Dia tidak menyangka, jika kakek yang kemarin membantunya kini dipertontonkan tubuhnya dengan posisi terikat di tiang besar. Tubuh kakek itu begitu mengenaskan, dimana seluruh tubuhnya dihiasi oleh memar dan sayatan akibat cambuk yang ayal dihantamkan algojo di situ.
"Inilah hukuman bagi siapapun yang hendak menentang sekte Jalak Hitam!"Seorang dengan jubah merah-hitam, melantangkan suaranya. Dia merupakan salah satu petinggi di Jalak Hitam."Heh? Memangnya apa yang dibuat kakek Hur?""Kudengar dia melindungi pembunuh tuan muda sekte Jalak Hitam.""Sangat disayangkan ya. Padahal yang aku kenal kakek Hur sangatlah baik hati dan ramah kepada orang-orang.""Memangnya apa yang terjadi sebelumnya?""Ada yang bilang tuan muda Wardana melecehkan dua cucu kakek Hur. Tapi seorang pemuda misterius menyelamatkan mereka dan sampai membunuh tuan muda Wardana.""Benar. Aku juga mendengarnya. Orang-orang sekte mengetahuinya dari seseorang yang katanya orang desa ini. Dikatakan juga kakek Hur membunuh semua bawahan yang dibawa tuan muda mereka agar mereka tidak buka mulut.""Tapi akhirnya terbongkar juga ya. Katanya di sekte Jalak Hitam ada seorang pak tua yang merupakan pelukis jenius. Kemungkinan hanya dengan keterangan si pelapor, sudah bisa melukis wajah pembunuh itu."Orang-orang di sekitar bergosip tentang apa yang menimpa sang kakek. Mereka saling menyambung informasi, membuat Panca yang mendengar bisikan-bisikan tersebut lekas mengetahui situasi yang sebenarnya.Panca menjadi geram mendengar hal tersebut. Dia mengepal kedua tangannya, dengan mata masih tersorot ke perlakuan bengis orang-orang Jalak Hitam terhadap Kakek Hur."Lalu di mana Yati dan Hanum?""Mereka dibawa oleh orang-orang sekte. Mungkin mereka akan dibawa ke kediaman sekte Jalak Hitam, di Kota Parang."Panca yang mendengarnya pun langsung mengambil langkah mundur lalu berbalik badan. Dia segera keluar dari barisan kerumunan dan hendak menyusul orang-orang sekte yang membawa Yati dan Hanum."Hey kau!"Namun, belum berjarak dari barisan. Salah seorang di atas arena pertarungan menyeru kepada Panca, yang membuat Panca menghentikan langkahnya."Siapa kau?" lanjutnya.Tidak ragu Panca merespons ucapan itu dengan langsung berbalik badan dan melakukan salam tangan hormat."Maaf kisanak. Hanya seorang pengelana yang lewat saja. Mohon kisanak memberitahu kenapa memanggilku," ucap Panca.Orang yang menyeru pada Panca tadi pun sejenak memandang yakin wajah Panca, yang setengah tertutup masker hitam dengan sedikit motif garis coklat. Orang itu tampak kekar berambut gimbal, dengan dua pedang menyilang di punggungnya."Sepertinya kau kuat. Cepat ke sini!"Orang itu menganggap Panca pendekar yang kuat, setelah sekilas melihat penampilan Panca yang cukup unik. Atas hal tersebut, mau tidak mau Panca harus menyetujuinya, agar tidak menimbulkan kecurigaan.Seiring langkahnya menuju arena pertarungan. Seluruh tatapan warga menyorot mengikuti gerakan tubuh Panca."Serang aku!"Betapa terkejutnya Panca ketika orang gimbal itu menyuruhnya untuk menyerang, ketika dia sudah berada di atas arena.Tidak ingin dicurigai. Oleh karena itu, Panca dengan segera menyerang, tetapi tidak akan bertarung dengan serius.Pertarungan kecil pun terjadi antara keduanya. Dengan menggunakan tangan