Share

AJIAN TAPAK SERAP JIWA

Kondisi itu membuat Wadana terdiam. Namun, sepintas senyum liciknya tergambar pada bibir. Tanpa disadari Panca, Wardana sedang mengumpulkan energi pada tangan kanannya yang disembunyikan di belakang.

Dengan sangat cepat Wardana menghempaskan telapak tangan kanan itu ke depan, yang membuat Panca terkejut dan lalu terpental setelah perutnya telak menerima kumpulan kekuatan yang cukup besar itu.

SREEK

"Uhuk!"

Suara kerukan alas kaki terdengar, seiring kaki Panca menekan tanah untuk menghentikan dorogan serangan. Dia kemudian terbatuk dan mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya.

Tidak hanya itu. Wardana kini melanjutkan serangannya dengan sesaat merapalkan gerakan tangan dan dihempaskan lurus ke arah Panca.

Pada waktu yang bersamaan, Panca yang mendapat serangan tersebut langsung sedikit melayang di udara, seiring cahaya petir kuning menyelimuti tubuh. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dari yang biasa. Jiwanya seperti tertarik seiring rasa sakit mencecar sangat hebat.

"Aaaah! Aaah!" jerit Panca, cukup kuat.

"Hahaha! Hahahaha! Kau pikir kau hebat iya?" ucap Wardana. Raut wajahnya cukup puas. "Di depan ajian tapak serap jiwaku, kau hanyalah semut yang tidak berguna, dasar sampah!"

Ilmu yang saat ini digunakan Wardana merupakan Ajian Tapak Serap Jiwa. Ilmu ini termasuk kanuragan tingkat tinggi yang ditakuti oleh lawan karena dapat membunuh dalam sekejap.

"Hahaha! Terimalah ajalmu pengemis!" tandasnya.

Kemudian Wardana semakin meningkatkan energi ajian tapak serap jiwanya, yang membuat Panca semakin berteriak kesakitan.

"Aaaah!"

Panca mengira dia akan mati di tempat itu. Dua wanita tadi yang menyaksikan hal tersebut pun lekas dibuat panik ketakutan.

"Bagaimana ini? Bagaimana?" ucap satu dari mereka.

"Yati. Kau pergi cari bantuan. Cepat!"

Satu wanita menyuruh wanita bernama Yati itu untuk memanggil bantuan. Lantas dengan panik, Yati segera berlari tunggang-langgang ke arah desa.

Tidak hanya mengandalkan Yati. Wanita yang bernama Hanum itu dengan cepat mencari cara untuk membantu Panca. Tak terhalang matanya melihat batu besar seukuran kepalan orang dewasa di dekatnya, yang kemudian membuatnya berpikir untuk melemparnya ke arah Wardana.

Batu tersebut lantas dilemparkan Hanum, tetapi terpental kembali karena rembesan kekuatan Wardana saat itu cukup kuat. Alhasil, Hanum yang tidak begitu pandai bersilat pun terkejut dan telak menerima hantaman batu yang berbalik ke arahnya. Batu tersebut mengenai perutnya dan membuatnya sedikit terpental ke belakang hingga pingsan.

"Waaaa! Waaaaarggh!"

Sambil menderita dengan rasa sakit yang mencecar hebat. Panca menyadari apa yang terjadi pada Hanum. Emosinya menjadi tersulut, yang perlahan meningkat dan melebihi rasa sakitnya itu sendiri.

Panca lantas dengan sekuat tenaga kembali mengambil kendali dirinya yang membuat Wardana terkejut. Selama ini belum ada yang dapat menahan ajian tapak serap jiwanya, seperti yang Panca lakukan.

"Ada apa ini?" Wardana dalam hati heran, sedikit mengerut dahi.

Tidak terima dengan itu. Wardana segera menambah tekanan kekuatannya, untuk menarik jiwa Panca sampai berpisah dari tubuh. Namun, hal yang tidak diduga pun kembali mengejutkannya, dimana jiwa Panca bukannya malah tertarik ke arahnya, melainkan perlahan kembali ke tubuh asal.

