datang ke kampus untuk mengajar.Persetan dengannya.Mungkin saja dia meringkuk di balik selimut yang sama tempat Ibu Yuda juga meringkuk.Jadi aku memanfaatkan malam-malamku sebaik-ba
Kepalanya bersandar di bahuku sehingga sulit rasanya menghela tubuhku untuk duduk tanpa membangunkannya. Aku mengucek mata dan melakukan hal pertama yang selalu kulakukan saat terbangun di tempat selain kamarku: memeriksa pakaianku di lantai. Masih tergeletak serampangan di sana. Aku menguap dan bengong memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih. Segalanya putih di sini, membuatku mudah mengingat siapa gadis yang kutiduri semalam. Karena kebelet kencing, aku terpaksa mengangkat tangannya dari perutku dan kemudian menggeser tubuhku menjauh darinya. Sylvia menarik tangannya lalu berguling memunggungiku. Rambutnya yang tebal kelihatan berantakan, mirip surai singa. Biasanya air di daerah selatan Bali tidak terasa sesegar ini. Maka aku memutuskan untuk sekalian mandi. Selesai mandi aku bergegas keluar kamar. Sylvia melambaikan tangan dari tepi kasur lalu meregangkan tubuhnya sebelum berjalan menyusulku. Di ruang tengah, aku menemukan Gerald sedang menonton acara
"Nee, niet doen."Tidak, jangan, aku berkata untuk mencegahnya, mendecak, meringis, dan tersenyum. Aku sudah delapan belas tahun. Dia tidak boleh memanggilkuboy—jongen. Apalagi dia telah membuatku merasa tertarik padanya. Dalam teorinya, seorang laki-laki tidak ingin terlihat lemah, kecil, atau awam di depan perempuan yang disukainya. Bayangan May dalam kepalaku melotot padaku.Kau menyukainya?Tidak. Aku sungguh hanya suka penampilannya. Maksudku adalah dia keren. Kau tidak perlu marah, May. Gesa memperlihatkan giginya dan bergeser sedikit ke sebelah kiri, memasukkanportafilterke dalam mesinespresso. Oh, dia sejak tadi berdiri di depangrinderbiji kopi. Mesin itulah yang
Diskusi dilakukan di sofa ruang tengah lantai satu. Tidak secara formal, tapi tetap beradab sehingga Mama Gesa berulang kali memperingati Max untuk tidak mengangkat kakinya ke meja jati berpermukaan kaca. Setelah berpamitan, Mama Gesa dan Gesa bergegas keluar rumah.Sementara jeritan kesal dan tawa keras menggelegak di lantai dua, aku dan Max melakukan perbincangan ringan, tentang kampusku, jurusanku, kelas-kelasku, bahkan SMAku, sebelum menjerat kami ke dalam bahasan utama pertemuan hari ini."Singkatnya, Tom," kami sempat berkenalan dengan semi-formal. "kau tidak bisa menandatangani kontrak itu karena belum memiliki izin."Aku mengernyit. "Benarkah?""Ya. Nanti kau akan mempelajari perihal izin di semester atas. Dulu di teknik sipil
Pesan dari Amelia Hyunji masuk pukul delapan pagi, dua hari setelah aku berunding dengan Max, saat aku sedang belanja keperluan mandi diminimarket. Restoran yang dia pesan terletak di dekat kampus Udayana Sudirman. Dia memintaku, jika tidak keberatan, untuk hadir pukul sepuluh pagi dengan rekanku pada hari Sabtu. Aku meminta tanggapan Max untuk kesediaannya menghadirimeeting pertama kami. Max menawar paling lambat hanya sampai pukul satu siang untuk hari Sabtu, dan kalau bersikeras pukul sepuluh pagi sampai waktu yang tidak ditentukan, harinya harus dipindah antara Kamis dan Minggu.Kami bertiga sepakat Minggu pagi. Sekarang masih hari Rabu. Aku mencuci sepatu (kalau kutaruh di penatu, robeknya bakal bertambah lebar) selama tiga puluh menit, membuat uitsmijterdan makan sendirian sampai pukul sepuluh pagi.