kosong, keduanya saling mengimbangi serangan, yang padahal saat ini Panca hanya mengerahkan dua puluh persen kemampuan miliknya.Tidak ingin berlama-lama. Panca membiarkan pertahanannya terbuka, sehingga beberapa serangan dari si orang gimbal berhasil tembus dan membuatnya memenangkan pertarungan."Cuih! Sia-sia aku meladenimu. Aku pikir kau seorang yang kuat dan bisa menghiburku. Ternyata hanyalah sampah!"Kemenangan si gimbal membuat Panca terlihat selayaknya seorang pecundang. Para warga yang menonton terlihat saling tatap menatap, masih tidak mengerti apa yang sedang dilakukan si gimbal sehingga mengajak Panca bertarung."Maaf sudah mengecewakan kisanak. Tapi kenapa sampai mengajakku bertarung?" tanya Panca, berlagak polos."Huh! Tadinya aku ingin merekrutmu untuk menjadi salah satu anggota untuk memburu orang yang sudah membunuh tuan muda kami. Dan ternyata kau hanyalah sampah. Enyalah dari hadapanku!"Si gimbal melontarkan ucapan dengan begitu angkuh. Panca pun tidak segan untuk pergi dari tempat itu, saat sebelumnya dia menyodorkan salam tangan hormat....Sesaat setelah bebas dari orang-orang sekte Jalak Hitam. Panca bergegas untuk menyusul perjalanan orang-orang sekte Jalak Hitam yang membawa Yati dan Hanum, seperti apa yang secara diam-diam dia dengar tadi dari beberapa warga.Panca sempat mencuri kuda di kandang salah satu warga. Tidak lupa dia meletakkan lima puluh keping emas, yang rasanya lebih dari cukup jika ditukar dengan kuda yang dia bawa itu."Hia! Hiaaa!"Segera Panca menepuk kakinya pada perut kuda, yang membuat si kuda berlari sangat cepat meninggalkan tempat itu. Debu-debu tanah tampak menyebar, mengekori arah larinya kuda....Sementara itu, di tengah hutan. Sekelompok orang sekte Jalak Hitam terlihat berjalan sedikit agak cepat. Dua kuda menarik satu kereta kayu beratap kain hitam, yang di dalamnya terdapat Yati dan Hanum, juga dua pria yang merupakan pendekar tingkat delapan sayap."Kalian begitu cantik. Sangat sayang jika harus dihukum mati oleh pemimpin Galuh," ucap satu orang.Tatapannya tampak nakal, membuat Yati yang tengah ditatap itu menjadi sangat risih. Ditambah lagi satu yang lain langsung beranjak dari tempatnya dan duduk tepat di tengah-tengah Yati dan Hanum.Yati dan Hanum saat itu langsung membulatkan mata dengan perasaan waswas. Sayangnya mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dua tangan mereka diikat di belakang, juga kedua kaki, serta mulut dibekap menggunakan sepotong kain tebal yang digulung."Nggg! Ngg!" Hanum mencoba memberontak, seiring menyorot tatapan melotot ke arah pria yang langsung duduk di antara mereka berdua.Lelaki yang duduk di antara Yati dan Hanum itu bernama Budu, serta rekannya di depan bernama Rasik."Hahaha. Tenang saja nona-nona. Aku tidak akan menyakiti kalian," ucap Budu.Seiring berucap, dia dengan sengaja merangkulkan kedua tangannya pada pinggang dua wanita tersebut, yang membuat Yati dan Hanum terkejut."Hmm! Hmmm!"Yang mereka bisa lakukan hanya bergumam sambil menggeliat memberontak. Sayangnya, dengan cepat Rasik menarik Hanum ke arahnya.Dengan begitu berhasrat Rasik langsung meremas dua gunung sensitif Hanum yang tertutup pakaian tebal berwarna merah. Kemudian dia mengangkat tubuh Hanum dan menempelkan bokong Hanum di atas