Sementara Panca. Dia langsung mendelik, sebab rasa sakit yang mencecar itu perlahan menjadi reda, hingga akhirnya dia dapat menggerakkan tubuhnya lagi, yang menandakan jiwanya telah kembali.

"Hah? Aaah! Aaaah!"

Berpindah ke Wardana. Dia dengan keras berteriak karena merasa ada yang aneh pada kondisi tubuhnya. Tiba-tiba saja rasa sakit mencecar hebat. Kemudian satu per satu anggota tubuhnya menjadi mati rasa, yang lekas membuatnya sadar, bahwa tubuh Panca sedang menyerap balik jiwa serta kekuatan miliknya.

"Ba-jingan kau!" tandas Wardana, dengan napas tertekan.

Dia sangat tidak percaya ini. Mana mungkin ajian Tapak Serap Jiwa dapat dibalikkan. Sepanjang sejarah yang dia tahu, bahwa ajian ini hanya bersifat satu arah, kecuali lawannya memiliki ajian yang sama. Meski demikian, sangat sulit untuk lawan membalikkan keadaan seperti itu, kecuali ilmu kanuragan yang lawan miliki sudah mencapai tingkat sangat tinggi.

"Kur-ang a-jar kau! Le-pask-kan ak-ku!"

Sementara itu. Panca tidak mengerti apa yang terjadi. Dia menyaksikan tubuh Wardana juga perlahan sedikit melayang sejajar posisinya. Kemudian dia merasakan aura hangat dalam tubuhnya. Pada waktu yang bersamaan, Wardana menjerit kesakitan, sama seperti yang dilakukannya tadi.

"Aaaah! Tolong hentikan! Aaah!"

"Tunggu. Aku tidak melakukannya!" balas Panca, sedikit panik.

Sama sekali tidak ada niat untuk membunuh Wardana. Semua berada di luar kendalinya. Bahkan saat itu segera Panca mengerahkan kekuatannya untuk mencabut proses penyerapan jiwa serta kekuatan tersebut. Sayangnya, perlawanan Panca tidak berefek sama sekali dan malah semakin mempercepat proses penyerapan jiwa serta kekuatan Wardana.

"Aaah! Aaah! Aaaaaaah!"

Wardana berteriak sekeras-kerasnya di detik-detik penghabisan nyawanya. Setelah itu, cahaya petir kuning yang mengitari tubuh mereka berdua tadi langsung lenyap. Pada waktu yang bersamaan, tubuh panca jatuh dan lalu mendarat dengan kuda-kuda sempurna. Sementara tubuh Wardana jatuh tergeletak di tanah, sudah tak lagi bernyawa.

"Hah? Pembunuh! Kau pembunuh!" teriak satu bawahan Wardana yang telah tersadar. Hal itu membuat Panca teralihkan perhatiannya.

Lantas dengan cepat satu bawahan itu bangkit dan berlari menjauh dari Panca, untuk kemudian akan memberitahukan kabar kematian tuan mudanya itu kepada kepala sekte.

Namun, belum berlari jauh. Sontak saja sebilah pisau melesat cepat ke arah bawahan tersebut dan telak menembus lehernya. Alhasil, dalam sekejap nyawa orang itu tidak lagi terselamatkan.

Panca saat itu langsung terkejut. Dia lekas membuang tatapannya ke arah sumber lesatan pisau tadi, yang ternyata terdapat seseorang selain mereka di tempat tersebut.

"Kak Hanum!" seru Yati.

Yati lekas berlari ke arah Hanum yang tergeletak di tanah. Sementara seorang kakek keluar dari balik semak yang ternyata dialah pemilik pisau terbang tadi.

"Sungguh diluar dugaan," ucap si kakek, sambil langkahnya mendekat pada Panca.

Panca kemudian mengembus napas agak panjang, seiring menyorot tatap pada si kakek.

"Tidak. Aku sama sekali tidak bermaksud membunuhnya," balas Panca, berusaha tenang.

"Tentu aku melihatnya. Tapi kau telah melakukan kesalahan besar, anak muda."