pahanya.Hanum memberontak, meski sadar kekuatannya kalah jauh dari Rasik. Lantas tidak kehabisan akal. Hanum yang tangannya terikat di belakang itu pun langsung mencari bagian sensitif kelakian Rasik dan lalu meremes sekuat tenaga bersamaan dengan dua telurnya sekaligus, hingga Rasik memekik kesakitan."Aaaaaah!"BUGSpontan tangan Rasik mengayun pada punggung leher Hanum dan membuat Hanum pingsan. Tubuh Hanum seketika tersungkur jatuh ke lantai kereta."Senior Budu? Apa yang terjadi?" tanya satu orang rekan junior di luar. Mendengar suara jeritan Rasik, sontak membuat orang-orang di luar agak terkejut."Tidak ada. Hanya kenakalan kecil saja. Lanjutkan perjalanan." Sangat yakin Budu berucap, membuat orang-orang diluar percaya dan terus melanjutkan perjalanan.Setelah itu, Budu mengangkat wajahnya satu kali, bermaksud menanyakan apa yang terjadi. Dengan raut wajah menahan sakit pun Rasik memegang bagian sensitifnya dan mengatakan barang itu diremas sangat kuat oleh Hanum."Ahahaha! Ahahaha!"Budu tertawa lepas. Seakan cukup senang melihat rekannya itu menderita."Hhmm!"Yati pun bergumam. Dia terfokus dengan kakaknya itu."Sialan kau! Kenapa kau tertawa?""Ahahaha. Wanita itu cukup binal juga. Untung saja aku memilih wanita ini."Budu dengan senangnya sambil membelai wajah mulus Yati."Hhmm!"Yati begumam sambil menggeleng kepala. Sorotan matanya menunjukkan seolah ada ketakutan yang mendalam.Namun, hal itu hanya disambut senyum tipis oleh Budu dan dengan sorotan mata yang nakal.Lantas tanpa ragu, Budu mendorong kasar tubuh Yati, yang membuat Yati terbaring di tempat duduk sambil mempertontonkan dua tonjolan sensitif miliknya yang dilapisi oleh kain tebal berwarna merah jambu."Hhmmmm!"Yati mencoba memberontak. Tapi mereka berdua terlalu kuat.Dia pun teringat satu kejadian yang sama, di mana dia pernah dipojokkan seperti ini oleh seseorang hingga merenggut keperawanannya. Rasa traumanya langsung meluap tak terbendung. Sayangnya dia hanya bisa menangis dengan suara yang tersumbat gulungan kain.Sesaat, sang kusir yang tengah mengendalikan kuda itu pun merasa kereta sedikit bergoyang, seiring suara jeritan wanita tertahan dari dalam....NGIHIHIKTidak lama. Tiba-tiba saja perjalanan mereka terhenti. Seseorang penunggang kuda menghalangi jalan mereka."Siapa kau?" tandas rekan yang berada paling depan.Sementara itu, Budu menyembulkan kepalanya dari jendela, yang tatapannya langsung tersorot pada si penunggang kuda. Menyadari hal tersebut kurang baik, Budu turun dari kereta sambil memperbaiki posisi pakaian bawahnya yang terbuka. Rasik juga ikut turun, berlagak sama seperti Budu yang merapikan pakaian bawah.Seorang penunggang kuda itu bukan lain adalah Panca. Tanpa banyak bacot Panca melompat dari kudanya dan terbang di udar
Panca mengembus napas agak panjang, lalu mulai menjawab. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jika aku punya misi dari guruku di tempat ini. Lagipula, diminta sekalipun. Seorang pendekar tidak akan lari dari masalah, terlebih jika harus membuat orang lain memikulnya.""Aku tidak menyangka, kakekmu akan mengambil masalah ini hanya untuk menyelamatkanku. Dia melayangkan nyawa para bawahan Wardana kemarin hanya agar tidak ada yang buka mulut sehingga aku bisa terbebas. Sayangnya ada seorang yang melihatnya dan membeberkannya pada orang-orang di sekte. Maafkan aku," lanjut Panca.Hanum yang mendengarnya lekas sedikit membulatkan mata. Dia kemudian langsung mengingat kembali dan membayangkan apa yang terjadi pagi tadi. Dia tidak begitu mengerti, karena tiba-tiba saja orang-orang sekte datang dan membuat onar. Bukan hanya di rumahnya saja, melainkan juga kepada para warga di sekitar rumah.Tanpa penjelasan, Hanum dan Yati langsung dibawa oleh sekelompok orang sekte secara paksa. Sementara kak
"Huh. Bedebah. Kita lihat, seberapa tinggi kekuatan bajingan sepertimu. Lalu aku akan memberi tahu namaku di detik-detik kematianmu. Hiaaaa!"Si pria kekar pun tanpa ragu segera berlari ke arah Panca. Meski tidak mengerti maksud dari si pria kekar ini. Panca tetap meladeninya tanpa takut sedikitpun.FIUUF FIUFFIUF FIUFAyunan kapaknya yang besar dan tebal itu sontak terdengar jelas, seiring Panca bergerak ke kiri dan kanan untuk menghindari kapak tersebut.Berlangsung beberapa kali pria tinggi kekar itu mengayunkan kapaknya. Namun, masih belum menggertak Panca yang bahkan belum mengambil serangan."Cih! Kau meremehkanku?"Si pria itu melontarkan ucapan yang terdengar kesal, ketika tercipta jarak beberapa meter antara dia dan Panca. Lalu dengan sigap dia menghempaskan kapak besarnya ke samping, yang sesaat memperlihatkan kilau keperakan pada mata kapak.TAKTAKTAKKemudian dia berlari dengan cepat. Namun, kali ini energi yang dirembeskannya cukup agresif, yang dapat dirasakan jelas oleh
"Mungkin sedang menuju ke sini. Aku sendirian kemari. Tadi melihat sinyal dari Kakak," jawab Sabit Kematian. Lalu dia menoleh ke arah Panca. "Siapa orang itu, Kakak Kapak Tengkorak?""Huh. Sebelum aku memberi tahu namanya. Lihatlah wajahnya baik-baik."Sabit Kematian pun memfokuskan tatapannya pada Panca. Sebelum turun gunung Blikar, tentunya Panca sudah mempelajari beberapa hal soal desa yang menjadi tempat misinya ini. Mendengar julukan mereka, di sini Panca menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah sekelompok bandit yang memang sering membuat onar."Apa? Benarkah dia orangnya?" celetuk Sabit Kematian, setelah dia tahu siapa yang dimaksud Kapak Tengkorak."Iya. Dia Panca. Yang kini menggemparkan dunia persilatan." Mendengarnya, Sabit Kematian pun langsung mengambil beberapa langkah sedikit di depan Kapak Tengkorak, lalu menghadapkan tubuhnya lurus ke arah Panca."Panca! Sangat bagus kau berada di sini. Kau tidak perlu repot-repot lagi melarikan diri, karena aku tidak aka
Seiring itu, Panca bangkit. Serangan telak tapak gabungan dua orang tadi cukup kuat, sehingga membuat tubuhnya lumayan kerepotan."Dua Pedang Kembar? Apa itu mereka?" batin Panca, seiring tatapannya menyorot pada dua orang tersebut."Ludaya? Ludayo?" seru Sabit Kematian. Memang benar. Dua orang berbadan ideal dengan pedang menyilang di punggungnya merupakan pendekar Dua Pedang Kembar. Seperti Sabit, mereka juga datang atas panggilan dari sinyal Kapak barusan.Ludaya dan Ludayo bukanlah nama asli mereka, melainkan nama pedang. Ludaya memiliki esensi angin, sedang Ludayo adalah api. Keduanya sama-sama merupakan pedang istimewa. Tidak heran jika pemiliknya cukup kuat."Mereka akan sampai," jawab Ludaya, si pria dengan ikat kepala putih. Rambutnya yang panjang, tampak dikucir dan tergerai hingga punggung."Itu mereka." Ludayo menimpal. Wajahnya tidak beda degan kakanya, Ludaya. Penampilan mereka pun mirip. Hanya ikat kepala merahnya yang membedakan.Dan benar saja. Satu per satu anggota