Panca terdiam mendengar ucapan tersebut. Dia menyadari situasi dan posisinya saat ini. Sudah pasti, orang-orang yang berhubungan kerabat dengan Wardana tidak akan melepaskan Panca begitu saja.

"Kakek. Sebenarnya siapa pemuda ini?" tanya Panca, memastikan.

Sang Kakek mengerut dahi setelah mendengarnya. "Apa kau tidak tahu siapa orang ini?"

Panca menggeleng.

"Dia adalah tuan muda dari sekte Jalak Hitam, Wardana Septa."

Mendengar pertanyaan dari kakek tersebut. Panca sontak sedikit mengangkat kening hingga terlihat beberapa lengkung kerutan di dahinya. Betapa terkejutnya dia bahwa tanpa sengaja berurusan dengan satu dari tiga keluarga besar yang ada di daratan Bulubalang. Di mana ini merupakan awal yang baik bagi misinya.

"Aku tahu, kau tidak ada niatan untuk membunuhnya. Terlebih lagi mereka yang memulai lebih dulu. Sebelum ada yang melihat hal ini. Sebaiknya kau pergi dan jangan pernah kembali."

Berada di desa Jalung, tentu tidak akan aman bagi Panca. Cepat atau lambat, orang-orang sekte Jalak Hitam akan bergerak untuk menemukan Wardana. Dan jika mereka tahu Wardana terbunuh, maka Galuh Primuja Septa sebagai ayah dari Wardana sekaligus pemimpin sekte Jalak Hitam tidak akan diam saja.

Panca kemudian menyanggupinya. Segera dia pergi dari tempat tersebut, karena saat ini belum waktunya dia berurusan dengan orang-orang Jalak Hitam. Dia masih perlu menempuh perjalanan sesuai arahan dari gurunya. Lantas jika sudah tuntas, maka akan ada saatnya pertumpahan darah di sekte Jalak Hitam tiba.

Ya, benar. Ini adalah misi menuntut balas dari seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya sepuluh tahun lalu. Sebagai negara yang terbilang maju. Kerajaan Bulubalang selalu menunjuk tiga keluarga sekte besar setiap tahunnya. Namun, karena kekuatan sekte Naga Guntur yang luar biasa, sehingga membuat sekte tersebut tidak pernah tersingkir dari tiga besar, membuat sekte Jalak Hitam tidak senang.

Galuh Primuja Septa sebagai pemimpin Jalak Hitam, menjalin persahabatan lama dengan Wikrama Sena sebagai pemimpin Naga Guntur sekaligus ayah dari Panca yang saat itu masih berusia empat belas tahun. Namun, dengan kejinya Jalak Hitam mengkhianati Naga Guntur dan membantai seluruh keluarga Panca tanpa ampun, yang ternyata dibantu oleh pihak kerajaan juga. Beruntung Ki Guntur Sakti sebagai guru Wikrama Sena berhasil melarikan diri dan membawa Panca ke Gunung Blikar yang berada di Distrik Selatan daratan Bulubalang.

Saat ini, Jalak Hitam tahu, mereka telah membantai seluruh keluarga Wikrama Sena. Namun mereka tidak menyadari, bahwa permainan yang diperankan oleh Panca baru saja akan dimulai.

***

Keesokan harinya. Di dekat pasar, terlihat kerumunan orang tengah mengelilingi sebuah arena bundar berlantai papan. Riuh suara mereka terdengar, karena memang saat itu ada sesuatu yang sangat menarik perhatian para warga.

Terlihat juga Panca berada di antara kerumunan itu. Dia berpakaian coklat dengan penampilan selayaknya seorang pengembara. Kepalanya tertutup tudung. Sedang mulut hingga hidung tertutup topeng hitam, sedikit motif garis coklat dan putih.

Karena tubuhnya yang agak pendek. Panca lalu menyeruak kerumunan hingga berada di paling depan. Penasaran siapa yang sedang disiksa di antara kerumunan itu.

"Biadab!" maki Panca dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status