Tombak Perak pun langsung membulatkan matanya. Merasa harga diri mereka diinjak-injak. Namun, bagaimana lagi. Mereka harus mengikuti perintah Jarum Maut sebagai pemimpin kelompok. Oleh karenanya, tanpa berdebat lagi, mereka lekas melompat ke udara, berpancar sebagaimana sebelumnya, untuk menghindari sekte Bintang Merah."Dasar aneh! Datang tak diundang pulang tak ingin diantar. Bedebah sialan!"Panca yang menyaksikan hal tersebut sontak dibuat bingung. Dia sesaat memaki sebab waktunya telah terbuang sia-sia karena kelompok tersebut.Lalu sesat Panca tertegun. Dia teringat dengan ucapan warga kemarin di arena bundar dekat pasar, di mana sekte Jalak Hitam memiliki ahli lukis yang bisa menggambar sketsa hanya dengan mendengar ciri-cirinya. Hal tersebut lekas membuat Panca segera meraup mulutnya dan sedikit terkejut karena dia lupa mengenakan topeng."Cih. Bodoh sekali," gumamnya. "Tidak heran orang-orang tadi mengatakan aku buronan sekte. Kemungkinan omongan warga kemarin ada benarnya
"Lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?"Wujud sosok asap hitam itu membuat raut wajah Panca sedikit berseri. Rasa rindu yang tersimpan dalam hati, seolah terbayar dengan kedatangannya."Aku baik. Bagaimana dengamu? Kau terluka?""Tidak. Aku baik-baik saja," jawab Panca. "Tapi bagaimana kau bisa di sini? Bukankah aku memintamu untuk tetap tinggal? Bagaimana dengan guru?"Sosok asap hitam tadi bukan lain adalah Wira, siluman macan hitam taring sebelah yang merupakan sahabat Panca. Kedatangannya ke tempat itu, membuat Panca penasaran."Sialan. Pak tua galak itu menyuruhku menyusulmu. Lantas dia malah menyerahkan diri ketika orang-orang kerajaan datang menyerang goa. Padahal mudah baginya untuk meratakan semua prajurit dan bahkan jendral yang ada."Wira memanggil Ki Guntur Sakti dengan sebutan pak tua galak, karena sejak dia kecil dirawat Panca, sampai dia dewasa seperti sekarang, dia jarang sekali mendapat perlakuan lembut dari Ki Guntur Sakti. Selalu ada saja yang dijadikan alasan unt
Saat itu Wira memperlambat gerakan kakinya. Sementara Hanum jauh di depan sana, berlari dengan cepat. Namun, tidak lama Wira tidak merasakan lagi eksistensi Hanum di sekitar situ. Hal itu membuatnya segera mempercepat langkah. Dan benar saja bahwa Hanum telah menghilang.Wira pun langsung berubah ke wujud manusia. Dia menyapu pandangannya ke seluruh sisi rimba, sambil menyeru nama Hanum. Sayangnya tidak ada respon."Sial. Tidak ada jawaban," batin Wira. "Sepertinya ada yang aneh. Kata Tuan, Hanum tidak bisa kanuragan. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya hilang dari tempat ini."Hilangnya tiba-tiba Hanum membuat Wira curiga. Segera dia memeriksa area sekitar dan lantas menemukan eksistensi energi aneh. Energi tersebut asalnya dari cairan hijau yang menempel di beberapa daun besar di sekitar tempat itu."Apa ini?" Wira menampilkan raut wajah penasaran. Dia sejenak melakukan beberapa gerakan tangan, yang lekas membuat tangannya dilapisi oleh aura cahaya energi berwarna hitam